BAB IV

6 3 1
                                    

Wajah Elang berubah cerah saat melihat sosok Laura dari kejauhan. Gadis itu benar-benar datang. Tidak sia-sia ia bekerja keras untuk membantu melunasi iuran sekolahnya.

"Laura!" gegas ia mengejar saat jarak mereka tinggal beberapa meter. "Ini, pakailah untuk melunasi SPPmu," ulasnya sambil mrngangsurkan amplop berisi uang.

"Terimakasih, Lang, tetapi pamanku sudah melunasi semunya. Uang ini untuk biaya SPP kamu saja," tolak Laura halus. Ia tidak mau Elang merasa tidak di hargai.

Raut wajah Elang berubah kecewa. Ia tidak menduga akan mendapatkan penolakan seperti ini. Rasanya sia-sia saja kerja kerasnya beberapa minggu belakangan.

"Ini halal, hasil kerja kerasku sebagai kuli bangunan. Bukan uang judi," jelasnya penuh penekanan.

"Aku percaya, tetapi aku tidak bisa menerima karena Paman sudah memberiku, kamu simpan saja untuk keperluanmu."

Elang mendesah kemudian mengacak rambutnya. Kesal. "Oke, tapi janji dulu. Nanti sepulang sekolah temani aku makan bagaimana?"

Laura berfikir sejenak bimbang harus menjawab apa. Ia tidak pernah pulang terlambat,  biasanya begitu sekolah usai ia akan langsung pulang. Akan tetapi, rasanya tidak enak menolak permintaan Elang setelah membuatnya kecewa.

"Baiklah,Tetapi sebentar saja, ya, takut Paman khawatir jika aku lambat pulang," jawab Laura pelan.

"Oke aku tunggu."

Keduanya lalu berpisah. Laura bergegas masuk ia harus menemui Bu Tuti bendahara sekolah untuk melunasi kewajibannya. Sekalian meminta tugas untuk pelajaran yang telah dilewati.

*"""'*
Doris pusing menghadapi tingkah Icha. Sejak semalam bocah itu terus merenggek minta di antarkan pada Laura. Meski telah berusaha membujuk tetap saja tidak mempan, bahkan ia juga menolak untuk makan.

"Aku mau sama Tante Laura. Mau di suapin kaya kemarin."

"Sayang, Tante Lauranya sekolah. Lagi pula Papa ada kerjaan, minggu depan kita ke sana lagi, ya," bujuknya sambil menyendok kan nasi ke mulut Icha.

Namun, gadis kecil itu tetap teguh pada pendirian. Tidak mau makan kalau tidak ada Laura.  Doris tak kehabisan akal ia berjanji akan menelepon Laura jika Icha mau makan dan berhasil akhirnya ia mau makan.

"Bilangin Laura pengen main, kaya kemarin gitu, Pa!"

"Iya, nanti Papa bilangin. Pokonya sekarang Icha makan dulu. Habisan nasi sama lauknya, ya, Nak." Doris mengelus rambut putrinya penuh  sayang.

"Kemarin waktu aku tanya apakah Tante Laura mau jadi bundaku. Tante Laura cuma senyum aja, Pa. Mungkin dia malu, coba Papa yang minta pasti dia mau," celoteh Icha sambil terus mengunyah nasi.

Doris hanya menanggapi dengan senyum. Entah mengapa mendengar cerita Icha angannya ikut melambung. Membuat debar-debar aneh semakin nyala dalam dada.

"Andai saja ...."

***"""'****
Bel tanda pulang berdering tiga kali. Laura segera memasukkan buku kedalam tas. Lalu bersiap untuk pulang. Namun, saat hendak keluar Bu Tuti memintanya untuk ke ruang guru.

Perasaan Laura menjadi tidak enak. Takut, kalau-kalau ada masalah yang akan menyulitkannya lagi. Bukan kah semua hutangnya telah lunas tadi pagi. Lalu, untuk apalagi Bu Tuti memanggilnya.

"Masuk Laura," pinta Bu Tuti begitu ia muncul di ambng pintu.

Cangung Laura melangkah keringat dingin membasahi tubuhnya. Saat mengetahui Bu Tuti tidak sendirian. Ada Pak Dika--kepala sekolah juga.

"Jangan takut, kamu tidak salah apa-apa. Kami memanggilmu untukmu menyampaikan kabar baik."

"Iya, duduklah," timpal Pak Dika semringah.

Laura menurut ia duduk di hadapan kedua gurunya. Pak Dika menyodorkan sebuah amplop coklat dan memintanya untuk membaca.

Wajah yang tadi tegang berubah cerah. Di sana tertulis pemberitahuan bahwa Laura mendapatkan kehormatan sebagai mahasiswa undangan ke sebuah universitas di Jakarta.

"Dari sepuluh siswa yang kami usulkan. Hanya kamu yang terpilih. Ini sebuah kebanggaan mengingat selama dua tahun belakangan sekolah kita gagal mengirimkan siswa ke sana." Pak Dika menatap Laura haru.

Sejak awal masuk gadis itu memang sudah menunjukan prestasinya. Laura selalu menjadi juara umum di sekolah. Tidak heran jika ia terpilih sebagai mahasiswa undangan.

"Ini kesempatan emas untuk kamu, Nak. Jangan sampai sia-siakan. Esok kamu datanglah bersama pamanmu. Temui Bapak," imbuh Bu Tuti lembut.

"Ba-baik, Pak, Bu. Saya akan sampaikan pada Paman. Terimakasih atas kesempatan ini,"ucap Laura dengan suara bergetar.

Rasa haru merayap berlahan dalam hatinya. Sunggu benar bahwa di balik kesulitan Tuhan selalu menyelipkan sebuah kemudahan. Seperti dirinya saat ini.

Padahal beberapa hari lalu ia berfikir jika langkahnya akan terhenti di sini. Saat Paman tidak lagi mampu membiayai sekolahnya, Laura ingin berhenti saja. Sebab ia tidak tega melihat paman selalu bertengakar dengan bibinya karena dirinya.

Bibi Ema selalu berfikir jika Paman terlalu memanjakan dirinya. Bahkan menuding jika uang Paman selalu habis untuk Laura seorang. Jika saja menurutkan hati dan tidak memikirkan perasaan Yaqub sudah sejak lama Laura pergi meninggalkan kampung halaman.

Merantau atau bekerja apa saja asalkan tidak lagi menjadi beban. Namun, harapan Paman yang menginginkan dirinya berhasil menghalangi langkahnya. Ia tidak tega menghancurkan cita-cita orang yang telah membesarkannya dengan susah payah.

#HWCMENULIS
#HWCBACTH4

honest_writers

ACHERON 21+++Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang