9. Titik Balik

41.2K 1.5K 50
                                    

Tiga bulan berlalu dengan cepat.

Aku tahu dengan pasti apa yang sedang aku lakukan. Dengan sadar aku sudah menenggelamkan diri dalam jurang kehancuranku.

Perang dingin dengan Mami yang marah besar karena aku bersedia menjadi tameng bagi anak tirinya.

Dan berusaha keras untuk tidak menjadi kakak brengsek bagi adik tiriku –mesti sebenarnya aku sudah brengsek dari dulu- dengan bertingkah bijak setiap kali tanpa sengaja melihat ‘show’ mesranya dengan rentetan pria yang dipacarinya selama tiga bulan belakangan.

Dan ini rekor terbaru Fika. Pria ketiga bulan ini.

Aku berdehem pelan, untuk menarik perhatian sepasang manusia yang sedang bercumbu mesra dalam ruangan kerja salah satu anak perusahanku yang baru, dimana Arfika menjadi penguasanya.

Mereka berhenti berciuman dan menjauhkan diri satu sama lain. Pemuda itu tersenyum canggung padaku.

Aku mengenali wajahnya, playboy kelas menengah yang terkenal berkat publisitas gratis mantan-mantannya yang kebanyakan artis pendatang baru.

Dan kini dia jadi kekasih terbaru adik tiri sekaligus wanita yang diam-diam aku cintai.

Pernahkah ada yang mengatakan jika hidupku sangat rumit?

“Maaf Fika, aku hanya ingin memberi tahukanmu jika aku akan meninjau Mall yang ada di Sumatera bagian selatan.” Kataku padanya, “Jadi tolong bantu koordinasi dengan kepala proyek disana.”

“Besok?” Arfika mengernyit menatapku, “Tidakkah itu terlalu terburu-buru.”

Bahkan disaat mengatakannya dia tidak berusaha menjauhkan diri dari ‘mainan’ barunya.

“Dua hari lagi Cap go meh, jadi kurasa aku memang harus ada disana.”

Cap go meh” dia kembali mengulangi kata itu, “apa itu artinya kau akan sembahyang ke Pulau Kemaro?”

Aku mengangguk mengiyakan.  

“Sialan Renno kenapa kau tidak mengatakan apapun, aku ikut.” Putusnya cepat, membuat aku maupun pria mainannya terkejut.

Arfika sama seperti keluarga Oey lainnya sebenarnya sudah tidak merayakan tradisi Konghucu apapun lagi.

Aku mengangkat bahu perlahan sambil berbalik arah. Disaat seperti sekarang aku tidak terlalu berminat berada dalam radius kurang dari sepuluh meter dari Fika.

“Aku akan berangkat sekarang juga ke bandara, kau susul saja nanti, oke.”

“Tidak, aku akan pergi bersamamu Renno.” Tegasnya tak bisa dibantah. Buruknya aku terlalu lemah untuk memaksakan diri untuk membuatnya mengalah.

Aku berbalik dan melihat dia meraih tas tangan dan mematikan laptopnya. Secara terang-terangan dia mengabaikan ‘mainannya’ begitu saja.

Dahiku berkerut. Membuat manusia, pria, merasa bagai sampah adalah keahlian utama Arfika, sepertinya.

“Kurasa kau harus membawa persiapan.” Kataku saat menatapnya.”

“Tidak perlu, nanti aku akan membeli pakaian di Palembang.”

Melihat kekeraskepalaannya aku hanya mengangkat bahuku sekilas. “Terserah.”

Dia tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menggamit lenganku.

Dari banyak hal yang menjadi kesulitan saat bersama Fika, ini jadi salah satunya. Arfika sama sekali tidak pernah ingin membatasi kontak fisik denganku meski kontrak kami dibatalkan dan aku berulang kali memberinya peringatan lisan.

Mungkin lain kali aku harus memanggil Notaris untuk mengesahkan peringatan tertulis bagi Fika.

Dia bagai ingin menguji daya tahanku padanya.

“Setidaknya kau harus mengatakan sesuatu pada mainanmu, Fika” aku menunjuk kekasih barunya dengan daguku.

Dahinya berkerut sekilas, dan kemudian aku menemukan jika bibirnya membentuk seringai sinis. Dia melambaikan tangannya pada pria itu, “Bye, Berto aku akan menghubungimu lagi. Kapan-kapan.”

Tercengang aku saat menatapnya, dan aku tahu si middle class Playboy-pun terkejut dengan kata-kata Arfika.

“Itu terdengar sama seperti kau sengaja mengakhiri hubungan kalian.” Tegurku saat tersadar kemudian. Kami sudah berada dalam lift yang sedang melaju turun.

Adik tiriku terlihat sedang memeriksa sesuatu di gadgetnya. “Memang begitu.”

“Oh! tidakkah ada yang memberitahumu kalau kalimatmu terdengar seperti penghinaan?”

“Aku tidak peduli.” Tandasnya dengan suara bosan sambil memasukkan ponsel kedalam tas anyaman berwarna hijau yang ia bawa.

“Pria membosankan tidak baik untuk kesehatan.” Aku tidak dapat menahan tawa mendengar kata-katanya. 

“Lagipula satu-satunya pria di Indonesia yang mampu membuatku tertarik secara seksual cuma kau, Kak.” Sambungnya lagi.

Rahangku mengatup secara refleks. Benakku memperingatkan jika ini bagian dari rencananya untuk memulai misi balas dendam lagi. Tapi hatiku justru memberi pengingkaran dengan menghangat mendengar pengakuan Fika.

Kugaruk tengkukku yang tidak gatal untuk menyembunyikan kegugupan dan ketidaknyamanan.
“Eh! Bisakah kau tidak menyinggung itu lagi, Fika.”

“Kenapa?” dia menatapku bertanya.

“Kita saudara.”

“Tiri.” Sahutnya sambil memberiku cibiran sinis.

“Lagi pula membayangkan bercinta dengan saudara sendiri justru menggairahkan menurutku. Aku membayangkan diriku mengerang puas sambil berkali-kali memanggilmu... kakak. Bukankah... itu panasss sekali...” senyumannya berubah menjadi seringai setan.

Hatiku mengumpat, tapi benakku mulai berimajinasi tentang apa yang ia katakan. Otot-otot di bawah sana bereaksi diluar kehendakku.

“Jujur aku benci dengan keadaan ini.” Fika menggumam pelan, pintu lift terbuka dan kami melangkah keluar beriringan.

Dahiku berkerut sejenak. “Apa maksudmu?”

“Tidak bisakah kau mengabaikan pikiranmu dan kembali gila untukku?”

“Gila?” gumamku tak yakin, “apa yang kau maksud kembali pada keadaaan dimana aku dan kau...” aku tidak dapat melanjutkan kata-kataku karena tidak menemukan kalimat yang pantas untuk menyampaikannya.

“Ya!” Arfika melirikku dan menyahuti sambil menggedikkan bahunya. “Aku ingin membuatmu naik keranjangku, kalau kau tahu.”

“Fika!!” sergahku kasar.

“Hanya karena aku membencimu dan kau memiliki ketakutan pribadi padaku, itu tidak berarti kita harus memasang tanda terlarang untuk satu sama lain, bukan?”

Aku mendengus keras-keras. “Kau terlalu jujur.”

“Karena aku tidak mau jadi munafik sepertimu, Renno.”

Kuhentikan langkah dan menatap kearahnya lurus. Aku tidak dalam keadaan ingin bertoleransi dengan imajinasi godaan yang coba dia sampaikan. Aku tahu kalau faktanya tidak ada pengampunan darinya untukku. Berlama-lama memainkan ini hanya akan menjadi siksaan bagi kami berdua.

“Fika, hentikan semua omong kosongmu, selama bersamaku aku tidak ingin mendengar semuanya, oke!!”

Adik tiriku yang cantik, menggairahkan, namun sudah separuh kerasukan jiwa setan menatapku dengan tatapan mencemooh terbaiknya, senyum iblis tersungging di bibirnya yang seksi.

“Kau tidak perlu mendengar, sayang. Kau hanya perlu merasakan.”

Kugelengkan kepala dengan frustasi. “Tidak bisakah kau bertingkah jadi gadis baik-baik, untuk sementara waktu, setidaknya di depanku”

“Dulu kau tidak ingin aku jadi gadis baik-baik.” Sindirnya dingin. “Ayolah, kembali konsisten seperti Kakak tiri jahat yang biasa aku kenal, karena kau jadi baikpun  tidak ada gunanya bagiku.”

“Setidaknya aku telah berusaha.” Jawaban itu terus terang saja tidak disertai dengan keyakinan yang kuat. Sama seperti pertama kali aku melihatnya setelah sepuluh tahun berpisah, aku masih sangat menginginkan Arfika.

“Dan aku akan berjuang untuk membuat usaha itu jadi percuma, Renno.”

SHIT. Aku sangat tahu dia benar. Tekadku mudah tergoyahkan.

“Jadi apa yang kau mau? kontrak kedua?” tantangku gemas.

Arfika membelalakkan matanya dengan dramatis. Dia mungkin bisa menipu orang lain dengan memasang wajah syok, tapi dengan jeli aku bisa menemukan  jika dia hanya sedang memperlihatkan kengerian yang dibuat-buat atas kalimatku barusan.

“Aku bukan cewek seperti itu, Kak. Maaf sekali.”

Sekali lagi aku mendengus. Kali ini bahkan lebih keras dari dengusan banteng marah.

“Apa kau akan berhenti melakukan permainan ini?” desakku diantara emosi yang mulai meluap.

Dia menggeleng sambil tersenyum santai.

Aku tahu aku tidak akan pernah menang dari sexsual bullying ala Arfika.

“Baiklah!” aku menatapnya lelah. “Akan aku ikuti permainanmu, aku akan mengatur agar kau tinggal bersamaku di Apartemen atau dimanapun aku berada.”

Senyum iblisnya tidak terlihat lagi. Kali ini dia justru melongo kaget mendengar kalimatku. Aku mengernyit sambil tersenyum masam. Melihat kenyataan kalau  dia tidak siap untuk ini.

“Tinggal bersama!!” serunya tak percaya.

“Kau keberatan?”

Aku sangat berharap dia segera berteriak, memaki, atau bahkan membunuhku tapi yang aku dapatkan justru pelukan hangat yang intim.

Fika menubrukku merangkulkan kedua lengannya dileher dan langsung menciumku tanpa memperdulikan situasi disekitar.

“Aku bersedia.” Sahutnya setelah ciuman kami berakhir.

“A-APA!?” aku gelagapan sama sekali tidak siap dengan situasi ini.

“Aku bersedia, kita tinggal serumah.”

Caranya menjawab, bagai seorang wanita yang memberikan jawaban atas sebuah lamaran.

Aku kehilangan pikiran sehat dan tidak sehatku gara-gara itu. Lama setelahnya aku baru bisa mengatupkan mulut yang terbuka menganga dalam waktu sangat lama dan kembali menguasai keadaan.

Kujentikkan jemariku di depan wajahnya. “B-Bagus,” kataku. “Sekarang kita harus segera ke bandara. Kita akan bahas semuanya di pesawat nanti, oke.”

Dia memberiku anggukan pelan, bibirnya membentuk senyum tipis dan pancaran mata yang tidak terbaca.

Aku menghela nafas panjang dan menyumpahi setan yang membuat ide itu terlintas.

Aku yakin ini akan jadi mimpi buruk bagiku dan Fika. Tapi sudah terlambat untuk mencegahnya  tidak terjadi.
..............


Kami tiba di Palembang menjelang maghrib. Meski Arfika tidak keberatan jika kami menginap di rumah tua peninggalan keluarga Papi yang umurnya ratusan tahun.

Tapi aku tahu rumah abu tua yang letaknya di belakang rumah utama, sejak dulu selalu saja menjadi sumber ketakutan tersendiri bagi generasi muda Tinghoa seperti kami.

Minimnya fasilitas dan demi kenyamanan membuat aku memutuskan memilih untuk tinggal di hotel.

Lagipula Arfika masih belum memiliki pakaian ganti untuk dipakai dan itu artinya aku paling tidak harus menemaninya berbelanja ke butik yang letaknya satu gedung dengan mega store yang menjadi bagian dari  jaringan bisnis modern trade keluargaku.

Dia banyak membeli pakaian tetapi tidak terlalu membuang waktu. Secara teknis dia benar-benar gadis yang efisien dan tidak membuatku harus memasang wajah teraniaya karena menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berbelanja.

Puas berbelanja aku mengajaknya untuk mengisi perut di restoran Jepang yang sering aku kunjungi setiap datang ke Palembang.

Selama makan Fika tidak memulai cari masalah denganku. Kami makan dengan tenang, sesekali mengobrol tentang pekerjaan dan sudah sampai sejauh mana progres perkembangan usaha yang dia rintis.

Aku lebih banyak menangangi urusan proyek sementara Fika lebih memilih menghandel semua perijinan serta mengatur distributor tunggal untuk menyalurkan produk yang akan diperjual belikan di greenstorenya.

Satu-satunya situasi yang membuatku merasa nyaman dengannya sekarang hanyalah saat kami –secara profesional- duduk bersama membicarakan bisnis.

“Jika progresnya bagus setahun atau dua tahun lagi aku berpikir untuk membuka kebun untuk melakukan pembenihan tanaman tropis. Atau bahkan menggandeng beberapa ahli lanskap kebun dan taman untuk menjadi konsultan.”

“Itu..” aku mengernyit sekilas, “bagus, hanya saja masih butuh waktu, lebih baik kita lihat respon konsumen dulu dengan Greenstore ini.”

Arfika mengangguk setuju. “Aku sangat berharap dengan banyaknya proyek pembangunan perumahan dan properti akan membawa dampak baik.”

“Semo…”

“Renno!”

Sebuah seruan menghentikan kata-kataku. Aku menoleh dan melihat seorang wanita cantik berambut ikal panjang, setengah berlari menghampiri aku.
Mataku melebar antusias dan bergegas bangkit untuk menyambutnya.

“Vanka!” aku memeluk sahabat baikku saat masih kuliah dengan penuh kehangatan. Dia membalas melakukan hal yang sama.

“Datang untuk Cap go meh, hah?” tanyanya seraya melepaskan kacamata yang ia kenakan.

Aku mengangguk dan tersenyum, masih dengan tangan di pinggangnya aku berusaha mengenalkannya pada Arfika.

Mungkin bukan mengenalkan, akan tetapi mengingatkan, Karena faktanya kedua gadis itu saling mengenal saat masih remaja dulu.

“Lihat aku datang dengan siapa?” aku memberi tanda Vanka kearah tempat duduk diseberangku. Sekilas Vanka terdiam dengan dahi berkerut.

“Istrimu?” tanyanya sedikit heran.

“Eh!” sepertinya bukan cuma aku yang tidak mengenali Arfika setelah sepuluh tahun waktu berlalu.

Arfika tersenyum formal, kemudian ikut berdiri dan mengulurkan tangannya pada Vanka.

“Ya, saya istri Renno.”

Demi Dewa Dewi kahyangan, dia bilang apa? Kutatap Arfika dengan ngeri.

“Vivianne Wardhana.” Katanya dengan tegas.
Tatapan peringatan dariku bahkan tidak bisa menghentikan permainannya.

Ivanka menyalami Arfika dengan wajah terlihat kosong entah oleh sebab apa.

“Ivanka.” Katanya lesu.

“Senang bertemu denganmu, tapi…” dengan wajah menyesal dibuat-buatnya Arfika menyambar tas dan melangkah menghampiriku. “Sayang, kita harus kembali ke Hotel. Kepala proyek ingin menemuimu untuk membahas rencana kerja.”

Belum sempat aku mengatakan apapun Arfika menggamit tanganku dan langsung menyeretku berlalu dari hadapan Ivanka.
…………….


“Permainan apalagi ini?” desahku kesal saat kami kembali menuju hotel dengan berjalan kaki karena kebetukan hotelnya berada tepat disebelah pusat perbelanjaan itu.

Arfika tersenyum lebar, “Seru ya?” katanya ceria, “aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Ivanka jika dia tahu ini aku.”

“Apa yang kau harap jika dia tahu ‘ini’ kamu?”

Arfika menggeleng sekilas, “tidak ada.”

Aku menggelengkan kepalaku, tidak mengerti dengan isi otaknya. Harusnya itu tidak mengejutkanku. Bukankah Fika selalu bisa membuat gila.

Oh ya ngomong-ngomong soal gila, kami menyewa apartemen satu kamar untuk ditempati bersama. Fika mengatakan itu sebagai latihan menjelang kami menjalankan kesepakatan bersama untuk tinggal dalam satu atap.

Demi gengsi aku terpaksa harus mengiyakannya. Tidak dapat kupungkiri ketertarikan yang kuat padanya masih menyala bagai api dibalik bertumpuk-tumpuk sekam yang hanya menunggu waktu untuk siap membubung tinggi dan membakar apa saja.

Hanya saja jika mengingat pada kenyataan tidak ada masa depan –seperti yang aku harapkan- dalam hubungan ini, kesadaran terpaksa menarikku pada realita yang sungguh tidak ingin aku hadapi.

“Kenapa dulu kau menjebakku dan Nathan?”

Pertanyaan itu begitu tiba-tiba. Langkahku langsung terhenti begitu saja, dan Fika mengikuti aku yang menghentikan langkah.

Dia menatapku ingin tahu. Sama sekali tak terlihat dendam atau amarah disana, dia begitu tenang dan datar, bagai apa yang ia tanyakan adalah masalah orang lain.

“Aku ingin tahu kenapa kau begitu keras menolak pertunangan?”

Apa yang harus aku katakan?
Bahwa aku sangat ingin melindungi hatinya!
Bahwa aku tidak ingin jadi lelaki brengsek yang kelak mungkin saja bisa mengkhianatinya seperti apa yang dilakukan Mami pada Papi, bukankah sifat genetis itu menurun?

“Kau tidak ingin menjawabnya?” memaklumiku dia bertanya lembut, dan yang aku bisa hanyalah menggelengkan kepala.

“Dulu, yang terbaik untukmu hanyalah kita tidak bertunangan, Fika.”

“Untukku?” kerutan keheranannya menyatu diantara bagian alisnya. “Kenapa?”

“Pertunangan karena ramalan ciam si adalah hal paling konyol yang mungkin saja kelak akan sangat kita sesali.”

“Cuma itu?” Arfika menatapku penuh arti, senyumannya yang khas tersungging tapi tidak menyentuh hati. “Jadi apa sekarang sama sekali tidak ada penyesalan dalam dirimu?”

Sebuah pukulan telak yang ia berikan mampu mengembalikan isi otakku pada tempatnya. Aku tersadar pada kenyataan jika ada terlalu banyak penyesalan.

Mulai dari jebakanku dulu, masa-masa dimana aku harus menghindarinya selama sepuluh tahun terakhir. Dan andai bisa kuberikan detail, aku menyesal untuk kenyataan jika dia bukan kekasih pertamaku dan aku bahkan bukan segala sesuatu yang penting untuknya.

Ada begitu banyak penyesalan yang kurasakan. Masalahnya, aku tidak bisa berlama-lama ada dalam wilayah itu.

“Ada begitu banyak…” tenggorokanku terasa tercekat pada detik yang sama, aku tidak bisa mengatakan apapun. Semuanya terasa menyiksa. Membunuhku dari dalam. Aku tidak percaya aku masih hidup dengan menahan semuanya selama bertahun-tahun.

Aku menarik nafas panjang tanpa mengalihkan pandangan dari matanya.

“Boleh aku memelukmu saja?” getaran rasa sakit ikut mengalir bersama pertanyaan itu.

Vivianna Arfika Kaleeya Westin Oey tidak bertanya-tanya apapun dan memilih untuk melakukan permintaanku. Dia mendekapku erat dan rapat, sementara aku menenggelamkan kepalaku di antara bahu dan rambutnya yang tergerai di punggung.

Aku tidak termaafkan, itu pasti.
Tapi aku masih bisa mengubah keadaan.
Aku masih bisa meyakinkannya....
Atau mungkin, memberi keyakinan pada diri sendiri.
………………


Playboy Monarki The Series - Double PlayersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang