[Malam ini seperti biasa]
Kalimat itu kini terkirim pada ponsel lelaki di seberang sana. Lelaki yang menjadi pemeran utama dalam malam ketenangan Sandre.
Toy tertawa kecil. "Mulai gila nih anak," pikir Toy. "Gas aja deh, daripada dia membahayakan," lanjutnya bergumam.
[Sep]
Usai mendapatkan balasan darinya, Sandre langsung melaju menuju tempat tongkrongan.
Suara musik mengalun dengan histeris. Semua penguhinya pun seirama. Gelas-gelas selalu terisi penuh usai sang empu menegaknya. Bahkan botol-botol tersuguh dengan tak beraturan.
"Punya Gue mana?" ucap Sandre berantakan sembari mencari botol yang baru ia pesan.
Sandre semakin tak terkendali. Ia menuju ke tengah ruangan itu dan bergabung dengan kawan lainnya.
"Hei, San. Makin cool aja Loe," ujar sang kawan dengan keadaan tak kalah sama dengan Sandre.
Sandre tertawa. "Mana ada Gue makin buruk, yang ada makin terpuruk," balas Sandre tak mau kalah.
Tanpa sadar, sang gadis selaku DJ malam itu, memperhatikan tingkah Sandre. Ia merasa ada yang tak beres dengan lelaki itu. Namun, ada yang lebih merasa tak beres lagi. Ternyata gadis itu pun mengekor Sandre dalam diam. Ia mengawasi Sandre sambil tak henti menggelengkan kepala.
👀
"Sandre, mau ke mana?" tanya Lala sedikit berteriak ketika melihat sang putra langsung pergi usai sampai.
Kirana yang melihat hal itu menatap miris. Sebuah tanya dari sang mama tak digubris.
Di tengah kesibukan bersama Ninda. Kirana bangkit dari tempatnya. "Tunggu sebentar, Kakak mau keluar dulu," pamit Kirana berisyarat pada Ninda.
Ninda mengangguk. "Iya, Kak Kir."
Sebelum Ninda menyahut pamit darinya, ia telah melenggang pergi. Langkah kakinya yang tak selebar Sandre pun membuatnya hampir kehilangan jejak.
Ia melihat Sandre telah lengkap dengan jaket dan perlengkapan lainnya dan kini sedang berkirim pesan.
Kirana tak bisa menebak siapa seseorang tersebut. Gadis itu kembali masuk ke dalam dengan tujuan untuk pamit, lalu meninggalkan rumah tersebut dan melajukan sepeda motor miliknya.
👀
Mata Pelajaran Matematika.
Urai Pak Kas di papan tulis. Kebiasaan yang tak pernah lepas dari guru tersebut, selalu menulis mata pelajarannya.
Sudah beberapa menit Pak Kas berada di dalam kelas, tetapi para penghuni masih ricuh. Mata Pak Kas meneliti kehadiran muridnya.
Matanya tak menemukan siswa itu. Siswa teramanah Bapak Konseling. Tanpa berpikir panjang, Pak Kas bersuara.
"Sandre," eja Pak Kas hingga menepikan suara yang menggema. "Di mana Sandre?" tanya Pak Kas menyelidik.
Pak Kas menatap Rio, selaku teman sebangku Sandre.
"Rio, mana penghuni bangku sebelah kau?"
Rio menatap bangku kosong itu, lalu kembali menatap Pak Kas.
Ia menaikkan pundak sekenanya. "Ya, mana saya tahu, Bapak," jawab Rio santai.
"Tidak ada tahu untukmu," sahut Pak Kas.
Seisi ruangan terpenuhi gelak tawa. Pak Kas memang guru matematika bersuara berat dan tegas, tetapi ia pun lihai membuat gelak tawa.
"Baik, cukup," ucap Pak Kas memberhentikan canda pagi mereka. "Biarkan Sandre berkelana, nanti dia pun akan menggembala," lanjut Pak Kas dan disusul tawa kembali.
Pak Kas berdeham. "Sudah dibilang cukup, masih dilanjut?" tanya Pak Kas mulai serius. "Canda cukup, mari kita lanjut."
"Lanjut candanya, Pak?" sahut Pou.
"Yang benar saja Kau, Pou," timpal Rio.
👀
"Ninda, di mana Kak Sandre?" tanya Lala berisyarat pada sang putri usai menepuk pundak Ninda penuh kehangatan.
"Belum pulang, Ma," jawab Ninda.
Kirana yang melihat kecemasan Ibu Lala, membuang napas gusar. Ia berdecak, "Pasti dia berulah lagi," batin Kirana.
Adit tiba di rumah dengan sebongkah emosi yang mulai meluap. "Di mana putra Kau, La?" tanya Adit memekik.
Lala menggenggam tangan Adit. Menenangkannya. "Ada apa?"
Kirana yang melihat hal itu, langsung memberi isyarat pada Ninda untuk belajar di rumah, alih-alih menghirup udara segar agar tidak melihat darah yang segar itu.
"Adit, ada apa?" tanya Lala memastikan.
"Kau macam mana?" sahut Adit yang mulai tak bisa mengontrol sang emosi sambil mengeluarkan sepucuk surat dari tasnya.
"Sudah, kita tunggu dia saja, Dit," ujar Lala meredam emosi.
Kirana mengajak Ninda ke taman belakang rumah dan menempati kursi taman tersebut.
Ninda menepuk pundak Kirana. "Kak Kir, ada apa Kakak mengajakku ke sini? Mengapa tak di dalam saja? Ayah Adit pun baru saja pulang," heran Ninda berisyarat.
Kirana mengulurkan senyumnya. "Ninda, Kita manusia perlu udara dan dinginnya malam. Meski ia kelabu nan kelam, tetapi bukan berarti ia akan selalu menjadi abu-abu dan hitam legam," terang Kirana menenangkan.
"Mama Lala sama Papa Adit berantem lagi, Kak Kir?" tanya Ninda memastikan dan tanpa basa-basi.
Ninda paham bahwa Kirana mengetahui hal ini lebih darinya. Bahkan ia meyakini Kirana bisa membawa abangnya kembali.
"Dan Abang Sandre tak pernah lagi terlihat, itu karena hal ini bukan?" lanjut Ninda.
Kirana menelan salivanya. Gadis itu sudah bertumbuh dewasa ternyata dan tak seharusnya hal ini tersembunyi lagi darinya. "Bang Sandre sedang mencari yang terbaik. Mama Lala dan Papa Adit pun sedang melakukan yang terbaik," jawab Kirana melembut.
"Berjanjilah pada udara dan dinginnya malam kelabu nan kelam, yang bukan berarti ia akan selalu menjadi abu-abu dan hitam legam. Jadilah langit yang selalu ada dan tak pernah ingkar untuk kami, Kak Kir," pinta Ninda lirih.
Kirana tersenyum dan mengangguk tanpa ragu, lalu menjabat jari kelingking adik gadis Sandre.
👀
KAMU SEDANG MEMBACA
World Eyes
Novela JuvenilMata bukan yang utama dalam memandang, tetapi hati bukan pula yang pertama dalam memandang. Kisah tentang para remaja yang tak selalu salah dalam memandang dunia. Bahkan semesta pun ikut memeriahkan dan merayakan segala tawa, duka, dan luka. Sudut p...