Xtra : Hari untuk dikenang

55.7K 2K 110
                                    

3 Tahun kemudian

“Hentikan, kegilaanmu dan cepat kembali duduk ditempat yang benar.”

Perintah itu terdengar bossy, dan tidak ada yang bisa memerintahku selain satu orang saja di dunia ini. Aku menggerutu pelan tapi beranjak dari tempat nyamanku, diantara sepasang kaki jenjang nan mulus milik kekasihku dan bergegas keluar dari kolong meja kerja kami.

Sambil mendengus aku merapikan kembali jas-ku dan duduk ditepian meja menatap Fika yang masih sibuk dengan laptopnya. “Kau dingin sekali,” gerutu tak percaya, “apa aku sudah tidak cukup menggairahkan lagi bagimu?”

Suara kekehan tawa Fika mengandung ejekan untukku, dia bahkan menatapku sekilas dari balik kaca mata yang ia kenakan, “Ya Tuhan, kau menggerutu seperti istri yang nggak disayang …”

Mencibirnya sekilas aku kemudian menundukkan kepalaku untuk mengecup dahinya pelan, “aku lebih buruk dari itu,” gumamku lirih. “Aku bahkan tidak punya status spesial itu untuk dibanggakan.”

Sebelah alis Fika terangkat, tapi kemudian dia memilih untuk diam saja.

“Vi, kapan kamu mau ngelamar aku?”

Fika menjawab pertanyaanku dengan tawa panjangnya yang berirama. “Entahlah, aku belum tahu … mungkin sepuluh atau duapuluh tahun lagi.”

Kuhela nafas sambil tersenyum pahit. Beginilah dia, selalu menganggap semua kata-kataku adalah lelucon. Aku enggan untuk mendesaknya. Dari pengalaman yang sudah-sudah, desakanku malah membawa kami dalam suasana perang dingin yang sungguh enggak ingin kurasakan kembali.

“Tanpa pernikahanpun kau memiliku, sayang. Kita bahkan punya Enzo sebagai pengikat hubungan ini, aku tidak melihat di mana kurangnya kebersamaan ini.”

Insensitif! Itulah dia. Fika agai tidak pernah menyadari jika ketidaknyamananku ada pada fakta bahwa, setelah menjadi ibu dari anakku, Vivianna Arfika masih belum bisa menjadi istriku.

Aku merasa bagai warga Negara kelas dua yang tingkatnya jauh berada dibawah Enzo, anak kami. Jika kami berkumpul bertiga, aku menyadari jika Enzo adalah milik Fika tapi aku bukan miliknya, bukan seseorang yang punya ikatan secara hukum padanya. Rasanya benar-benar konyol, jika berpikir untuk aset dengan nilai puluhan juta saja aku punya bukti kepemilikan secara hukum, tapi pada hal sepenting Fika dan Enzo aku tidak memiliki itu.

Aku belum pernah merasa insecure seperti ini sebelumnya.

Suara tawa dari halaman belakang yang terhubung langsung dengan ruang kerja kami berdua mengusik lamunanku. Putraku tertawa-tawa riang dengan dokter Sado yang sedang berusaha membujuknya untuk mau diajak kedokter gigi. 

Reu berperan besar membantuku pada hari-hari pertama setelah kelahiran Enzo. Harus kuakui diluar perilaku menyimpangnya, dia bisa bersikap friendly padaku yang selalu saja bersikap jauh dari keramahan padanya.

Tapi sekarang ketusnya sikapku bukan lagi yang mendominasi. Aku bahkan merasa terancam setengah mati melihat Enzo bermain bersama Reuben.

“Kau tahu, aku menerima ini tadi …” suara Fika mengalihkan perhatianku sejenak. Ditangannya ada sebuah undangan putih tebal dengan inisial R dan V, aku menerimanya kemudian menyeringai jahat. Ini pasti undangan dari dokter Sado, akhir-akhir ini aku sering mendengar Fika bercerita jika Reu berkencan dengan teman seprofesinya.

“Kau boleh merasa aman sekarang.” Fika tersenyum penuh arti.

“Huh! Bahkan dia mencari istri dengan inisial nama yang sama denganmu …” aku melirik sebal kehalaman belakang.

Playboy Monarki The Series - Double PlayersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang