E P I S O D E - E N A M

22 17 5
                                    

"Urusan kini sampai sini. Aku tak ingin kita berdebat (lagi) , karena aku tak mau kita terlalu dekat."

Hari ini baru dimulainya kelas Olimpiade. Masih teringat seminggu lalu dia iseng mengikuti tes Olimpiade, jawabnya awur-awuran tanpa belajar, eh ternyata lolos.

Di kelas ini cuma ada Ell dan guru perempuan yang punya rambut sebahu.

"Pertemuan kali ini kita cuma bahas apa aja yang akan keluar, ya. Untuk materi lengkapnya besok aja," ucap Bu Yuyun pembimbing Olimpiade Fisika.

"Iya, Bu."

"Oiya, jangan lupa di rumah belajar giat. Kalau bisa sih privat, ya."

Ell cuma bisa tersenyum terpaksa. Mendengar kata privat les saja membuat bergidik ngeri.

Bu Yuyun menambahkan, "Ibu punya kenalan nih, siapa tau kamu cocok. Tenang aja diskon kok, khusus buat kamu satu juta lima ratus aja, harga aslinya dua juta lima ratus. Enak, kan? Kualitas oke, para juara juga rata-rata privat di sana."

Satu juta lima ratus mungkin di mata orang berada itu sesuatu hal kecil. Apalagi ini untuk kepentingan pendidikan. Namun bagi Ell itu sangat besar, Ayahnya hanya pekerja pabrik yang sehari-hari harus bisa diputar uangnya oleh sang ibu penjahit tas kain.

"Gimana? Mau didaftarin sekarang?" Guru yang umurnya sekitar kepala empat itu seperti memaksa. Ell membalas dengan gelengan kuat, "Saya tanya orang tua dulu, Bu."

Bu Yuyun menghela napas kecewa, lalu beliau memaksa tersenyum. "Yaudah, tapi kamu harus lebih ekstra belajarnya, karena saya juga cuma bisa membimbing."

Dibimbing seperti ini saja Ell sudah bersyukur, tak seperti di SMP-nya dulu, Ell harus mencari materi, soal-soal bahkan tak dapat penjelasan.

Kemudian Bu Yuyun pamit, meninggalkan Ell sendirian di kelasnya.

Ell menengadah ke langit-langit yang terhalang plafon putih, di sekitar AC masih menyala, permukaan kulit agak sawo matang itu kedinginan. Kelas ini begitu megah, sangat nyaman. Namun Ell seringkali tersiksa batin saat membahas tentang finansial. Di mana ia juga menginginkan seperti yang lain; tertawa sesuka hati tanpa terbebani hidup keras ini.

Relung hati terasa nyeri saat menyadari banyak yang tak bisa Ell miliki di dunia ini. Sering gagal, tak pernah menang lomba di luar sekolah, sudah disuruh dewasa sejak kecil, dituntut selalu mengerti. Dan lagi, ingatannya melayang pada kejadian beberapa tahun lalu. Di mana saat itu ia baru mengagumi laki-laki, Ell tertolak. Hatinya sakit membuatnya tak mau lagi jatuh cinta. Mungkin juga karena fisik Ell tak mendukung, tidak seperti cewek lain yang begitu cantik dan imut.

Suara pintu yang akan ditutup membuat Ell segera bangkit.

"Eh, masih ada orang!" ujar Ell sedikit teriak.

Pintu cokelat cat pelitur itu terbuka lagi. Bau wangi khas menyeruak di indra penciuman Ell, sampai cewek itu terkesiap sejenak.

"Ngapain lo?" tanya cowok itu.

"Eum..., ada les Olimpiade."

"Zhan!" Suara cempreng seorang cewek yang Ell kenali semakin mendekat, cepat-cepat Nazhan mengeluarkan coklat dan memberikannya pada Ell, membuat Ell kebingungan.

Otaknya belum bisa mencerna, seolah bertanya "kenapa?", Nazhan mengedipkan kedua mata cepat-mengajak berbohong sejenak.

"Coklat buat lo," ucap Nazhan memulai drama.

"Buat saya, Kak?" Ell mulai mengikuti drama. Jarak lima meter terdapat Seci mengeram kesal-meremas kertas seperti surat sampai tak beraturan.

"Iya, jangan jauh-jauh dari gue."

Keluar Zona Aman [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang