Sejak pertama kali aku masuk ketempat ini hanya satu hal saja yang menahanku untuk tidak beranjak meninggalkan pesta ataupun mendatangi kumpulan gadis-gadis yang mengharapkan perhatian penuh dariku malam ini.
Dia berada tepat disebelahku, duduk manis sambil memutar-mutar gelasnya yang masih terisi penuh dengan lychee martini. Koktail berwarna putih dengan butiran buah lychee itu terlihat sungguh mengundang selera, sama seperti dirinya.
“Kau yakin ingin menjadi gadis terakhir disini?” aku bertanya ragu “kau bisa pergi bersamaku kemanapun yang kau mau”.
“Thanks” sahutnya datar “Aku sedang berusaha memecahkan rekorku untuk menjadi gadis terakhir ditiap pesta yang kuhadiri.
Aku terkekeh pelan mendengar jawaban tak masuk diakalnya itu, mata ini sungguh tak bisa lepas memandangi dia. Penampilannya luar biasa, rambutnya yang panjang tergerai dengan cara yang membuatku berpikir kalau dia pergi kepesta ini setelah tertidur entah beberapa lama.
Tak ada yang istimewa dari make-up yang memulas wajah cantiknya yang penuh misteri, hanya saja warna api dibibirnya yang penuh benar-benar menantang diriku untuk bisa menyentuh tempat dimana api itu menyala, membakar naluri alami setiap lelaki yang melihat.
“Kau tidak pergi?” tanyanya.
“Aku memutuskan untuk jadi lelaki terakhir dipesta ini” aku mengeluarkan senyuman terbaik sambil menatap dan mengirimkan sinyal menggoda.
“Baguslah” jawabnya singkat seraya mendekatkan gelas minumannya kebibir dan mulai menyesap dengan lembut membuat imajinasiku semakin mengembara dalam fantasi terliar tentang bagaimana kami akan menghabiskan penghujung malam ini.
Rumah atau apartemen yang mana, sekiranya yang bisa membuatnya terkesan dan sudi menghabiskan malam-malam esok bersamaku lagi.
Irama musik menghentak terdengar dari atas stage diseberang tempat kami duduk, disaat bersamaan lima orang lelaki berpakaian minim muncul dan menari-nari dengan gaya mereka yang provokatif namun tetap maskulin.
Aku mendengus saat melihat beberapa cewek merangsek kearah stage, menatap para Adam nyaris telanjang itu dengan mata berlumur gairah tak tertahankan.
Klub ini memang bukan sekedar klub biasa, privasi benar-benar terjamin dan untuk dapat masuk kedalam hanya diizinkan bagi yang telah menjadi member, jumlahnyapun terbatas.
Disini bukan cuma surga bagi kamu lelaki, para wanita yang haus belaianpun bisa berbagi aroma surga dengan kami ditempat dimana nafsu dibebaskan tanpa harus merasa bersalah pada norma-norma yang berlaku, disini semuanya dihalalkan.
Menyentuh dan disentuh, semuanya dibebaskan.
“Otot perutnya mantap” bidadari disebelahku menggumam datar, membuatku menoleh dan menemukan kesadaran mengejutkan kalau entah sejak kapan matanya tertuju pada salah satu penari pria itu.
Aku tersenyum sekilas mendengarnya “jangan katakan kau tertarik untuk meniduri salah satu dari pria itu” gumamku pelan, kecemasan dalam nada suaraku terlalu kentara. Untuk kali pertama dalam hidup aku merasa terancam dalam memikat lawan jenis. Aku tak ingin gadis disebelahku berpaling dariku hanya demi pejantan tangguh tapi murahan diatas panggung yang sedang meliuk-liuk nyaris bugil.
Tarikan sudut bibirnya yang penuh mengukir senyum penuh rahasia untukku.
Kemisteriusan adalah daya tarik yang telah mematriku untuk tetap setia menemaninya sampai akhir.
“Viviane!” seruku “C’mon...katakan sesuatu sayang!”
“Aku ingin menjilatnya”
“APA!!”
“Otot perutnya”
Aku suka dengan wanita yang tahu apa yang menjadi kehendaknya, tapi melihatnya memberi kode pada bartender yang segera menghampirinya membuatku benar-benar merasa putus asa, terlebih saat dia berbisik sambil menyelipkan sesuatu ketangan bartender itu.
“Akan saya atur mbak” aku mendengar nada puas bersemangat si bartender dan sicantik kembali tersenyum padaku, sebelum turun dari atas kursi bar dan menghilang diantara kerumunan ramai orang-orang. Menjauh dariku.
“Sial” aku memaki keras sambil meninju meja bar dengan geram. Marah, kecewa dan...semacam rasa tak terpuaskan membuat perasaanku memburuk dengan cepat.
Aku benci pengabaian.
Aku benci merasa kalah dan gadis itu melakukan keduanya sekaligus padaku malam ini.
Kuteguk sisa Screwdriver dari gelasku dengan cepat, kemudian mengalihkan pandangan kederetan cewek-cewek yang berusaha menarik perhatianku sejak pertama mereka merasakan kehadiranku disini.
Aku tersenyum menyeringai pada mereka.
Kesenangan, juga pelampiasan.
Aku membutuhkannya sekarang.
*****
Aku terbangun dipagi itu oleh bunyi getar ponsel dan suara Craig David dengan lagunya Insomnia. Suara berisik itu telah menyatukan kesadaran pada tubuhku yang lemas bukan main.
Gumaman suara didekat telinga disertai gerakan halus diatas perutku membuat aku menggeliat dan membuka mata kemudian menyadari kalau aku tidak sedang sendirian saat ini.
Perlahan kucoba mendudukkan diri dan tersenyum pada dua wanita asing yang mengapitku masih dengan mata terpejam dan tubuh yang sama polosnya dengan tubuhku.
“Pagi nona-nona’ sapaku dengan suara serak bukan main” perlahan aku beranjak turun dari atas ranjang king size yang kutiduri, tak ada jawaban dari keduanya...mungkin mereka masih terlalu lelah sehabis puas bermain-main denganku semalam suntuk...ahh..terserahlah, apa peduliku.
Kupungut pakaian dan juga ponsel yang berserakan dilantai, membawanya kekamar mandi tanpa memperdulikan kondisi tubuh yang polos saat beranjak kesana, aku sudah terbiasa melakukannya tanpa harus merasa malu atau jengah.
Ponselku sekali lagi mengeluarkan suara, dan tanpa menunggu aku langsung mengangkatnya.
“Yes, Mom!” sapaku pada penelpon diseberang “Maaf, Renno baru bangun tidur.”
“ALVERRENNO WISNUWARDHANA!! SEJAK KAPAN KAU BERANI MENGABAIKAN MOMMY HAAAHHH!!!... ”
Suara keras diseberang sana membuatku menghentikan gerakanku yang sedang mencuci muka dengan air keran diwastafel.
Ya Tuhan! Apa aku sudah melupakan sesuatu!
“Sorry Mom, Renno enggak ngerti! Memangnya ada apa sih?”
“Kau lupa kemarin sore mommy menyuruhmu apa?” suara mommy beralih dari intonasi geram menjadi kecenderungan amarah yang memuncak.
Sial! Sebenarnya apa yang kulupakan, aku bertanya dalam hati, dan benakku menyambungkanku pada bayangan samar gadis kecil berbandana bunga magnolia yang berdiri disebelahku saat pernikahan mommy dengan Andrew Oey, enam belas tahun yang lalu.
Arfika Oey, adik tiriku.
Oh! Shit, bagaimana mungkin aku melupakannya.
“Oh! Mom, I really sorry, i’m forgetting your message...i dont mean to do that...really mom..”
“Jangan banyak alasan Renno...kau harus minta maaf langsung pada fika.”
Cih! Jangan harap.
“Oke Mom, aku akan cari waktu yang tepat...”
“Jangan banyak alasan lagi..”
“I Promise you mom” jalan terbaik sekarang hanyalah memberikan janji palsuku untuk mami, perkara menemui Fika itu gampang, tapi menemuinya ditempat sepi sendirian sama saja dengan bunuh diri namanya.
“Dia menanyakanmu Ren...mom harap kau mau menemuinya sebelum dia menikah minggu depan.”
Aku terdiam dengan dahi berkerut, ya! kepulangan Fika ke Indonesia tak lain untuk segera melaksanakan amanat mendiang neneknya untuk menikah dengan salah satu sepupuku dari sebelah ayah, Nathaneal Halim.
Keduanya memang telah dijodohkan sejak masih kanak-kanak, dan tampaknya sekarang penyatuan dua keluarga besar itu akan segera terjadi.
Adik tiriku akan menjadi istri sepupuku, dan sepupuku akan menjadi adik iparku.
Oh! sungguh dunia yang sempurna dalam kegilaannya, aku cinta ini, angkat gelas wine tinggi-tinggi dan mari kita melakukannya, salute!
Disepanjang sisa pagi ini aku membersihkan tubuh sambil menggerutu terus menerus dalam hati atas kesialan tak terputus yang membuatku harus terus menerus terlibat dengan keluarga Oey, Arfika terutama.
Dia tidak pernah memiliki imej yang baik dimataku.
Sejak kanak-kanak aku telah menjadi bulan-bulanannya, membuat pengaruh trauma yang begitu besar pada psikologis kanak-kanakku yang terus membekas sampai saat ini tiap kali namanya disebutkan entah oleh siapa saja dihadapanku.
Lebih parahnya lagi saat mom memutuskan menikahi Andrew Oey setelah dua tahun kematian daddyku, membuatku harus menerima monster kecil itu sebagai saudari tiri yang kerap membullyku tanpa sepengetahuan siapapun sampai akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari rumah keluarga Oey saat usia 14 tahun.
Hidup mandiri diapartemen yang kuwarisi dari mendiang Daddy.
Dan kini monster sialan itu pulang.
Memintaku menemuinya sebelum dia menikah, untuk apa lagi kalau bukan ingin melanjutkan penyiksaannya padaku, kayak dia menikah dengan putra konglomerat China daratan saja sampai-sampai menginginkan itu...padahal yang dia nikahi sepupuku yang membuat tampangnya mau tak mau akan selalu aku lihat disetiap pertemuan keluarga Tjoa.
Cih, kesialan ganda buatku.
Masa bodoh. Pikirku, aku sudah memutuskan sejak awal dimana akan menemui Fika. Kurasa resepsi pernikahannya adalah tempat yang tepat. Dia tidak akan bisa membunuhku ditengah keramaian lebih dari tiga ribu tamu undangan yang akan hadir. Dan jika dia menyiksaku maka paling tidak aku hanya akan berakhir dilantai dansa menari semalaman bersamanya, dan jika aku bisa member tanda pada Nathan untuk membawa dia pergi maka semuanya akan beres. Ya! Beres.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Playboy Monarki The Series - Double Players
RomanceDia menjadi playboy karena pengalaman paling traumatis saat kanak-kanak. Tapi dia tak dapat menghindar ketika wanita yang membuatnya tertarik memiliki semua karakter milik dua wanita masa lalu yg paling ia benci. Ini kisah ketika seorang Playboy ber...