Rain membukakan pintu mobil untuk Cila, wanita itu turun sembari memeluk dua buku tebal. Mereka berjalan bersisian memasuki halaman kampus di mana semua murid sudah berkumpul. Satu tahun menjadi Mahasiswa di kampus itu, membuat mereka cukup dikenal oleh sebagian Mahasiswa lainnya.
"Kamu sampe jam berapa?" tanya Rain sembari melirik Arlojinya.
"Jam lima-an kayaknya. Itu pun kalau nggak sengaja dilamain." Cila dengan mimik lesunya mengesah.
"Pasti Prof. Yuka, ya?" Rain tertawa.
"Tau tuh Dosen kenapa suka banget manjangin waktu. Udah jelas-jelas jam beliau tuh habis, tapi masih betah aja ceritain Sejarah. Padahal, kan, beda materi." Cila mengeluh panjang lebar.
Rain tertawa. Diusapnya puncak kepala Cila dengan lembut. "Semangat ya, aku bantu doa."
Cila mencubit pinggang Rain. Pria itu menggelinjang, efek geli. "Emang kamu sampe jam berapa hari ini?"
"Jam empat. Paling aku nungguin kamu di kantin kayak biasa."
"Huh, bilang aja mau ngecengin adik tingkat. Udah ketebak modus kamu tuh, Rain." Cila berdecak.
Rain cengengesan. "Namanya juga lagi jomblo, Cil. Siapa tau ada yang cocok." Rain pasti becanda. Dia mana pernah ngecengin cewek, tampilannya aja cool begitu.
"Ya udah sana, jangan lupa pajak jadian kalau emang dapet." Cila menarik sudut bibirnya.
Rain mendorong kening Cila dengan telunjuknya. "Tetep makan aja yang ada di otak kamu tuh. Kapan berubahnya sih?" cibirnya.
"Kita butuh makan untuk pura-pura bahagia." Cila menjulurkan lidahnya. "Aku masuk dulu," pamitnya sebelum Rain gemas dan menarik pipinya.
Rain masih berdiri di tempatnya, baru pergi setelah Cila masuk ke dalam kelas. Dia berbalik, kaget melihat dua sahabatnya, Bowo dan Aben ada di sana. "Sejak kapan lo berdua di sini," tanyanya curiga.
"Sejak usapan lembut di kepala." Bowo mengusap kepala Aben. Menirukan adegan Rain mengusap kepala Cila.
"Sampai mata lo nggak berkedip kalau Cila belum selamet sampe kelasnya," lanjut Aben penuh perasaan.
"Bacot." Rain melangkah ke kelas yang akan mereka pakai untuk belajar hari ini.
"Kenapa nggak balikan lagi aja sih?" tanya Aben begitu gemas.
"Tau nih lo berdua, kenapa nggak kayak dulu lagi aja?" timpal Bowo. "Sejak lo berdua putus, Mayang tuh jadi parnoan sama gue. Dia takut kalau-kalau bakalan putus juga, jadi nggak mau banyak kenangan."
Tawa Aben pun terdengar meledek. "Itu sih Mayang aja yang baru pintar. Udah tau modelan lo gini dipacarin, buang energi aja."
"Taik lo ya." Bowo memiting leher Aben dan menyeretnya masuk ke dalam kelas.
"Kembali ke topik semula." Bowo lebih dulu menaruh tasnya ke atas meja dan duduk. Rain duduk di belakang, membuatnya harus memutar tubuh. "Hubungan lo sama Cila tuh sebenernya gimana sih, Rain? Kalian tuh nggak keliatan kayak mantan tau nggak. Masih aja pulang pergi bareng. Masih aja berduaan, pegangan tangan dan kiss-kiss pipi."
Rain hanya tersenyum menanggapi itu. Dia mengeluarkan ponselnya dan membaca pesan dari Cila yang baru terkirim hitungan detik.
From: MyCila
Kesel deh, aku lupa bawa pena.
Mau keluar males, terpaksa ngetik catatan lewat hape.Rain membuka tasnya. Hanya ada satu pena di dalam situ. Tidak peduli pada dirinya sendiri, dia pun berniat memberikan itu pada Cila. "Gue mau ke Cila dulu ngasih pena, kalo Pak Imam dateng bilang aja lagi di Toilet."
Bowo dan Aben cuma bisa melongo. Ini salah satu hal kecil yang sebenarnya membuat mereka tak habis pikir kenapa Rain dan Cila bisa putus, padahal hubungan mereka tergolong sweet.
Rain mengetuk pintu kelas Cila dan semua Mahasiswa termasuk dosen yang lagi mengajar menoleh. "Permisi, Pak, saya mau kembaliin pena Cila." Dia meminta izin dengan sopan.
"Oh, ya udah silakan. Kasihan dia nulis pakai hape gara-gara kamu pinjam," suruh Pak Rosi.
Rain tersenyum dan masuk. Cila tersipu saat beberapa orang men-cie-cie-kan. Dia berdiri di samping meja wanita itu dan sedikit membungkuk. "Mata kamu bisa rusak kalau nyatet pakek hape, ini aku pinjemin pena." Bisikan Rain ini cukup terdengar Mahasiswi sekitar, godaan cie-cie pun terdengar kembali.
Cila menunduk malu.
"Terima kasih, Pak." Rain berpamitan dan keluar dari kelas itu. Dia merasa bahagia bisa membantu hal sekecil ini untuk Cila.
***
"Huaaaa. Lewat setengah jam. Aku mau meninggal rasanya." Cila menjatuhkan kening ke atas meja.
Rain memijat tengkuk Cila, sangat paham wanita itu pegal akibat terlalu lama mendengar ceramah tentang Sejarah Indonesia. Seru sebenarnya, asal tidak mengambil jam pulang. "Aku pesenin orange juice," beritahunya.
Cila mengangkat kepalanya. Melihat orange juice yang sudah tidak dingin lagi itu membuatnya sedih. "Kasihan sekali kau, sayang. Pasti capek ya nunggu lama, makanya nggak dingin lagi?" tanyanya pada jus itu.
Rain tergelak.
Cila meminum jus itu sampai habis. Dia seperti musafir di padang gersang. "Prof. Yuka nyiksa banget deh hari ini. Masa lima menit sebelum jam selesai, dia malau nyerempet bahas tentang PKI. Kebayang nggak kamu gimana panasnya pantat aku nungguin dia selesai?"
Rain lagi-lagi tergelak. Dia mengusap puncak kepala Cila dengan lembut. "Bisa aku bayangin," jawabnya. Tangan yang dia pakai mengusap kepala Cila tadi, kini bertengger di pundak wanita itu.
"Bete nggak nunggu lama?" tanya Cila sembari menyandarkan kepala ke pundak Rain.
"Udah biasa," jawab Rain. Dia sangat suka mengelus pipi Cila yang selembut kapas.
"WOI!!"
Saat Bowo dan Aben datang, ketenangan kantin pasti terancam. Kedua pria itu cengar-cengir melihat Rain dan Cila sedikit mesra. "Pacaran itu cari tempat sepi, ngapain di kantin rame gini." Aben yang telah dinobatkan sebagai jomblo sejati itu menekan dadanya berlebihan, pertanda dia terluka melihat kemesraan mereka.
"Siapa yang pacaran?" cibir Cila. Tidak mengakui, tapi tetap menempel.
"Itu, semut lagi pacaran sama rumput yang begoyang." Bowo mencebik.
Rain dan Cila saling tatap, lalu tertawa. Mereka tampak tidak peduli apapun yang orang katakan tentang hubungan yang sekarang ini dijalani. Selama ada kenyamanan, kenapa harus pusing memikirkan status?
HTS, alias Hubungan Tanpa Status.
***
Nih, dikasih update biar makin baper kalian, hahaha.
Jadi, yang gak ngerti, Prolog itu alur mundur ya sebelum mereka putus. Jadi, nanti akurnya maju mundur cantik.
Gimana part kali ini? Coba mana suaranya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Rasa Pacar (TAMAT)
RomanceBanyak yang bilang, mantan itu tempatnya di tong sampah. Sudahlah, buat apa dikenang lagi, mending move on dan cari pengganti. Itu menurut orang, bukan kami sepasang mantan yang memutuskan untuk berpisah baik-baik. Kami berpacaran selama tiga tahun...