10

7.2K 206 1
                                    

°°°°

"Ehh, Tante. Kok bisa ada di sini." Abian langsung berdiri lalu menyalami tangan adik ibunya itu.

"Itu lagi lihat pertunjukannya Giano yang ikutan tampil. Itu anak kan suka banget menari dan menyanyi nggak jelas waktu kecil. Jadi Tante arahin untuk nyalurin keinginannya itu biar jelas."

"Wuahh, emang Tante seorang ibu yang keren. Kirain tadi cuma group band doang."

"Campuran gitu sih. Ala Korea juga banyak."

"Oh, pantes rame banget. Terus ini tampilnya udahan emang? Kok ini kayak mau pulang."

"Udah. Baru aja kelar. Ini tadi dari toilet."

Sesekali wanita paruh baya itu melirik Iren dengan raut penasaran. Iren pura-pura tak menyadarinya.

"Jadi siapa wanita ini? Ada yang mau kamu jelaskan Abian?" tanya sang tante to the point.

"Nanti akan Abian jelaskan tapi tidak sekarang ya, Tante. Beri Abian waktu, please," jawab Abian dengan muka memelas.

Belum saatnya ia bercerita. Apalagi ia belum menemukan jalan keluar dari masalahnya ini. Sepertinya bila ada waktu luang nanti, Abian bisa meminta pendapat dengan yang lebih tua.

Tante Rani adalah ibu kedua bagi Abian yang hubungannya lumayan dekat dengannya. Setidaknya Abian tidak begitu khawatir Tante Rani akan bocor kepada ibunya.

"Baiklah. Tante tunggu penjelasan kamu."

"Makasih pengertiannya, Tante. Emang paling terbaik deh," ujar Abian seraya memeluk tantenya. "Rahasia kita berdua ya," bisiknya.

"Ada maunya aja peluk-peluk."

"Heheh."

"Yaudah Tante pulang dulu. Kasihan Giano udah nunggu di mobil."

"Iya, Tante. Hati-hati di jalan."

Setelah tantenya pergi, Abian kembali duduk. Iren memilih tak bertanya apapun. Biarlah Abian bercerita sendiri tanpa perlu ditanya.

Akhirnya yang ditunggu pun sudah datang. Mata Iren langsung berbinar melihat kuenya. Lalu dengan semangat empat lima ia langsung melahap pesanannya.

"Pelan aja makannya, Sayang. Nggak akan ada yang minta makanan kamu kok." Abian mengusap pipi Iren yang kena kue tersebut dengan lembut.

"Hehehe. Udah pengen banget daritadi."

"Iya, tapi pelan aja. Nanti keselek kan berabe."

Iren hanya mengangguk lalu memakan kembali red velvetnya. Kelembutan kuenya begitu meleleh di mulut. Bahkan ia sampai memejamkan mata untuk menikmatinya.

Abian hanya tersenyum melihat tingkah gadisnya. Seperti tidak pernah makan setahun saja.

"Kalau kamu mau nanti pesan saja untuk diantar ke apartemen kita setiap hari," usul Abian.

"Bisa emang?"

"Bisa dong."

"Ih, aku mau banget dong."

"Iya. Nanti kita pesan ya."

Tak butuh waktu lama, makanan di piring dan minuman pun langsung tandas. Iren mengusap perutnya yang terasa begah.

"Udah selesai makannya? Apa mau nambah?"

"Aku mau buat besok pagi. Kalau makan nasi untuk sarapan kan kadang aku mual. Kalau makan ini kali aja enggak."

"Yaudah. Aku pesan dulu ya. Sekalian mau ke toilet." Abian beranjak dari duduknya mau membayar sekaligus memesan untuk dibungkus.

Iren hanya tersenyum mengangguk. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Suasananya tidak seramai tadi. Tapi masih banyak yang berlalu lalang.

Sugar BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang