6. Strategi halus

49.5K 1.6K 30
                                    

Hanya dalam tempo dua hari semua proses perbankan selesai diurus.

Setelah menerima laporan dari Delon, aku berada pada puncak kebahagiaan pada Jumat siang. Sepanjang hari aku bersiul tiada henti membayangkan malam yang akan aku jalani bersama Vivianne.

Menjelang sore aku sudah siap sempurna untuk pergi menjemputnya pada kencan pertama kami. Aku baru saja hendak menghubunginya saat ponselku berbunyi.

“Ya?”

“Kau sudah siap? Aku akan menjemputmu.”

Aku membeku di ambang pintu kamar, wanita ini benar-benar... hhh...aku tidak akan menarik kesimpulan apapun tentangnya.

Aku bergegas melangkah menuju pintu apartemen. “Vivianne, aku yang akan menjemputmu di rumah, manis.”

“Aku rasa tidak perlu. Ini bukan kencan Renno, ini kesepakatan bisnis. Fornalitasnya akulah yang harus mendatangimu.”

Ya Tuhan, sampai sejauh ini dia menjadikan ini benar-benar permainan profesional. Dasar wanita ular yang mematikan.

“Sayang, dalam hubungan ini, saat bersamaku tolong lupakan kontrak itu.”

Aku mematut diriku untuk yang terakhir kali pada cermin Apollo yang tergantung pada foyer apartemen. Tersenyum puas dengan penampilanku yang segar dan sempurna. Aku beranjak mengambil sepatu dari tempat penyimpanan kemudian bergegas membuka pintu apartemen dan...

Aku mendengus kesal sambil mematikan ponselku dan menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.

Gadis di hadapanku melakukan hal yang sama. Berdiri di depanku, dalam balutan gaun ala Yunani berwarna candy blue dia adalah wanita impian yang keluar dari imajinasiku.

Aku melipat kedua tangan di dada. “Apa sebegitu tidak sabarnya kau pergi kencan denganku?” aku bertanya sarkastis.

Tanpa malu Vivianne tersenyum formal, “Ini sopan santun bisnis.”

Aku mendesah nafas kesal, kedua tanganku kuturunkan dan menyimpannya  pada saku celana jeans yang kupakai.

“Jadi apa kau akan membiarkan aku masuk, kita keluar, atau kita akan melakukan seks kilat disini.”

Ouhhh. Itu undangan frontal atau apa?

Aku menutup pintu di belakangku cepat, sebelum ide menarik Vivianne dan langsung mencumbunya di ruang tamu muncul dan menyala dalam kepalaku.

“Jangan memancingku Vianne, untuk sekedar kau ketahui aku tertarik mencoba semuanya denganmu.” Aku berbisik dan menggigit daging empuk di ujung cuping telinganya.

Gadisku tersenyum manis, namun datar, nyaris tak beremosi.

Oke ini saatnya aku bermain api. “Tunggu Vivianne,” pintaku padanya. Dia menghentikan langkahnya dan aku berbalik untuk menghadap kearahnya menundukkan kepalaku untuk menatap langsung kedalam matanya.

“Aku menginginkan keistimewaan darimu, manis.”

“Apa yang kau mau Tuan Wardhana? Aku ada untukmu.”

Senyumku melebar, dengan satu gerakan lembut aku membenahi anak rambutnya, menyelipkan kebalik telinga.

“Aku tidak bisa bercinta denganmu tanpa melihatkan perasaan.”

Vivianne tertawa sinis. “Jangan katakan kalau kau hanya tidur dengan gadis yang kau cinta, atau yang mengumbar kata cinta untukmu?”

“Tentu tidak sayang, aku pasti menjauhi wanita tipe seperti itu sebelumnya.” Aku bicara jujur, “tapi kau beda, denganmu ada harga yang harus aku bayar dan karenanya aku minta keistimewaan.”

“Well,” dia mengangkat bahu sekilas “aku tidak keberatan sama sekali.”

“Yah, memang sudah seharusnya.” Aku menimpali setuju.

“Jadi, apa yang harus aku lakukan Tuan Wardhana.”

“Selama kita bersama, kau harus memperlakukan aku seperti kekasihmu.”

“Itu gila.” teriaknya tak percaya.

Aku menyeringai dan pura-pura terlihat kaget dengan reaksinya. “Wah...wah... kupikir kau sudah tahu jika aku suka bermain-main.”

Vivianne memejamkan matanya sekilas, kemudian menatapku sambil mengangkat dagunya lalu tersenyum kaku.

“Fine, aku menyanggupi.” Katanya.

“Oh itu harus. Kau tahu aku suka cewek pemberani.”

“Aku bukan untuk kau sukai, Tuan Wardhana, aku ada di secara profesional untukmu.”

“Yap. Aku suka mitra bisnis yang kompeten.” Aku meralat kalimat itu sambil mencubit pipinya dengan gemas.

“Jadi, permintaanmu tadi...” dia menelan ludah sesaat sebelum lanjut bersuara, “Apa termasuk dengan jenis panggilan sayang.”

Itulah yang aku suka dari mitra kerja yang peka, ini tentu hanya salah satu dari sekian banyak akal-akalanku saja. “Tentu saja.”

Vivianne memutar matanya dengan jijik, melihatnya seperti itu luar biasa membuatku gemas. Aku menyelipkan tangannya pada lenganku dan mulai membawanya melangkah menuju ke lift.

“Aku menuntutmu untuk menemukan panggilan sayang spesial untukku, Vianne.”

“Demi Tuhan aku tidak bisa menemukan sesuatu yang cocok untuk memanggilmu, Tuan Wardhana...”

Kulirik dia sambil mengangkat sebelah alisku.

“Bos. Bagaimana dengan itu?”

“Kau tidak imajinatif, honey.”

“Well, bagaimana dengan Ciku.”

“Ciku?”

“Cintaku...”

“Itu, terlalu...” manis “menjijikkan, jenis nama yang cocok hanya untuk seekor simpanse.”

“Ah!” Vivianne mendongakkan kepala dengan kesal, “kalau Saci?”

“Saci?”

“Sayang cinta, aku biasa menggunakannya untuk memanggil teman-teman gay ku.”

Shit, anjing laut. Dia pikir aku teman gay nya apa?
“I’m not a Gay. and I’m normal horny man with on fire testosteron for you, honey.”

Dia terkekeh mendengar lelucon kering itu.

“Cukup panggil aku, sayang, oke?”

Dia memutar matanya satu kali lagi, “Anggap saja aku mengangguk” ketusnya dengan wajah cemberut saat melihat aku menaikkan sebelah alis dan memberi pandangan memperingatkan.

“OKE!” bentaknya marah, “SA-YANG.” saat mengucapkan kata itu alih-alih mengucapkan dengan nada manja dan lembut dia malah terdengar bagai sedang mengumpatkan makian kotor untukku.

Kukecup dahinya mesra. “Terdengar menyenangkan saat kau mengucapkannya, sayang.”

“Haaaaah, Renno Wardhana, sampai kapan kau akan seperti ini.” Keluhnya dramatis.

Aku tertawa dan menarik tubuhnya merapat pada tubuhku.
.............


Disepanjang jalan aku mengendarai mobil dengan santai, tanpa merasa harus terburu-buru. Kami membicarakan apa saja dan aku memanfaatkannya dengan baik untuk menyelidiki Vivianne lebih dalam.

“Tolong katakan padaku dengan jujur Vivianne, aku pria keberapa dalam hidupmu?”

“Hmm,” aku melihatnya menggumam dan tampak tengah berpikir dengan serius, “Entahlah. Mungkin sebanding dengan jumlah teman kencan yang kau miliki, apa kau juga menghitungnya?”

Woowww... pintar sekali caranya berkelit dariku.
Tapi aku memutuskan untuk tidak putus asa, karenanya aku kembali bertanya.
“Tipe laki-laki macam apa yang kau sukai?”

Vivianne menatapku sekilas dari balik kaca mata ber frame coklat yang ia kenakan. “Apa aku sedang diwawancarai?” ia bertanya ketus.

“Jawab saja, please.” Pintaku memohon, dan kemudian  aku melihatnya menghela nafas dengan dengan wajah masam.

Keingintahuanku tidak membuatnya nyaman atau justru tersanjung seperti gadis-gadis lain yang selama ini aku kenal baik.

Vivianne selalu berusaha menjaga jarak denganku, sedapat mungkin ia selalu berusaha memperingatkan bentuk hubungan kami, dan kadang itu membuatku sungguh frustasi.

“Aku tidak pernah membatasi selera dalam hal apapun Tuan Wardhana, aku pernah mencoba kencan dengan nyaris seluruh laki-laki dari berbagai bangsa, juga beberapa perempuan.”

Aku menatap kaget kepadanya, mengejutkan saat tahu seleranya, dia benar-benar menyukai apapun, benar-benar petualang sejati.

“Aku Omnivora dalam selera seksual, dan aku tidak akan membela diri jika ada yang bilang aku wanita jalang murahan, tapi semua itu sungguh menyenangkan.” Untuk kali pertama aku melihat seringai kepuasan saat dia usai bercerita.

Dia memulai ceritanya dengan suara datar, dan aku berusaha mendengarkan dengan baik sambil mengendarai mobil.

“Diantara semuanya siapa yang paling berkesan bagimu sayang?”

Dari spion mobil aku melihatnya menggelengkan kepala.

“Benarkah tidak ada?”

“Aku tidak pernah ingin mengenal lebih jauh pasangan kencanku.”

Aku meliriknya sekilas, “Maksudnya?” aku menanyakan itu saat benakku tidak lagi punya cukup ide untuk menerka sendiri makna dibalik pernyataannya.

“Aku hanya jalan satu atau dua kali dan setelahnya aku mengakhiri segala bentuk hubungan apapun.”

“Tidak ingin terikat secara emosional?” tebakku.

Dia mengangguk pelan, “Dan brengsek secara moral.” Timpalnya dingin.

Well, aku memahaminya dengan sangat karena pada kenyataannya akupun melakukan seperti apa yang ia lakukan.

“Tapi sekarang aku menuntut perlakuan beda darimu, sayang. Sepenuhnya saat bersamaku sedapat mungkin gunakan hatimu, atau paling tidak berpura-puralah.”

Vivianne tersenyum malas “Ya..ya..ya...” sahutnya dengan suara bosan.

“Itu peringatan, bukan permintaan Vianne.”

“Aku tahu,” dia menjawabku pelan. “Aku dibayar untuk itu bukan, dan aku beryukur karena itu akan selesai dalam waktu tiga bulan.”

Aku balas tersenyum menyeringai padanya, dalam hati mensyukuri ketidak sensitifan Vivianne terhadap apa yang aku rencanakan.

Aku ingin dia terus berpura-pura memainkan peran sebagai kekasihku, dan aku akan membuainya dengan kasih sayangku yang berlimpah, membuatnya sedikit demi sedikit terjebak dalam tipuan rasa yang aku ciptakan. Sampai akhirnya dia akan jadi sangat sulit memisahkan antara kebohongan dengan kenyataan.

Sehingga dia tak dapat terpisah dariku dalam kondisi apapun. Selamanya.

Aku membelok di depan pintu gerbang rumah pantai dan memarkirkan mobil tepat di halaman samping yang langsung menghadap kearah marina dimana mini yachtku dilabuhkan.

Aku membuka pintu mobilku dan membukakan untuknya juga.  Kami kemudian berdiri bersama-sama di depan kap mobil menghadap ke laut Jawa dengan pemandangan matahari terbenamnya yang menyepuh mega-mega dengan warna tembaga cair.

“Ini indah.” Bisiknya pelan, ditelingaku saat kutarik dia kedalam dekapanku. Aku mengangguk setuju seraya menyandarkan daguku kebahunya, dia tersenyum dan menaruh tangannya diatas pelukan tanganku, jemarinya menari-nari disana, menggoda.

Hembusan angin membawa aroma laut pada kami berdua, dan itu terasa hangat dan nyaman saat Vivianne berbalik dan merapatkan tubuhnya padaku dengan seduktif.

“Disini terasa panas. Katakan padaku dimana sekiranya aku bisa membuka pakaianku seluruhnya?”

Aku menyeringai mengetahui alur permainan yang ia bangun untuk kami nikmati. “Aku suka keindahan dan warna gaun ini,” balasku pelan. “Berharap kau masih akan menggunakannya sedikit lebih lama.”

Dia tidak mengatakan apapun, tapi memilih berjinjit untuk mencium bibirku, berlama-lama menggodaku dengan harum nafas barley mint.

Sejenak aku kehilangan kendali dan terhanyut bersamanya, kumiringkan kepala untuk memperdalam jangkauan lidahku. Vivianne menahan tubuhnya dan menjadikan kap mobil sebagai tumpuan dari lututnya. Dalam posisi itu dia sepenuhnya merapat padaku dari atas sampai kebawah.

Aku menghentikan semuanya sedetik sebelum kegilaan menghantam isi kepalaku. “Tidak disini sayang.” Aku mengatakan itu separuh berbisik.

Dia menatapku dan tersenyum licik, “Apa kau yakin?” jemarinya bergerak pada bagian sensitif diantara kedua pahaku. “Kau menginginkanku, sayang.”

Aku tidak mengatakan apapun karena itu tidak penting. Para penghuni neraka tahu aku sangat menginginkannya, dan apa yang kulakukan hanyalah cara untuk mendapatkan kesenanganku sedikit lebih lama.

Kupegangi dua sisi kepalanya dan menatap jauh dalam matanya, sulit benar menahlukkan wanita yang satu ini.

Aku tahu kenyataan itu saat menemukan betapa kuatnya dia mempertahankan diri dari segala yang aku beri untuknya.

Itu tidak menyerupai keangkuhan yang dibuat-buat, Vivianne benar-benar terlatih sebagai pematah hati banyak lelaki.

Dan bisa saja itu diriku kelak akan menjadi salah satu
dari sekian banyak pria korban Vivianne.
Tidak, aku tidak akan berakhir seperti itu.

“Sayang,” bisikku ditelinganya, “apa kau percaya aku sekarang sudah jatuh cinta padamu?”

Tawanya pecah seketika, “Astagaaaa...kau membuat ini jadi serius sekali.” Vivianne balas menempelkan dua telapak tangannya pada wajahku kemudian merenggut bibirku dengan tidak sabaran. Lama setelahnya kami baru bisa saling melepaskan.

Saat aku menatapnya, tidak kutemukan tatapan mencemoohnya seperti biasa. wajahnya serius, dan pada matanya aku menemukan banyak –tipuan- cinta untukku.  Kami tidak membicarakan apapun lagi, hanya saling bertatapan sepanjang rembang petang itu.
....................


Usai makan malam kami menikmati suasana bersama di teras lantai dua yang menghadap kearah laut. Dari kejauhan lampu-lampu dari kawasan pergudangan dan perumahan yang berseberangan dengan rumahku terlihat bagai pijar kunang-kunang.

Dalam pelukanku Vivianne menikmati anggurnya sambil berkali-kali menggumamkan kata indah dengan suara pelan sementara aku terus memandangnya sambil tersenyum-senyum sendiri.

“Boleh aku bertanya?” tanpa menoleh padaku dia tiba-tiba bersuara.

“Anything, babe.”

“Apa yang membuatmu tertarik padaku?”

Aku terdiam. Jelas aku tidak dapat mengatakan apa alasannya dengan jujur.
“Murni ketertarikan padamu, sayang.” Kilahku cepat.

Vivianne menoleh padaku, menatap dengan dahi berkerut, menyelidik, seakan tahu apa yang aku sampaikan bukanlah suatu kejujuran.

“Tuan Wardhana, itu sama sekali bukan jawaban dari hatimu, sayang.”

Aku tersenyum menyeringai, melambung karena panggilannya padaku. “Lalu menurutmu apa?”

“Ketika seorang player tertarik pada gadis, hanya ada tiga alasan membenarkannya.”

“Oh ya! aku terkejut karena itu terlalu sedikit, sayang.”

Vivianne mengangguk. “Pada kenyataannya rasa yang lain hanya berlaku sebagai pelengkap saja.”

“Kita bisa mengadu argumentasi tentang itu nanti Viane,” kataku lembut, “sekarang katakan padaku apa tiga alasan terbesarnya.”

“Oke, alasan pertama adalah tantangan, itu yang terkuat dari semua alasan yang ada... seorang player lebih menikmati proses untuk mendapatkan kemenangan dari pada ketika dia memenangkan pialanya.”

Aku menjentikkan jariku setuju, “Itu masuk di akal.”

“Yang kedua adalah nafsu, aku menebak ketertarikanmu padaku berlatar pada hal ini. Benar begitu?”
 
Aku tertawa pelan, kemudian menggeleng.
Vivianne menatapku tidak percaya.

“Jika nafsu yang menjadi landasanku, sayang, sejak malam ketika adik tirimu memukulku, dengan senang hati aku akan membuatmu naik ke tempat tidurku saat itu juga.”

“Sedikitpun, apa kau tidak merasa tertarik pada tubuhku?” matanya membesar, menatapku dengan pandangan horor terbaik dari matanya.

Dan aku tidak tahan lagi untuk tidak tertawa. Menertawakannya.

“Tentu saja Vivianne, paket lengkap yang aku terima tentu saja melibatkan tubuhmu. Tapi itu bukan yang terpenting untukku.”

Ketidak mengertiannya membuat aku gemas. Tidakkah pernah ada yang memuja gadis ini dengan penuh ketulusan?

“Opsi ketigamu,” desakku, “tidakkah kau ingin mengatakannya?”

Dia menggeleng perlahan, dahinya masih mengerut dan tampat seperti sedang berpikir serius. “Opsi ketiga, tidak sepenting opsi pertama dan kedua. Jadi aku akan tutup mulut untuk itu.”

Berusaha menyidik jauh kedalam matanya, dan kutemukan apa yang ia coba sembunyikan. Opsi ketiganya.

“Aku bisa menebaknya sendiri kalau kau mau, sayang.” Godaku mulai usil.

Semburat merah muncul pada wajah gadisku. “Tolong kita simpan itu dalam pikiran kita masing-masing saja Tuan Wardhana.” Potongnya cepat, lalu kembali meneguk wine ditangannya dengan wajah penuh konsentrasi.

Mataku merenung menatapnya, berpikir keras mencari apa sekiranya kalimat yang bisa menggugah hati Vivianne yang datar itu. dan ketika aku menemukannya, ada ketercenganganku pada kenyataan buruk yang selama ini coba aku sembunyikan.

Bukan tantangan, nafsu atau cinta yang menjadi landasan kebutuhanku pada gadis ini. Ada sesuatu yang lebih gelap dari itu yang membuatnya jadi daya tarik untukku.

Masa lalu.

Aku menghela nafas panjang saat menyadari kemana arah pikiran membawaku.

Vivianne menoleh kearahku, saat mata kami bertemu bagian diantara sepasang alisnya bertaut dengan cara yang menarik.
“Kenapa?” dia bertanya sambil memiringkan wajahnya menghadap kearahku, “ingin mengatakan sesuatu?”

“Apa kau ingin tahu alasan terbesar dan paling jujur tentang kenapa kau bisa menarik perhatianku, Vivianne?”

Gadisku hanya terdiam selama beberapa menit sebelum kemudian mengangguk dengan penasaran, “tentu, kalau kau tidak keberatan menceritakannya.”

Kami kemudian saling berdiam diri, aku menguatkan mental untuk membuat pengakuan atas kelemahan dan ketakutanku.

“Kau mirip Ibuku Vivianne.”

Dalam satu detik aku mendengar suara tawanya berderai penuh ejekan. “Anak Mami, huuuhhh!”

Aku mencebikkan bibirku kemudian tersenyum, “Tidak begitu, sayang.” Bisikku pelan.

“Oh, ya!”

Kepalaku mengangguk, karena jarak kami yang terlalu dekat aku dapat bergerak sekilas untuk mengambil ciuman darinya. Lidahnya menggelitik lidahku saat kami melakukan itu.

Setelahnya kami berbaring sambil berpandangan dalam diam. “Kenapa?” dia mendesakku dengan pertanyaan.

“Pemujaan anak laki-laki pada ibu yang melahirkannya adalah hal lumrah, dan kurasa sama halnya denganmu bukan.”

Satu kali lagi aku menggeleng. “Tidak akan pernah sama dalam kasusku Vianne, karena pada kenyataannya aku sangat membenci ibuku.”

Mata itu membelalak kaget.
Vivianne menggelengkan kepalanya, “tidak mungkin.”

Aku menganggukkan kepala mencoba menguatkan pembenaranku. “Aku sangat membenci ibuku Vivianne.”
 
“K-kenapa?”

“Karena dia telah membuat banyak orang menderita.” Mataku terpejam, mencoba menghalau ingatan kanak-kanakku yang seringkali masih datang dalam bentuk mimpi buruk dalam tidurku.

“Umurku tujuh tahun ketika itu.” aku memulai ceritaku.

“Aku sedang bermain di taman rumah keluarga yang menjadi sahabat kami. Sore yang ceria dan hangat, aku bermain petak umpet dengan cucunya adik perempuan nenekku saat melihat ibuku mencium ayah temanku dengan jenis ciuman terkotor yang pernah aku lihat...”

“Renno...” aku mendengar Vivianne mendesah menyebut namaku dengan suara lemah, jemarinya menyentuh wajahku, membuatnya mendongak sampai mata kami bertemu.

“Mereka kemudian menyelinap kesalah satu kamar, tanpa menyadari jika aku melihat semuanya...”

Vivianne menarikku, mendekap dengan sangat erat, “Kau tidak harus menceritakan itu padaku, sayang.”

Dalam pelukannya aku menggelengkan kepala, Vivianne tentu saja harus tahu dengan jelas semua yang ada dikepalaku.

“Aku menangis dan berbalik hanya untuk menemukan ayahku berdiri dibelakangku... dari caranya menatap aku tahu dia juga menyaksikan apa yang aku lihat.”

“Ya Tuhan.”

“Ayah, memelukku dan membawaku pergi tanpa mengatakan apapun. Ibuku kembali lima belas menit setelahnya, menghampiri kami dan memberi kecupan pada wajah ayah dengan bibirnya yang baru saja melumat bibir lelaki lain.”

“Mereka berpandangan bagai pasangan yang saling mencintai, tapi ibuku penghianat dan ayahku menutupi perbuatannya dengan berpura-pura tidak melihat.”

“Aku tak tahu berapa banyak ayah mengeluarkan uang untuk menutup mulut para pembantu kami yang kerap kali memergoki ibu menyelinapkan kekasih gelapnya.”

“Menahan diri sendiri karena terlalu takut ibuku akan pergi meninggalkannya, sampai akhirnya kalah oleh penyakit jantung...” kutelan ludahku kelu.

“Kau mirip ibuku,” bisikku ditelinganya, dan aku dapat merasakan dalam dekapku tubuhnya kaku. “Sejak pertama kau sudah membuatku sangat menderita Vivianne.”

“Lalu kenapa kau tidak menjauhi aku?” lembut suaranya saat bertanya.

“Entahlah, kurasa ini ada hubungannya dengan bagian genetik lelaki keluarga Wardana.”

Vivianne menarik tubuhnya dariku. “Renno, tidak pernah ada dua orang yang benar-benar menyerupai dalam tingkah satu sama lain, sayang.”

“Tentu saja,” aku mengangguk setuju. “Kau dan ibuku punya alasan yang berbeda untuk apa yang kalian lakukan masing-masing.”

“Hanya saja yang aku ketahui adalah, aku akan jadi sama menderitanya dengan ayahku karena mencintaimu.”

Vivianne mencium sudut bibirku sekilas. “Aku tidak ingin kau menderita, lagipula kita sudah tahu hubungan seperti ini kelak akan berakhir sampai dimana.”

“Aku hanya berharap kau bisa menikmati ini Renno, saat ini aku untukmu. Hanya itu yang perlu kau... hmmff...”

Aku menginterupsi kalimatnya dengan sebuah ciuman panjang yang kuambil secara paksa. Aku menciumnya dengan kasar untuk melupakan ingatan pahitku. Lama setelahnya ciuman baru berakhir dengan kepala kami yang masih saling menempel, mata terpejam dan nafas yang terengah-engah.

“Aku kasar padamu,” gumamku pelan.

“Kasar!” dia berseru sambil tertawa kecil. “Renno, aku suka yang seperti itu.”

“Benarkah? Kupikir setiap wanita selalu ingin bermain lembut.”

“Tidak. Aku tidak.”

“Kita akan cari tahu bersama, kau bohong atau tidak.” Kataku sambil kembali memagutnya dengan sepenuh hati.
..................


Apa yang aku lihat ketika terbangun di pertengahan malam bukanlah Vivianne yang hangat dan terkendali. Aku mengernyit saat mataku membentur dengan bayangan wajahnya di kaca yang memperhatikan aku sambil mengeringkan rambutnya.

“Vianne, ini baru jam dua malam, sayang!” gumamku dengan nada tidak rela.

“Lalu?”

Aku menahan nafas saat mendengar kesan dingin dalam suaranya, “Kau mau kemana?”

“Pulang.”

“Sayang...,”

“Diam! Renno,” Bentaknya kasar. “Kurasa hari ini cukup sampai disini dulu, aku tidak tahan hanya kau buat melayang-layang tanpa ada penyelesaian.”

Aku terkekeh demi mendengar omelan Vivianne. Aku memang sengaja bermain licik dengan terus mencumbunya tanpa melakukan penetrasi. Ini sengaja aku lakukan untuk membuat tubuhnya terbiasa dengan permainanku, gayaku.

“Vianne, bukankah kita telah sepakat. Dalam hubungan kita, akulah yang berhak menentukan kapan sekiranya permainan dilakukan tanpa adanya tuntutan darimu.”

Gadisku berbalik dan melemparkan hair dryer padaku. Aku menangkap benda itu sebelum kembali menjatuhkannya karena memegang bagian logam yang panas.

 “Awww...” ringisku tertahan.

“Fine, Tuan Wardhana, ini salahku.” Saat mengatakannya Vivianne mulai kembali bermain emosi, senyuman datar dan semua sikap palsunya ia hadiahkan padaku.

“Maafkan aku karena tidak bisa berkomitmen pada perjanjian kita dengan benar, sebagai wanita yang biasa menuntut untuk selalu terpuaskan aku tidak terbiasa dengan gayamu, maafkan aku.”

Oh! Sial, dia mulai kembali terukur dan fokus dengan tujuannya semula.

“Aku paham, sayang.” Kutepuk bantal disebelahku, “Ayo kembali kesini, ini masih terlalu dini untuk pulang.”

“Tidak.” Tolaknya tegas. “Aku harus kembali besok, pagi-pagi sekali aku harus ikut sahabatku fitting gaun pengantin dan gladi bersih resepsinya.”

Aku mengerutkan dahi. Kenapa bisa kebetulan, pikirku heran.

“Siapa temanmu itu?’

“Fika Oey.”

“Ashhhh...”

“Kenapa?” dia bertanya curiga.

Kugelengkan kepalaku, “Tidak.”

“Kau mengenalnya?”

“Sangat. Adik tiriku.”
 
“Oh! kebetulan sekali.” Vivianne tersenyum sekilas. “Jadi kau orangnya? Kakak tiri brengsek yang pernah menjebaknya.”

Aku mencoba untuk tetap tenang dan mengukir senyum untuk Vianne. “Apapun yang dia katakan tentang aku, itu hanya lelucon.”

Vivianne nyengir sambil mengangkat bahunya, “Sama sekali bukan urusanku kalau hubungan kalian tidak baik.” Dia kembali sibuk memasukkan barang-barangnya dalam tas sandang yang dia bawa.

“Aku tetap harus pulang kerumah, sayang.”

“Uhm, baiklah.” Kataku seraya bangkit dengan malas-malasan dari tempat tidur.

“Kurasa tidak akan baik bagi hubungan kita jika aku terus menerus membuatmu kesal. Aku akan mengantarmu Vianne, tunggu sebentar sayang.” Lanjutku sambil berlalu kearah kamar mandi.
..............


Kami sampai ke apartemennya pukul setengah empat dini hari. Vivianne menolakku saat aku mengatakan ingin mampir.

“Lain kali saja.” Katanya mencoba meredakan sedikit kekesalanku. “Aku akan banyak bekerja pagi ini, setidaknya kau cobalah untuk beristirahat.”

Dia menggelayuti leherku dengan gaya manja, siapapun yang melihat kami sama sekali tidak akan menyangka bentuk hubungan kami yang unik ini.

“Apa kita bisa makan siang bersama?” aku bertanya penuh harap.

Dan dia membalasnya dengan gelengan cepat, “Aku ikut harus gladi bersih, Renno.”

“Ah! ya, ucapkan selamat bahagia untuk pernikahan Fika yang menjadi penghalang kesenanganku.” Gumamku sebal.

Vivianne tertawa kecil mendengar gerutuan itu. “Kenapa kau tidak mencoba untuk hadir.”

“Tidak.” Aku menjawab singkat tanpa niat untuk memberi penjelasan.

“Akan sangat menyenangkan jika kau hadir, Fika menginginkan aku menjadi brides maid nya , dan aku membayangkan fantasi panas tentang menggoda kakak tiri sang pengantin di kamar ganti.”

Astagaa... aku membelalakkan mata sambil nyengir mesum padanya.“Itu rencana yang sangat panas. Ngomong-ngomong dimana tempat resepsinya?”

“Wah Renno, kau benar-benar antipati pada adikmu, sayang? Bagaimana bisa kau tidak tahu tempat resepsinya dimana.”

“Aku tidak tertarik untuk tahu,” kugigit cuping telinga kirinya lembut. “Sebelum ini.” Tambahku lagi.

Vivianne tersenyum padaku kemudian mengambil tasnya dari bangku belakang mobil. Aroma parfumnya menggelitik indera penciuman, membuat setan di jiwaku marah besar karena aku melewatkan kehendaknya malam ini.

“Aku harus pergi.”

Aku mengerangkan kekecewaan ditelinganya. “Kumohon jangan.”

“Rengekanmu tidak berguna, sayang.” Matanya mengerling nakal. “Tapi aku akan meluangkan waktu secara rahasia di ruang ganti pengantin siang ini.”

Bayang senyumnya di mataku menyala. Demikian juga dengan semangatku.

“Kau akan datang?”

Aku menggelengkan kepala. “Tapi aku berpikir untuk menyelinap.”

Vivianne mengecup pipiku mesra. “Itu bagus,” katanya sambil keluar dari dalam mobilku.

“Untuk kau pikirkan,” katanya dimuka pintu mobil yang separuh terbuka dengan gerakan ringan Vivianne kemudian melompat turun. “Aku akan memakai garter dibalik gaunku nanti.” Dan dengan keras dia menutup pintu mobil.

Meninggalkanku mengerang sendirian dengan anggota tubuh bagian bawah yang kaku.
..............


Playboy Monarki The Series - Double PlayersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang