Pagi sebelum matahari menyapa, Rain sudah keluar dari rumah. Dia ada janji joging bersama Cila, jadi harus menjemput wanita itu lebih dulu. Padahal tidak janjian, keduanya malah terlihat kompak mengenakan jaket couple yang dulu pernah dibeli.
"Kita nggak papa nih keluar kayak gini?" tanya Cila sebelum turun dari mobil.
"Emang kenapa?"
"Nggak enak aja kalau Kak Sarah tau."
"Nggak usah khawatir, aku bisa atasi." Rain turun lebih dulu dari mobil, kemudian membukakan pintu untuk Cila.
Keduanya mulai berlari mengikuti jalan berbatu yang mengelilingi danau buatan. Tempat itu selalu ramai di pagi hari oleh orang-orang yang ingin berolahraga.
"Udah lama banget nggak sih kita nggak ke sini?" tanya Rain.
"Banget. Sejak kamu mulai susah dibangunin," sindir Cila.
"Ini buktinya aku bangun duluan," kekeh Rain.
"Jangan-jangan kamu beneran nggak tidur ya, semalem?" tuduh Cila.
"Tau aja."
"Beneran nggak tidur?" Cila menoleh pada Rain. Keringat pria itu mulai jatuh ke kening, malah membuatnya semakin tampan.
"Takut nggak bangun, makanya aku main PS semaleman." Rain tercengir.
"Emang nggak ngantuk?"
"Nggak. Malah seger banget habis lihat muka kamu."
"Rain, ih kenapa jadi gombal gini." Cila memalingkan wajah, tidak ingin rona merah pipinya terlihat oleh pria itu.
"Iya ya, aku kenapa jadi ngebucin banget gini sama kamu?" Rain menggaruk kepalanya.
Cila mempercepat larinya meninggalkan Rain, bibirnya tidak bisa menahan senyum dari efek kupu-kupu yang terbang di rongga dada.
"Cil, tungguin dong!" Rain juga mempercepat larinya menyusul sang pacar. Bukannya lari santai, mereka malah kejar-kejaran seperti anak kecil di trek bebatuan itu.
Setelah cukup berkeringat, Cila memutuskan berhenti lebih dulu. "Udahan, capek banget." Dengan napas terengah-engah dia duduk lesehan di pinggiran danau.
"Tunggu ya." Rain berlari ke sisi lain.
Cila pikir, Rain hanya akan membeli minuman untuk mereka. Tapi ternyata pria itu membawa es krim. Dia pun dengan senang hati menerimanya. "Makasih," ucapnya dengan senyum lebar.
"Besok mau ke sini lagi?" tanya Rain.
"Lihat ntar. Aku yakin abis ini kaki bakalan sakit banget, udah lama nggak lari soalnya." Cila meluruskan kakinya.
"Nanti aku pijatin kalau sakit."
"Beneran, ya?"
"Iya, bener."
Cila mencebik. Ditolehnya ke air danau yang tampak tenang. "Kak Sarah apa kabar?" Tiba-tiba nama itu terlintas di kepala.
"Kenapa bahas dia?" Rain terlihat tidak suka. Dia ikut memandang ke danau.
"Aku merasa bersalah, Rain."
"Kamu nggak salah apa-apa, biar aku yang tanggung semuanya. Aku bakal selesaikan apa yang udah aku mulai," janji Rain.
"Gimana kalau dia tetap menuntut janji kamu?"
Rain diam untuk beberapa saat.
"Kita punya solusi kalau emang itu terjadi nanti."
"Apa?"
***
"Rain, kamu dari mana? Tiba-tiba hilang gitu aja, Sarah tuh di sini karena kamu." Rani mengomeli Rain yang baru pulang siang setelah menghilang sejak pagi dari rumah.
"Aku joging, Ma. Habis itu langsung main sama anak-anak." Rain melenggang masuk tanpa berniat bertanya soal Sarah.
"Rain, jangan kayak gini. Kamu sendiri yang udah buat keputusan untuk tanggung jawab ke Sarah," Rani mengikuti.
"Ma, aku juga punya kehidupan sendiri. Nggak selalu harus sama dia, kan?" Rain mulai berontak. "Aku capek Ma diikutin terus sama dia."
"Itu karena dia percaya sama janji kamu, Rain."
"Janji itu nggak sungguh-sungguh, Ma. Aku saat itu hanya merasa bersalah dan kasihan sama Sarah, nggak serius. Apa aku harus terus pura-pura untuk ..." Tanpa Rain sadari, Sarah mendengarkan ucapannya itu.
Rani pun terkejut melihat Sarah di sana, karena tadi wanita itu masih di kamar. "Sarah, Tante sama Rain cuma ..."
"Sarah boleh bicara berdua sama Rain, Tante?" minta Sarah.
Rani menoleh cemas pada Rain, tapi mau tidak mau membiarkan keduanya bicara secara pribadi. "Tante di dapur kalau kamu butuh sesuatu," katanya dengan senyum ramah.
Sarah diam saja.
Keduanya pun duduk di sofa ruang tamu, berhadapan. Sarah terus memberikan tatapan lekat pada Rain, belum mengatakan apa-apa.
"Sarah, aku mau ngomong sama kamu. Aku ..."
"Aku setuju untuk lanjutkan pengobatan di Amerika," potong Sarah. "Kamu inget dulu bilang apa ke aku? Kalau kamu akan menemani sampai aku sembuh."
Rain terdiam.
"Kamu lihat kondisi aku sekarang, Rain?" tanya Sarah dengan kilatan emosi yang terpancar jelas di mata teduhnya itu. "Cacat," desisnya. Air matanya mulai turun membasahi pipi. "Aku nggak bisa apa-apa, dan merasa malu karena semua harus dibantu sama orang lain."
"Terus sekarang kamu berpikir buat ninggalin aku. Gimana aku bisa hidup sendirian dengan kecacatan ini, Rain?" Isak tangis Sarah terdengar pilu.
Rain yang merasa kasihan dan masih diliputi rasa bersalah pun, langsung berlutut di hadapan Sarah. "I'm sorry," lirihnya sambil memegang kedua tangan yang tampak lemah itu.
"Bukan maaf yang aku butuhkan saat ini." Pundak Sarah bergetar. "Aku pengen sembuh agar nggak membebani siapapun lagi dengan kelemahan aku ini."
"Hei, kamu pasti sembuh." Rain mengusap air mata Sarah. "Kita ke Amerika, oke?"
Sarah pun mengangguk, namun masih menangis saat Rain memeluknya. "Bahkan aku nggak bisa sekedar angkat tangan buat balas pelukan kamu," lirihnya.
"Someday, I believe you can do anything."
***
Duh, Rain bikin ulah lagi.
BTW dua part lagi sudah last chapter ya, siap-siap ucapkan selamat tinggal untuk Rain dan Cila. Siapkan hati juga buat melihat endingnya 🤭✌️
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Rasa Pacar (TAMAT)
Lãng mạnBanyak yang bilang, mantan itu tempatnya di tong sampah. Sudahlah, buat apa dikenang lagi, mending move on dan cari pengganti. Itu menurut orang, bukan kami sepasang mantan yang memutuskan untuk berpisah baik-baik. Kami berpacaran selama tiga tahun...