BAB IX

3 1 0
                                    

Sejak hari itu keluarga Erlina menjadi bahan gunjingan warga. Mereka di kucilkan dan nyaris di usir dari kampung. Kalau saja,  tidak mengingat jasa Ayah mereka dalam membangun daerah itu.

Sementara itu semakin bertambahnya usia kandungan Sita. Kesehatan Erlina pun turut menurun. Tekanan perasaan membuatnya menjadi sakit-sakitan hingga akhirnya harus menyerah pada maut.

"Yaqub, jika Ibuk pergi duluan. Tolong jaga adikmu Sita. Jangan tinggalkan dia sendirian, bantu dia merawat anaknya."

Suatu pagi seperti biasa saat sarapan Erlina mengucapkan kata-kata yang membuat Yaqub merinding. Ibuk yang tak pernah mengeluhkan sakit tiba-tiba saja berpesan seperti itu. Ada apakah?

"Ibuk kenapa bicara begitu? Apa ada yang sakit? Jika iya, ayo kita ke Dokter," ajak Yaqub cemas.

Erlina mengeleng cepat ia paksakan bibirnya untuk tersenyum.

"Tidak, namanya orang tua seperti Ibuk. Sudah dekat dengan kubur. Ibuk.berpesan ini agar kamu tidak membenci adikmu. Dia begitu karena kesalahan Ibuk juga."

Sebak bertahta di wajah Erlina. Genangan air siap tumpah di matanya. Yaqub terdiam, sejak awal Ibuk selalu menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi.

Sejak Sita pulang ia perhatikan Ibuk semakin pendiam. Hanya akan bicara sepeunya saja. Meskipun sangat telaten dalam membantu Sita merawat kandungannya.

"Ibuk membuatku takut. saya sudah tidak marah pada Sita, meskipun kecewa ini tak bisa hilang begitu saja. Akan tetapi, dia tetap adik saya. Dan akan saya jaga semamlu saya Buk," tegas Yaqub.

"Asalkan dia berjanji untuk tidak kembali lagi ke Jakarta. Tinggal di sini bersama kita selamanya!" imbuhnya kemudian.

"Ibuk akan bujuk dia untuk itu. Terima kasih Nak, kamu sudah banyak berjuang untuk keluarga ini. Sejak ayahmu pergi kamu selalu menjaga dan membela kami. ibuk bangga padamu. Semoga kelak kamu mendapatkan jodoh yang baik," ucap Erlina tulus. Doi hapusnya segera air mata yang jatuh agar tidak terlihat oleh Yaqub.

Sementara itu di balik pintu kamar Sita menatap dengan perasaan tak menentu. Ia sangat yakin tidak akan bisa mematuhi sang Kakak. Sebab di sana masa depannya terpampang luas.

Ia datang ke sini hanya untuk menghindari wartawan yang sangat kepo dengan masalah pribadinya. Lagi pula, Ram sudah berjanji akan menikahinya setelah anak ini lahir. Sebagai bukti keseriusannya hingga detik ini lelaki itu masih menghubunginya dan mengirimkan uang dengan jumlah sangat besar.

"Jaga dirimu dan anak kita Baby. Menghilanglah sementara semua masalah di sini biar aku yang atasi," bisik lelaki berdarah Hindustan itu saat mereka berpisah di bandara.

Sebenarnya hubungan mereka sangat tertutup rapi. Namun, manager yang  bekerja pada Sita cemburu karena gadia itu lebih memilih Ram sang produser yang telah beristri ketimbang dirinya yang masih lajang.

Penolakan Sita menyulut dendam hingga sebuah cara licik di lakukan untuk menghancurkan gadis itu. Video panas saat ia.bergumul dengan Ram di kamar hotel tersebar lusa. Entah siapa yang merekam masih jadi misteri. Akan tetapi, Ram berjanji akan mencari tahu dan membuat orang itu membayar dengan sangat mahal.

Pelan Sita menutup kembali pintu. Ia tidak mau Abang dan Ibuk tahu jika ia nguping. Ia memlilah untuk tiduran dan berselancar di dunia maya, pakai akun fake tentunya.

****""""****
Malam setelah menunaikan Salat Isya. Erlina mengeluhkan sakit pada dada. Hingga kesulitan bernapas. Yaqub segera memanggil bidan. Namun, Erlina tidak bisa menunggu ia pergi sebelum Bidan tiba.

Yaqub terpana Sita meraung bak orang gila. Ia menjambak rambutnya lalu mengguncang tubuh sang Ibuk yang sudah kaku. Sesal dan keaedihan mendalam menyelimuti rumah itu.

Tetangga mulai berdatangan. Sebagian menenangkan Sita, sebagian lagi membantu membentangkan tikar. Rumah itu ramai hingga pagi. Tak ada suara semua larut dalam duka.

Yaqub masih tak percaya. Berkali iaenyentuh hidung Erlina dengan jemarinya. Berharap masih ada embusan hangat sebagai penanda kehidupan dari dua lobang napas itu.

Akan tetapi, hasilnya nihil tak ada hangat di sana hanya dingin dan beku. Sebeku hati Yaqub yang harus merelakan kepergian sang ibuk untuk selamanya. Ia ingin menangis tetapi tidak bisa, air matanya telah membatu hingga sesakit apa pun tak ada setitik pun yang jatuh.

Usai pemakaman rumah kembali sepi. Hanya ada dirinya dan Sita. Komunikasinnya dengan sang adik memang masih kaku. Pasca tragedi itu. Jika saja tidak ingat pesan Ibuk tadi pagi, rasanya Yaqub masih belum siap untuk biacara dengan Sita.

"Maafkan Abang, Sita. Maafkan untuk kejadian tempo hari. Sekarang di sini hanya ada kita berdua. Ibuk sudah pergi dan beliau menitipkan kamu pada Abang."

Yaqub mengambil napas sejenak. Mengumpulkan segenap ketenangan agar tak ada emosi antara mereka. Ia takut akan kalap lagi. Karena sesungguhnya ia belum bisa memaafkan Sita sepenuhnya.

"Abang sudah berjanji untuk menjagamu dan menjamin kehidupan kamu dan bayimu. Namun, itu ada syaratnya."

Kali ini ia menatap Sita dengan pandangan dingin menghujam. Gadis itu tertunduk tak berani membalas tatapan sang kakak. Nyali Sita ciut biar bagaimana juga ia sangat segan dan menghormati Yaqub.

"A--pa syaratnya, Bang?" terbatas Sita membuka suara.

Bersambung

#HWCMENULIS
#HWCBACHT4

honest_writers

ACHERON 21+++Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang