"Selamat pagi semua," sapa Pak Kas, si guru matematika dengan suara beratnya.
"Pagi," sahut siswa-siswi kelas XII 1 itu.
"Mari kita lanjutkan materi semalam," ujar Pak Kas.
"Materi kemarin, Bapak," ralat Putri.
"Ah, benar sekali kamu, Putri," kata Pak Kas membenarkan.
👀
Senja mulai berganti malam dan Lala masih menunggu anak lelakinya. Tidak biasanya Sandre pulang larut, tetapi memang tak bisa ia mungkiri bahwa belakangan ini Sandre seperti tak betah di rumah.
Lala berjalan bolak-balik untuk kesekian kalinya. "Ma, Kak Sandre akan baik-baik saja," ujar Ninda dalam isyaratnya menenangkan.
Ia terlonjak mendengar suara isyarat Ninda, ia menghentikan aksinya dan menghampiri Ninda. "Iya, Sayang," jawab Lala meredakan kegundahannya.
Kini, ia berganti posisi, menggigit jemarinya menutupi rasa cemas. "Mari kita tidur, Ninda Sayang," ajak Lala pada putrinya yang mulai beranjak remaja.
"Tidak, Ma. Ninda dihadirkan pada bumi ini untuk menemani mama, pun keluarga ini," kata Ninda lembut. "Dan mama hadir untuk menjaga titipan berharga dari-Nya, dan mama berharga untuk Ninda."
"Terima kasih," lirih Lala dan senyum Ninda terulur.
Pukul satu dini hari lewat sepuluh menit, Lala menatap putrinya yang telah terlelap. Sedang ia masih terjaga menunggu anak lelakinya. Bahkan sepertinya, sang suami pun tak kembali pada rumah ternyaman miliknya malam ini.
Citanya menjadi seorang wanita karir telah tergenggam, tetapi ia merasa salah jalan. Sikap overthinking-nya kembali beraksi.
"Sebenarnya apa yang salah pada rumah ternyaman kamu, Adit," gumam Lala menahan rintihan dan air mata.
"Apa karena kehadiran Ninda? Karena aku masih tak yakin jika kamu kembali bersama yang berlalu," lirih Lala menegarkan hati.
👀
"Lala, Saya mencintai kamu. Seperti saya mencintai Tuhan saya. Dalam diri saya terdapat diri-Nya. Kasih dan cinta milik-Nya yang seluas samudera dan sebesar semesta, berada dalam diri kamu dan diri saya, ia pun menyatukan kita," kata Adit dari sang kalbu dengan begitu lembut.
Mata Lala berkaca. Ia tak pernah melihat Adit mengatakan hal romantis, bahkan kalimat pujian untuknya pun tak pernah tertangkap oleh gendang telinganya.
"Mau kah kamu menerima penyatuan dari mereka?" lanjut Adit dengan tanya yang mantap, meski ia ragu bahwa Lala akan menerima.
Kini suasana romantis mereka dipenuhi dengan debaran jantung yang saling bersahutan.
"Apakah ada jawaban lain selain kamu sendiri yang mengetahuinya?" jawab Lala dengan tanya.
Gadis itu tak pernah mau mengatakan sebuah rasa yang hadir dalam dirinya. Tiap tanya akan berbalik dengan tanya, tetapi begitu pula dengan sebaliknya. Jika jawab yang kau beri, maka ia akan memberi jawab yang meyakinkanmu.
"Sangat benar," sahut Adit mantap. "Terima kasih," lanjutnya sembari menarik tangan Lala dan menghamburkan tubuh gadis itu ke dalam pelukan hangat miliknya.
Kenangan itu kembali bermuara dalam benak mungil miliknya.
"Adit, mengapa kau mencintai dan memilihku kala itu? Apa saat itu kau sedang tidak waras?" tanya Lala beruntun dan tanpa sadar rasa insecure-nya kembali tersulut.
KAMU SEDANG MEMBACA
World Eyes
Ficção AdolescenteMata bukan yang utama dalam memandang, tetapi hati bukan pula yang pertama dalam memandang. Kisah tentang para remaja yang tak selalu salah dalam memandang dunia. Bahkan semesta pun ikut memeriahkan dan merayakan segala tawa, duka, dan luka. Sudut p...