"Dari mana?" tanya Adit, sang ayah.
"Kerjalah," sahut Lala cepat. "Masih peduli?" tanyanya tak kalah mengejutkan.
Hampir tiap malam, rumah itu selalu disuguhkan sajian yang teramat hangat. Hingga sang penghuni pun tak pernah bersahabat.
"Kak, mama sama papa berantem lagi?" selidik Ninda--sang adik--berisyarat, usai memperhatikan gerak-gerik Sandre.
"Sudah. Mari tidur, ini sudah larut," balas Sandre lembut.
👀
Sandre Admajaya. Lafalan nama yang tak pernah ia ingin masukkan ke gendang telinganya, tetapi semesta tak pernah berpihak.
Amanat upacara hampir usai dan Sandre baru memasukkan diri dalam barisan rapi itu. Berseragam yang tak lengkap: kaki yang tak bersarung, baju lusut, dan rambut teracak.
Tanpa sengaja, mata elang milik Pak Wiyoko, Sang Pembina selaku guru konseling membidik siswa teramanahnya itu. Bahkan namanya menggema di SMA Raja Ratu.
Tak ada yang namanya rasa bersalah bagi Sandre. Baginya, rasa bersalah itu hanya untuk orang-orang yang tak lemah dan ia adalah orang yang paling lemah.
Di depan umum saja, ia memilih untuk tak tersenyum. Apalagi di depan seorang gadis, selalu mengiris.
"Negara kita membutuhkan anak bangsa yang mengerti sebuah kedisiplinan dan tanggungjawab, bukan seorang anak yang hanya berbudaya," sindir Pak Wiyoko dengan meliukkan mata elangnya lagi.
"Anak bangsa yang berbudaya, akan dengan sendirinya mengerti sebuah arti kediplinan, tanggungjawab, dan berdaya guna," balas Sandre sambil berjalan ke tengah lapangan.
Putri terkejut dengan balasan Sandre terhadap amanat Pak Wiyoko. "Sandre!" tegur Putri berbisik.
Sandre sadar apa yang harus ia lakukan saat ini. Kini, ia tiba di tujuannya, di tengah lapangan.
"Gila, ya, Sandre," bisik teman-teman dalam barisan.
"Kakak tingkat gue macam itu?" ujar salah satu adik tingkat Sandre yang langsung disahut dengan desisan temannya, isyarat untuk diam.
"Sadis!" kagum Raye menggelengkan kepala.
👀
"Gila, ya, Loe," takjub Rio, teman sebangku Sandre.
"Gue? Enggak lihat baju masih rapi dan otak masih berisi?" ledek Sandre sekaligus menyindir.
"Ye, lebih berisi otaknya si Raye kali," balas Rio hingga mendapat mata elang Sandre.
Sandre berdiri di baris paling depan sekaligus tengah. Ia bahkan tak peduli dengan mata-mata yang memandang, hingga tak ada rasa bersalah dalam diri.
"Sandre, usai upacara, kita akan berbicara," tutup Pak Wiyoko dalam amanatnya.
Dengan santainya, Sandre memberi hormat kepada Pak Wiyoko sebagai tanda siap laksanakan dan dibalas dengan ucapan Pak Wiyoko, "Pengibaran bendera telah usai," ucap Pak Wiyoko tegas.
👀
"Sandre, bagaimana bisa ini terjadi kembali?" Heran Pak Wiyoko pada Sandre.
Sandre dan Pak Wiyoko saling berhadapan. Jendela beserta tirainya yang terbuka, memaparkan siswa-siswi yang berhamburan menuju kelas. Tak bisa dimungkiri, para mata pun memandang ke arah ruangan itu.
Murid kelas XII yang tidak pernah usai meski berulang kali singgah di ruangan Bapak Berkumis itu.
"Karena saya melakukannya," jawab Sandre dengan sangat santai.
"Benar," geram Pak Wiyoko.
Pak Wiyoko melihat para siswanya masih berhamburan di depan ruangannya, mata elangnya mulai menghardik. "Pukul berapa sekarang?"
"Mau dipukul?" sambung Sandre.
Seketika, semua yang ada di tempat, tertawa geli melihat tingkah temannya yang tak pernah berubah itu. Sedang Pak Wiyoko, ia langsung mengalihkan pandangannya dari luar ruangan usai mendengar ucapan murid teramanahnya.
Melihat mata elang Pak Wiyoko beralih menghardik Sandre, para siswa tersebut segera melarikan diri menuju kelas.
"Mau sampai kapan? Sampai kapan kamu akan menjadi seperti ini?" tanya Pak Wiyoko mulai meredam emosi.
"Seperti apa? Menjadi siswa teramanah Bapak?" sahut Sandre santai.
"Sandre,"
"Saya, Pak.
Pak Wiyoko kembali naik pitam karena siswa teramanhnya itu. "Sandre Admajaya," eja Pak Wiyoko. "Bisa serius tidak Kamu?"
"Saya hanya serius pada Tuhan saya." Lagi-lagi Sandre menyahut dan membuat mata Pak Wiyoko membulat dan hampir lepas.
"Maaf, Pak," ucap Sandre mengaku salah. "Tadi ada kegiatan yang harus diurus dulu."
"Kegiatan apa lagi? Tiap upacara, kamu terlambat dengan alasan ada kegiatan yang harus diurus dulu," geram Pak Wiyoko.
"Ya, memang kenyataannya seperti itu."
"Baik, silakan kembali. Satu kali lagi Kamu mengurus kegiatan Kamu itu. Surat peringatan akan mendarat di hadapan orang tua kamu."
"Terima kasih. Ditunggu suratnya, Pak," sahut Sandre sambil meninggalkan Pak Wiyoko.
👀
Sandre memastikan Ninda masuk ke dalam alam mimpinya. Ia mengambil jaket serta kunci motor. Membuka jendela kamar dan menuruni anak tangga yang usai ia pindah di depan balkon kamar.
Ia mengirim sebuah pesan pada seorang teman di atas sepeda motornya, kemudian melaju.
Sebuah notifikasi masuk pada ponsel Toy.
[Gas, Bro]
"Mantap benar ini anak," gumam Toy dan menyambar jaketnya.
Pukul 01.20 WIB. Satu jam sudah, mereka berada di club malam itu. Bahkan Sandre yang tadinya sudah tak lagi, kembali memulai bersama Toy kawan lamanya.
"Mereka lagi?" tebak Toy, usai mereka menikmati beberapa teguk botol kesekian.
"Tahu apa loe?" sahut Sandre dengan pikiran kacau.
Sandre meletakkan gelasnya, meraih jaket serta kunci motor, lalu bangkit meninggalkan Toy.
"Mau ke mana loe, San? Segitu doang?" teriak Toy sambil tertawa.
"Balik. Tengkyu buat malam ini," pamit Sandre.
KAMU SEDANG MEMBACA
World Eyes
Fiksi RemajaMata bukan yang utama dalam memandang, tetapi hati bukan pula yang pertama dalam memandang. Kisah tentang para remaja yang tak selalu salah dalam memandang dunia. Bahkan semesta pun ikut memeriahkan dan merayakan segala tawa, duka, dan luka. Sudut p...