Gadis dengan rambut tergulung melingkar di puncak kepala tertawa lepas bersama tiga orang kawannya, dengan salah satu di antaranya merupakan sang kekasih.
Rerumputan hijau dan langit biru, senantiasa menemani tawa dan cengkrama mereka. Senyum manis nan tulus, selalu terhias bersama kisah yang membekas.
"Hei, bahagia sekali Kau Raye," ulas Sandre melirik Kirana sambil menaikan alisnya.
Kirana menaikkan kepalanya pada dua temannya yang tersisa, tanda agar mereka mengartikan ucapan Sandre, lelaki bawel itu.
Usai mendapat maksud dari ucapan Sandre, Kirana mengangguk-angguk mengerti. Ia menatap sandre tajam.
Sandre yang merasa tertatap, segera meringis sebagai tanda perdamaian.
"Sudahlah Sandre, tak perlu begitu pada Raye." Putri mengulaskan senyumnya jahil. "Temanmu sudah menemukannya, aku pun begitu, Kau kapan, Sandre?" ledek Putri dan disambut dengan tawa renyah milik Kirana dan Raye, tetapi beberapa detik kemudian tangan Sandre mendarat dengan mulus pada lengan Putri.
Putri mendesis. "Pantas saja, cara main Kau kasar sekali," ucap Putri sambil mengadu kesakitan.
Sandre menghamburkan lengannya pada pundak Putri. "Uluh-uluh, Putri Malam. Sini-sini, Sayang," ujar Sandre sambil mendekap Putri.
"Ciye-ciye," tutur Raye dan Kirana lembut bersamaan.
Putri dan Sandre saling tatap. Lalu meneguk salivanya masing-masing dan mengangguk memberi kode. "Ciye-ciye," sahut Putri dan Sandre bersama tak mau kalah.
Raye dan Kirana saling menebar sikap salah tingkah. Muka Kirana mulai memerah. Raye yang menyadari itu, langsung mengelus lembut puncak kepala Kirana seperti biasanya Raye memahami sikap Kirana.
"Ye, modus lu, Kang?" nyinyir Sandre.
"Akang Raye," sambung Sandre lalu tertawa puas.
"Ye, sirik aja, sih Bang?" sahut Raye tak mau kalah dan disambut tawa lepas dari Kirana dan Putri.
"Sudah. Kalian masih enggak mau berdamai? Bacalah buku Berdamai Dengan Kenyataan."
"Mana ada Putri. Yang ada itu, Berdamai dengan Diri Sendiri: Seni Menerima Diri Apa Adanya," pembenaran Kirana.
"Dasar bodoh!" umpat Sandre dan Raye bersamaan, tetapi suara Raye hanya samar. Meski begitu, suraranya tetap masuk pada gendang telinga Putri.
Kirana menggelengkan kepala usai mendapat isyarat dari Putri sambil menatap tajam Raye. Raye yang menyadari hal tersebut mengiris tanda damai.
Dua lelaki itu selalu saja sama, meski sebenarnya tidak sama sekali. Sama-sama memberi tanda perdamaian dengan meringis.
Putri mengambil ponselnya. Ia mengisyaratkan pada Kirana agar meminjamkan benda mungil nan lucu miliknya.
Alunan musik mulai menggema pada langit taman itu. Masih mengalun indah, sama dengan sebelumnya.
Nude. Warna kesukaan Kirana sejak pertemuan pertama. Segala benda milik Kirana tak pernah jauh dari warna itu. Gadis kalem nan taat pada Sang Penciptanya.
🎶 Seribu cara buat dirimu
Terlihat mempesona
Tapi kau menderita
"Karna itu bukan kau yang sebenarnya," sambung Putri mengikuti lagu tersebut."Ye, itu mah Anda menyindir saya, Putri," sahut Sandre kecut, lalu ikut bernyanyi dan disambung dengan yang lainnya.
🎶 Solekmu bukan kurang cukup
Hatimu bukan kurang hangatTak ada yang kurang darimu
Kau sempurna kau harus tau
Sewaktu ia tiba kau tak akan menduga
Bahwa hal indah butuh waktu untuk datang
Putri mengganti lagunya usai refren. Seketika para gendang telinga yang mendengar alunan melodi itu menjentikkan jemari, mengangguk mengikuti irama, dan turut bersuara.
🎶 Sudah tinggalkan
Tinggalkan saja semua persoalan waktu kita sejenak
Tuk membebaskan pikiran
Dan biarkan.
Biarkan terbang tinggi sampai melayang jauh menembus awan.
Sandre memegang sepasang ranting dan memvisualkan bak seorang dramer. Sedang Raye dan Putri, sebagai sang vokalis. Dan Kirana, seperti biasa, ia sebagai penikmat tawa teman-temannya.
🎶 Bebas lepas kutinggalkan saja semua beban dihatiku
Melayang kumelayang jauh
Melayang dan melayang.
Bagaikan anak kecil yang berlari bertlanjang bebas
Keluarkan suara suara canda tawa dan senyum puas
Berteman siraman hujan di lapang yang luas
"Widiu, mantap si Uput," salut Sandre bangga.Putri menatap Sandre. Ia ingin bersuara, tetapi Raye mendahuluinya.
"Uput katanya," remeh Raye miris.
Ternyata Raye sama saja. Bukan membela, tetapi malah terlena.
Kekesalan Putri telah sampai pada puncak. "Upat-uput, upil Kau?"
Kirana hanya diam menyimak percakapan pahit kedua temannya itu ditemani oleh Raye.
"Mau ku jadikan puput Anda?" lanjut Putri.
"Eit, mainnya menjadikan orang dengan orang lain," sahut Sandre tak mau kalah.
"Bang bajaj kumat," ledek Putri.
"Bang bajaj kepala Anda?" selidik Sandre.
Putri memanyunkan bibirnya. "Resek." Putri bersedakap.
Sandre melangkah mendekati Putri. Kini jarak mereka sangat dekat. Sedang Putri, ia mulai heran dengan sikap Sandre. Bahkan tangannya mulai gemetar.
Sejenak mereka saling memandang. Hingga akhirnya Sandre bersuara sambil menunjukkan benda yang ia sembunyikan sedari tadi. "Ini resek namanya."
"Kresek, Kang Jaj," gerutu Putri.
Sandre tertawa puas. Beberapa detik kemudian, ia meletakkan tangannya pada puncak kepala Putri dan mengusap lembut.
"Dasar Sandre," buka suara berat itu dengan pelan.
Mereka pun saling tatap. Sedang Kirana yang melihat kejadian itu, mulai secerah langit. Sebuah rencana indah, terbesit dalam benaknya.
👀
KAMU SEDANG MEMBACA
World Eyes
Teen FictionMata bukan yang utama dalam memandang, tetapi hati bukan pula yang pertama dalam memandang. Kisah tentang para remaja yang tak selalu salah dalam memandang dunia. Bahkan semesta pun ikut memeriahkan dan merayakan segala tawa, duka, dan luka. Sudut p...