Perkenalan Sandre dan Kirana

1 1 0
                                    

Adit menunggu anak lelakinya kembali ke rumah ternyaman miliknya. Ia sangat yakin bahwa anak itu akan pulang. Meski kini, tak lagi seperti dulu. Bahkan Adit menyadari perubahan sikap darinya.

Suara sepeda motor kas milik Sandre menggema di halaman rumah. Raganya masih setengah bernyawa. Ia terlalu kalut pada malam ini.

Adit melepas jaket dan membopongnya pada bahu kekar itu. Lalu berjalan memasuki rumah.

Ditatapnya sang putra sendu, tetapi tidak dengan Adit. Ia menatap Sandre dengan mata elang tajamnya.

"Sandre," eja Adit yang melihat Adit akan melewatinya begitu saja.

Sandre yang hampir tersadar penuh itu, langsung meletakkan tas dan jaket miliknya di atas sofa kosong itu ke sembarang arah dan menempatkan diri tepat di hadapan Lala dan Adit.

Lala menggenggam tangan Adit, ia khawatir akan emosi adit. Meski ia tahu, bahwa hubungannya dengan Adit masih tidak baik-baik saja.

Lala menatap adit memohon untuk meredam emosinya, tetapi adit malah semakin menaikannya.

Belum saja Adit bersuara lagi, suara berat keturunan darinya terdengar. "Apa peduli kalian?" tanya Sandre berantakkan.

Adit hendak berdiri dan melayangkan tangannya, tetapi tercegah oleh tangan Lala dan suara lirih Lala. "Sandre," lirih Lala.

Suara itu terasa menusuk gendang telinga Sandre. Suara yang ia rindu, tetapi kini berubah menjadi sendu.

Mata Lala mulai berkaca, dan Sandre menemukannya. Sandre menghembuskan napas kasar. "Maaf," ucap Sandre melembut.

"Dari mana Kau? Melakukannya lagi?" tanya Adit yang menahan emosi dan perlahan meredamnya.

"Sayang, mama tahu Kamu. Dan ini bukan yang tepat, bukan tidak tepat, tetapi bukan yang tepat," terang Lala menahan luka.

Ia sangat terluka, apalagi jika Sandre yang dulu kembali. Lala yakin sekali bahwa Sandre selalu melakukan hal itu ketika ia sedang di ambang pilu yang mulai membiru.

Sandre melihat sang mama yang sebentar lagi akan kalut dengan isak. Ia semakin dalam menunduk. Hingga secarik kertas mendarat di hadapannya. "Itu bukan, yang Kamu mau?" geram Adit.

"Bukan," pekik Sandre dan berlalu meninggalkan mereka.

"Ini dewasa, Dit?" heran Lala.

"Bukan kita yang mendewasakan Sandre, tetapi semesta," jawab Adit santai dan disusul oleh decakan Lala sambil meninggalkannya.

Pertengkaran yang hebat (lagi) antara dirinya dan orang tersayang miliknya. Harap-harap bukan pertengkaran di antara mereka (lagi), tetapi kenyataan menolak. Usai malam berganti, Sandre menemukan Adit tergeletak di ruang keluarga, mereka tak lagi satu.

Bukan karena atas dirinya, tetapi karena semesta. Sandre terus menyangkal hal buruknya.

Mata Lala menangkap sosok sang putra. "Sayang, sudah lebih baik?" sapa Lala pada Sandre pada meja makan.

Sandre hanya tersenyum. "Semalam dari mana? Bukan kembali lagi, bukan?" tanya Lala memastikan.

Lagi-lagi ia hanya mendapat senyum atas kerinduan dirinya dengan sang putra. "Baik, sarapan dulu. Ninda sudah sarapan, dia sedang bersama Kirana," tutur Lala lembut.

Sandre mengerutkan dahi. "Siapa Kirana?" tanya Sandre dalam hatinya

Ia menduga-duga siapa orang bernama Kirana itu. Matanya menangkap seorang gadis sedang bersama sang adik. Mereka hanyut dalam cengkrama dan tawa.

Kini, matanya tak sengaja bertaut pada seorang gadis itu. "Gadis semalam? Siapa dia? Mengapa bisa seakrab itu bersama Ninda?" duga Sandre dalam hati.

Manik mata Lala mencari keberadaan Kirana. Usai menemukannya, ia membuka suara. "Itu Kirana. Sudah sejak satu minggu yang lalu ia menjadi guru cengkrama Ninda," ujar Lala memperkenalkan.

Guru cengkrama Ninda? Dalam benak Sandre mulai timbul sebuah teka-teki yang akan menjadi urusannya kali ini.

"Usai sampai sekolah, beri kabar mama. Berjanji tak ada lagi secarik kertas yang akan diterima oleh tangan Papa Adit," pinta Lala lirih penuh kelembutan.

Sandre kembali mengulurkan senyumnya.

👀

Usai tiba di sekolah, segera mungkin ia mengirim pesan pada Mama Lala. Namun, ia tidak beranjak dari sang pembalapnya. Bahkan ia hanya berhenti sebelum gerbang sekolah.

Sandre memasukkan kembali sang ponsel pada kantong hoodie dan melajukan sang pembalap, tetapi ternyata gadis itu dalam diam membersamai dirinya.

Ia menggelengkan kepala bukan kepalang. Ternyata Sandre masih saja seperti Sandre beberapa minggu ini.

Dengan gusar, Kirana meminta sang supir untuk mendahului motor itu dan memberhentikannya. Usai di dapatkan oleh Kirana, ia langsung turun dan meminta Pak Uus untuk kembali. Lalu Kirana membawa dirinya naik ke boncengan Sandre yang masih kosong dan menepuk pundak Sandre isyarat untuk jalan.

Ketika hampir tiba di taman kesukaan Kirana, gadis itu menepuk pundak Sandre dan mengisyatkan untuk berhenti.

Saat itu Sandre terlihat seperti seorang anak kecil penurut. Dipikirannya hanya ada tentang keamanan Ninda. Gadis itu meresahkan dirinya dan pikiran mimpi buruk tentang Ninda.

Kirana berjalan menyusuri taman itu dan memilih tempat persinggahannya, tetapi Sandre masih tak bergerak.

Usai menempati bangku itu dan mendapati Sandre tak bersamanya, manik matanya kembali ke arah Sandre dan mengisyaratkan untuk menempati bangku sebelahnya, dan Sandre pun menurut.

"Mengapa Kau begitu menurut denganku, Sandre Admajaya?" ujar Kirana geli.

Sandre kini terperangkap. Benaknya penuh tanya dan batinnya bergejolak.

"Tanyaku tidak perlu jawab darimu, San."

Sandre mengerutkan dahi. "Karena tak semua tanya perlu ada jawab bukan?" terang Kirana pada Sandre.

"Aku tahu, batinmu sedang bergejolak. Aku pun tahu, jika kau tak menyukaiku karena menciptakan kenyamanan bagi Ninda adikmu," tutur Kirana lembut.

Sandre terjebak dan ia mengeluarkan kata apapun yang ada di benaknya saat itu. "Mengapa kau bisa berpikir seperti itu?" isyarat Sandre pada Kirana.

"Bukan karena aku tak sempurna?" sambung Kirana. "Ketidaksempurnaan kita, yang sebenarnya menyempurnakan kita, Sandre," lanjut gadis itu tulus.

👀

World EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang