Rain mondar-mandir di depan pintu ruang operasi menunggu kabar tentang keadaan Sarah yang tengah ditangani oleh dokter. Kondisi wanita itu cukup memprihatinkan dengan cidera yang cukup parah di bagian tangan. Sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas inisiden ini, tentu Rain merasa sangat bersalah.
"Rain!" Terdengar suara Cila memanggil dari kejauhan.
Rain menoleh. Gadis itu setengah berlari menghampirinya. Dia merasa sedikit lebih tenang dengan hadirnya Cila di sana, karena sejak tadi sendirian tidak ada tempat berbagi. "Cila!" Rain memeluk gadis itu begitu sampai.
Cila melepaskan pelukan. Ditatapnya Rain dari atas hingga bawah. Hanya ada luka kecil di bagian pelipis. "Kamu nggak papa? Ini kenapa nggak diobati?" tanyanya sembari memegang wajah Rain.
"Aku nggak papa." Rain menggeleng. Dia duduk dengan wajah frustasi. "Ini semua salah aku, Cila. Aku yang tetep maksa bawa mobil padahal udah nggak kuat nahan kantuk."
Cila duduk di samping Rain dan mengusap punggung pemuda itu. "Ini bukan salah kamu. Ini kecelakaan yang nggak disengaja." Dia menoleh ke pintu yang masih tertutup. "Sarah gimana?"
"Aku nggak tau. Udah satu jam dokter di dalam. Gimana kalau dia ..." Rain semakin kalut memikirkannya.
"Rain, tenang. Sarah pasti baik-baik aja. Kita tunggu dengan sabar." Cila merangkul Rain agar pemuda itu bisa bersandar padanya. "Kamu udah telepon Tante Uyun?"
"Udah. Tapi Tante Uyun lagi di luar kota, nggak bisa tiba-tiba pulang. Besok baru cari penerbangan. Aku merasa nggak enak banget, Cil."
"Tante Uyun nggak akan nyalahin kamu. Ini kecelakaan, jangan khawatir." Cila menenangkan Rain.
Tak berselang lama, dokter keluar dari ruangan itu. Rain dan Cila langsung mendekati. "Gimana keadaan Sarah, dok?" tanya Rain cepat.
"Kalian keluarganya?" tanya dokter itu lebih dulu.
Rain dan Cila saling pandang.
"Saya calon suaminya, dok." Rain terpaksa berbohong agar dokter mau memberitahunya mengenai keadaan Sarah. Karena kalau dikatakan hanya teman, dokter pasti ingin menunggu kekuarga atau walinya lebih dulu.
Cila refleks menoleh pada Rain.
"Begini dek, pasien Sarah mengalami patah pada pergelangan tangan dan trauma otot yang cukup parah. Besar kemungkinan jari-jari tangannya akan mengalami penurunan fungsi untuk jangan waktu yang cukup lama."
Seketika kaki Rain termundur. Shock. Dia menekan pelipisnya yang terasa pening. Terbayang olehnya bagaimana Sarah melukis dengan tangan itu, dan sekarang ... "Nggak mungkin." Dia menggelengkan kepala.
Cila pun sama terkejutnya. Sarah adalah seorang Pelukis professional, bagaimana jadinya bila tangannya tidak berfungsi? "Dok, tapi masih bisa disembuhkan, kan?" tanyanya penuh harap.
"Bisa, bila pasien rutin melakukan terapi dan pengobatan. Tapi ..." dokter tersebut menghela nafas, "tidak akan bisa kembali sempurna seperti sebelumnya."
"Dok, lakukan apapun untuk Sarah! Dia seorang pelukis, sembuhkan tangannya seperti dulu!" Emosi Rain yang labil membuatnya mencengkeram kerah jas dokter dan marah.
"Rain, apaan sih!" Cila langsung menghalangi Rain. "Dokter udah berusaha semaksimalnya, ini semua kehendak Tuhan!" hardiknya.
Dokter yang sudah biasa mendapatkan perlakuan semacam ini saat keluarga pasien tidak terima dengan penjelasan medisnya, hanya bisa diam dan masuk kembali ke dalam.
Rain terduduk di lantai. "Ini salah aku, Cil. Aku yang udah bikin dia nggak bisa ngelukis lagi!" jeritnya sembari meremas rambut dengan keras.
Cila berjongkok dan memeluk Rain. "Udah aku bilang ini kecelakaan. Kamu nggak sengaja. Sarah pasti ngerti, dan nggak mungkin nyalahin kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Rasa Pacar (TAMAT)
RomanceBanyak yang bilang, mantan itu tempatnya di tong sampah. Sudahlah, buat apa dikenang lagi, mending move on dan cari pengganti. Itu menurut orang, bukan kami sepasang mantan yang memutuskan untuk berpisah baik-baik. Kami berpacaran selama tiga tahun...