Konichiwa mina.... Aku bawa cerita baru yang sedikit berat daripada ceritaku yang lain. Semoga kalian suka!Kalau ada kesalahan penulisan ataupun salah dalam meletakkan tanda baca bisa komen ya, Hanna akan perbaiki lagi.
(Font italic untuk flashback)
Enjoy reading!!!!
********
"Maafkan aku, kita memang harus berpisah. Sudah tidak ada gunanya lagi kita bersama jika aku sudah tidak cinta lagi denganmu, [Name]."
Sudah sekitar lima bulan berlalu semenjak Erwin membawa wanita lain masuk ke mansion megahnya. Dan sejak itu, [Name] sudah merasakan jika rumah tangga mereka tidak akan bisa dipertahankan lagi.
Pena ia genggam dengan erat, Erwin menunggu nya menandatangani surat gugatan cerai itu. Tangannya mendadak tremor disertai buliran-buliran keringat yang menetes dari keningnya.
"Hei Erwin, tidakkah ini terlalu mudah untukmu?" Erwin mengerutkan keningnya mendengar ucapan [Name]. Tidak paham dengan ucapan istrinya itu.
"Jika Richard sudah besar, aku mau 80% dari hartamu jatuh ke tangannya. Semua perusahaan mu harus kau wariskan pada Richard." Lanjutnya.
"Tentu, setelah ini aku akan membuatkan surat perjanjian antara aku dan kau. Semua permintaan mu akan ku kabulkan."
Lagi, [Name] mengerutkan keningnya, merasa janggal. Mengapa dengan mudahnya Erwin mengabulkan semua permintaannya, apalagi meminta harta dari pria itu. [Name] merasa menjadi seperti seseorang yang mata duitan, walaupun semua itu untuk anak semata wayangnya, Richard.
Jika ditanya apakah [Name] masih mencintainya, jawabannya tentu saya iya dan akan selalu seperti itu. Tidak ada alasan [Name] untuk berhenti mencintai Erwin, walaupun pria itu kini berubah menjadi seseorang yang sangat brengsek.
[Name] sangat muak saat Marie, selingkuhan Erwin, datang ke mansion setiap akhir pekan. Wanita itu dan suaminya akan menghabiskan waktu bersama hingga malam Senin berakhir. Ia benar-benar menulikan telinganya saat sudah melihat Erwin dan Marie masuk ke kamar khusus tamu. Dia akan memilih menemani Richard di kamarnya atau pergi dengan anak itu ke taman kota.
Tidak ingin lagi merasakan penderitaan, akhirnya [Name] menandatangani surat itu. Meletakkan pena hitam yang selalu suaminya gunakan itu dengan pelan. Erwin hanya melihat surat itu dengan pandangan yang sulit diartikan, melihat namanya dan nama [Name].
Belum sempat [Name] berdiri, suara Erwin menghentikan pergerakannya. "Kau bisa tetap tinggal disini, aku yang akan keluar."
[Name] mendecih, matanya ia bawa untuk memandang seluruh sudut ruang keluarga. "Tidak perlu, terlalu banyak kenangan disini. Aku dan Richard yang akan pergi. Jika kau memang tidak ingin tinggal disini, jual saja."
Kaki jenjangnya ia bawa menuju kamar Richard, mulai mengemasi barang-barang anak lelakinya selagi Richard masih ada di sekolah. Menurut [Name], Richard akan mengerti nanti. Anaknya itu benar-benar cerdas seperti Erwin, lagipula umurnya sudah delapan tahun.
Pintu kamar anaknya terbuka, Erwin ada disana. Berdiri di depan kamar Richard. "Butuh bantuan?"
"Tidak perlu." [Name] menjawab sekenanya. Tidak sekalipun ia melihat Erwin, melirik saja enggan. Hatinya semakin sakit saat melihat pria itu, membayangkan Erwin akan menikah dengan wanita lain.
Erwin menghela nafas, kakinya ia bawa masuk ke dalam kamar milik Richard. Ia ikut mengemasi mainan-mainan milik putra kesayangannya itu. "Aku tidak mengerti mengapa kau memutuskan untuk pindah ke Trost. Aku memikirkan bagaimana Richard akan bertumbuh disana, lebih baik jika anak kita dibesarkan di Stohess. Kehidupan kalian akan terjamin disini, Richard tentu akan mendapatkan pendidikan terbaik hingga ke universitas."
[Name] berbalik, menatap tajam Erwin yang kini juga sedang menatapnya. "Bukannya aku tidak mau, tentu saja aku ingin Richard mendapatkan pendidikan yang terbaik di Paradis. Tapi, aku harus membiasakannya untuk hidup sederhana. Dia harus tau jika orang tuanya tidak lagi tinggal bersama."
Erwin mematung mendengar kalimat terakhir yang [Name] ucapkan. "Tidakkah ia terlalu kecil untuk memahami jika aku dan kau sudah tidak lagi bersama? Itu akan memperburuk kondisi psikis nya."
"Sedari awal pun kau sudah membuatnya tidak baik, Erwin. Dengan membawa wanita itu kemari. Richard sudah mengerti semuanya tanpa aku beritahu. Dan sebuah keputusan yang tepat untuk membawa Richard pergi dari lingkungan sampah seperti ini." [Name] mendesis, ia kembali teringat saat Richard berbicara padanya tentang Marie. Anaknya berkata jika Marie akan merusak semuanya, termasuk hubungan kedua orangtuanya. Richard yang masih delapan tahun itu benar-benar mengerti. Sejak saat itu, kondisi psikis Richard sedikit terganggu. Ia butuh mamanya untuk tetap didekatnya. Richard juga mulai menjaga jarak dengan Erwin, ia baru akan berbicara pada papanya jika ia menginginkan sesuatu yang benar-benar mendesak.
"Siapa yang akan mendidik Richard dengan benar jika kalian tidak disini, [Name]? Rumah sakit terbaik pun juga ada disini."
"Demi Tuhan, Erwin! Aku adalah seorang wanita terdidik. Aku bukan seperti selingkuhan mu itu yang hanya mempunyai ijazah SMA! Aku seorang dosen dan tentu saja aku paham bagaimana mendidik Richard dengan benar nanti, dan lagi Erwin. Rumah sakit di Trost juga bagus." Nafas [Name] memburu, ia benar-benar kepalang emosi saat Erwin meragukannya. Ia merasa marah karena Erwin tidak percaya jika ia bisa mengasuh Richard dengan baik.
Memang selama ini yang mengajari banyak hal pada Richard adalah Erwin, tapi tetap saja. [Name] juga turut ambil peran untuk mendidik karakter Richard. Dan hasil didikan karakter yang [Name] lakukan berbuah hasil bagus pada karakter Richard. Anak itu dulunya sangat acuh pada lingkungan sekitar, ia hanya peduli dengan dunianya sendiri. Ditambah lagi, Erwin mengajari nya banyak hal. Hingga Richard enggan berteman dengan siapapun karena menganggap semua temannya bodoh. Tapi [Name] terus menerus memberikan pengertian pada Richard, hingga anak itu datang padanya. Mengatakan jika ia ingin masuk ke sekolah umum, tidak mau homeschooling lagi.
Erwin menghela nafasnya lagi, pria itu sangat tau jika [Name] merupakan wanita yang keras kepala, keteguhannya tidak akan mudah goyah pada siapapun termasuk Erwin. "Baiklah, jangan melarang ku untuk mengirimkan uang pada Richard setiap minggu. Bagaimana pun, meski kita sudah berpisah. Ia tetap anakku, dan selamanya akan seperti itu."
Tungkainya ia bawa pergi dari kamar Richard. Meninggalkan [Name] sendiri disana. Sedangkan [Name] memandang punggung tegap itu dari belakang. Sudut matanya mengeluarkan air mata.
"Tidak bisakah kita mempertahankan rumah tangga ini, Erwin?"
Pria itu hanya bergeming, tidak bergerak sedikitpun dari kursinya. Kepalanya menunduk, menghindari kontak mata dengan [Name].
"Kenapa? Kenapa kau berpaling dariku? Kau sudah bosan denganku? Aku sudah tidak cantik lagi?" [Name] menahan tangis sambil meremas ujung kemeja putih miliknya.
"Kau akan selalu cantik, [Name]. Bahkan kecantikan wanita diluar sana pun tidak dapat mengalahkan mu. Aku hanya harus melakukan ini. Maafkan aku."
"Ingatlah ini Erwin. Seberapa jauh kau pergi meninggalkanku, kau akan tetap pulang padaku. Karena aku adalah rumahmu. Aku tidak akan mengkhianati sumpah ku pada Tuhan untuk tetap berada di sisimu. Dalam keadaan susah atau senang, sakit atau sehat. Aku akan terus mencintaimu."
To Be Continued
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME [Erwin x Reader]✓
FanfictionSTATUS : COMPLETED Summary : Aku bukan orang bodoh yang akan berteriak dan menangis histeris karena hal konyol ini. Bagaimanapun nanti, aku yang akan menang. Tuhan tau siapa istri sah dari Erwin Smith, [Name] Smith. Dan aku bersumpah, hidupmu tidak...