Project Cerpen Tema Pahlawan

0 0 0
                                    

YOU ARE MY HERO

Selama ini aku terpenjara dalam kelemahan yang semakin lama semakin merenggut rasa percaya diriku. Semangat untuk membebaskan diri tidak sekalipun surut. Sampai pada suatu saat aku mengerti bahwa ada yang diam-diam berkorban demi diriku. Hampir saja aku tumbang karena merasa tidak layak menerima pengorbanannya. Sebuah pengorbanan yang akhirnya menjadi obor di balik kesuksesanku sebagai seorang designer. 

Langit masih gelap. Sayup terdengar kokok ayam jantan berdendang mengiringi datangnya fajar. Dari dapur terdengar gemericik air dan aroma yang begitu menggugah cacing-cacing di dalam perut. Seorang wanita yang sebagian rambutnya telah memutih terlihat sedang mengaduk-aduk beras di atas tungku. 

"Bu, biarkan aku membantu," pintaku kepadanya.

"Sebaiknya kamu bantu Ibu membersihkan ruangan dan halaman rumah, Nak," kata Ibu.

Di sebuah ruang yang lain, terlihat Kakakku sudah bergelut dengan air dan pakaian kami bertiga. Dia bukan hanya seorang Kakak bagiku, tetapi juga seperti Ayah. Setiap pagi, memang begitulah pemandangan di rumah kami. Ketika matahari mulai menampakkan sinarnya, semua tugas kami telah berakhir dan saatnya kami berkumpul di meja makan. 

Satu per satu dari kami akan sibuk dengan aktivitas masing-masing sampai menjelang senja. Ibu selalu sibuk dengan kain warna-warni yang bertumpuk di sebelah mesin jahitnya. Pelanggan akan datang silih berganti untuk mengambil kain-kainnya atau untuk menyerahkan kain yang baru mereka beli dari toko. 

Aku dan Kak Adnan selalu berangkat bersama. Dia akan mengantarkan aku terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah. Kami akan bertemu kembali saat berada di rumah karena Kak Adnan adalah siswa yang aktif mengikuti kegiatan ekstra di sekolah. Jarang sekali aku pulang bersama Kak Adnan. Aku selalu ingin cepat sampai di rumah untuk membantu Ibu menyelesaikan tanggung jawab terhadap pelanggannya. 

Matahari begitu terik. Debu disertai asap kendaraan menjadi pemandangan yang tidak lagi asing saat keluar dari gerbang sekolah. Gerahnya badan ini semakin memuncak ketika harus rela berdesak-desakan di  dalam angkutan kota demi segera menenangkan cacing-cacing di dalam perut. Setelah terlepas dari drama yang mengucurkan banyak keringat itu, aku masih harus menahan sinar matahari yang menyengat seluruh kulit wajahku. Ayo Amira, sepuluh menit lagi kita akan bertemu sepiring nasi lengkap dengan sayur bayam dan ayam goreng. Dalam hati aku menyemangati ragaku untuk segera sampai di rumah. Menu yang sama dengan sarapan pagi. 

Sampai di rumah yang sangat sejuk dengan air conditioner asli dari alam, aku bergegas mencuci tangan dan kaki, serta menanggalkan seragam biru putih di gantungan belakang pintu kamar. Celana pendek dan kaos katun menjadi baju favoritku saat di rumah. Kemudian aku menuju meja makan. Pada suap terakhir aku teringat dengan surat yang diberikan oleh Ibu guru sebelum aku pulang sekolah tadi. Aku segera menyelesaikan suap terakhir dan meneguk segelas air putih. 

"Ibu, ada surat dari sekolah." Aku menyodorkan sepucuk kertas putih itu kepada Ibu yang sedang sibuk menjahit.

Ibu menghela nafas dan berkata,"Sabar ya, Nak. Ibu akan berusaha secepatnya mendapatkan uang."

Aku mengangguk perlahan. Terkadang aku berpikir hidup ini tidak adil padaku. Seandainya aku terlahir dengan otak cemerlang seperti Kak Adnan mungkin sekarang Ibu tidak akan susah seperti ini. Aku pun ingin seperti dia yang tidak pernah meminta sepeser uang pun pada Ibu. Dia dibebaskan dari segala bentuk biaya sekolah. Undangan Olimpiade Sains pun sering dihadirinya. Gelar juara tidak pernah luput dari genggamannya. 

Aku merasa benar-benar menjadi anak yang paling menyusahkan Ibu. Nilai ujian kelulusan yang terlalu rendah menyebabkan diriku tergeser dari sekolah negeri. Sekolah swasta terdekat yang bisa menerima siswa sepertiku membuat Ibu harus banting tulang mati-matian untuk membiayai diriku. Namun, setelah segenap beban yang aku berikan, Ibu masih mampu tersenyum dan memelukku.

Lembayung nan indah menyapa semesta. Suara khas sepeda motor Kakakku terdengar dari ruang tamu. Dia membawa tiga bungkus nasi untuk makan malam nanti. Makan malam kali ini benar-benar berbeda dari sebelumnya. Mulai dari lauknya yang sangat spesial karena belum pernah kami makan sebelumnya, hingga wajah sumringah Kakakku. 

"Malam ini Kakak bahagia sekali? Tidak seperti biasanya hanya diam lalu membaca buku sampai larut malam." Aku bertanya sambil melahap gurame goreng yang dia bawakan sore tadi.

"Tidak ada apa-apa. Syukuri saja makanan yang ada di depanmu dengan tidak banyak bicara saat makan!" ucap Kakak.

Tentu saja aku akan menuruti apa kata laki-laki jangkung yang tidak pernah banyak berkomentar dengan laporan hasil belajarku yang sudah layak untuk mendatangkan petugas pemadam kebakaran.  

"Kakak akan bicara berdua dengan Ibu. Kamu segera masuk kamar dan belajar ya Adikku sayang!" katanya sambil mencubit pipiku. 

Setelah membereskan meja makan, aku masuk ke dalam bilik berukuran 3x2 meter. Aku membuka satu per satu halaman buku matematika. Pelajaran yang tidak pernah bernilai enam dalam setiap ulangan. Kak Adnan sering mengajariku tanpa pernah mengeluarkan nada tinggi saat aku belum mampu memahami. Beberapa menit berlalu rasanya matematika sudah menguras energiku. Tiba-tiba aku teringat, masih ada daging ikan yang tadi belum sempat habis. 

Aku membuka pintu kamar, dan menuju meja makan. Samar aku mendengar seperti suara wanita sesenggukan di kamar Ibu. Aku menuju kamarnya dan pintu sedikit terbuka. Saat hampir saja membukanya, aku mendengar suara percakapan Ibu dan Kak Adnan.

"Ibu, aku mohon jangan bersedih! Sudah menjadi tanggung jawabku sebagai saudara tertua untuk membiayai sekolah Dik Amira. Aku mohon terimalah gajiku ini, Bu … " Aku mendengar suara Kak Adnan yang membuat hatiku tersayat. 

"Adnan, seharusnya Ibu yang bertanggung jawab terhadap semua kebutuhan kalian. Bagaimana kalau Amira mengetahui bahwa selama ini kamu tidak mengikuti kegiatan ekstra tapi bekerja di bengkel?" tanya Ibu. 

Seperti petir yang menjilat-jilat hingga mematahkan pepohonan. Kakiku gemetar, mataku tergenang, dan airnya meluncur begitu saja hingga pipiku basah. Aku terduduk di gawang pintu hingga daun pintunya terbuka karena dorongan tubuhku. Ibu dan Kak Adnan terkejut dan segera menghampiri tubuhku yang telah lemah. Kak Adnan berusaha menenangkanku. Namun, aku menolak tangannya yang akan memelukku. 

"Aku tidak akan melanjutkan sekolah lagi. Kalian jangan khawatir aku akan bekerja. Jadi kalian tidak perlu bersusah payah menyekolahkan aku yang dungu ini," kataku sambil terisak.

Kak Adnan memegang bahu dan kemudian memelukku erat. Aku tidak mampu untuk melawan tubuhnya yang kuat itu. Akhirnya aku biarkan kepalaku berada di dada bidangnya. 

"Dik, kami tidak akan membiarkanmu putus sekolah hanya karena prasangkamu itu. Kesuksesan tidak dinilai dari berapa banyak prestasi yang kamu kantongi saat ini. Namun kesuksesan seseorang dinilai dari seberapa tekun dia berusaha meraih cita-citanya. Kakak tidak pernah merasa berat membiayaimu selama kamu tetap bersemangat untuk terus melangkah meraih mimpimu. Dalam hal ini, anggaplah Kakak adalah pengganti Ayah kita. Kuatkan hatimu, Dik! Kakak akan kuat jika kamu kuat." Kak Adnan menguatkan aku dengan kata-katanya.

Gelar pahlawan bukan hanya untuk mereka yang berjuang di medan perang. Namun, mereka yang rela berkorban demi orang lain atau orang yang mereka sayangi juga layak disebut sebagai pahlawan.  




Journey To The WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang