BAB 1 DIESKHA

6 1 0
                                    


Melalui jendela yang menyisakan titik-titik air sisa hujan setengah jam yang lalu, Dies bisa merasakan dinginnya udara di luar sana. Hanya terdengar tuas yang berdecit cukup kencang saat kereta memasuki stasiun pemberhentian. Pandangan mata dies menyapu beberapa deret kursi kosong, penjaga dengan kumis lentik bermata tajam, dan toko-toko roti yang tetap buka meski sepi pelanggan. Kereta tidak berhenti lama, hanya dua atau tiga menit sebelum akhirnya berjalan kembali. Dies menawarkan sapu tangan pada lelaki di sampingnya yang semenjak tadi mengeluh hidungnya berair karena pendingin udara di gerbong kereta menghadap tepat ke arah mereka.

"Ayah sudah harusnya bawa jaket tebal kemana-mana," Cibiran itu disambut dengan tawa kecil lelaki di sampingnya sambil mengusapkan sapu tangan ke hidungnya beberapa kali. Pak Arman menghela nafas panjang. Udara yang mengelilingi gerbong memang mendukung untuk terlelap, dan begitulah orang-orang melakukannya, tertidur sampai bunyi tuas kereta berdecit kembali menandakan akan segera turun ke stasiun terdekat. Dies membetulkan tempat duduk, lebih mendekat ke arah jendela. Perjalanan mereka masih membutuhkan dua jam lagi untuk sampai ke tujuan terakhir. Setiap tiga bulan sekali, pak Arman dan Dies akan menyambangi rumah lama mereka, memastikan tidak ada pipa bocor, lampu rusak, atau kertas tembok yang mengelupas. Rumah itu sudah direncanakan untuk dijual sejak empat tahun lalu, ketika pak Arman dan Dies pindah ke kota kecil yang agak membosankan. Setelah empat tahun berlalu, rumah itu belum juga terjual. Yang mereka berdua butuhkan hanyalah pemilik baru, sehingga mereka tidak perlu lagi datang tiap tiga bulan sekali. Tidak, bukan karena perjalanan kesana membutuhkan waktu delapan jam, tetapi karena keduanya harus menghadapi mimpi buruk, cerita-cerita lama yang harus diungkit kembali setiap tiga bulan sekali.

"Apa menurut ayah, ibu menyetujui ini?" Dies menyandarkan kepalanya ke jendela. Tatapan matanya menelisik perubahaan gerak ayahnya yang meskipun tampak tersenyembunyi, tapi gagal membuat Dies tidak menyadarinya.

"Sudah kita bicarakan sebelumnya, kalau ini yang terbaik kan?" Pak Arman menarik jemari dies dan meletakkan di atas telapak tangannya. Menepuk pelan seperti yang ibu Dies sering lakukan padanya. Dies tersenyum sambil memindahkan sandaran kepalanya ke bahu Pak Arman.

"Ya. Aku hanya bertanya saja. Kita sedang belajar untuk tetap bertahan, dengan cara terbaik." Dies membiarkan matanya terpejam. Rambutnya dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajahnya, tapi anehnya ia sama sekali tidak risih.

Semenjak kematian ibunya, kota membosankan yang sekarang ditempati bersama ayahnya menjadi pelarian paling tidak terduga. Empat tahun lalu, jangankan membayangkan, pernah mendengar namanya pun tidak. Kota ini seperti terasing, meninggalkan sisi gelap bagi mereka yang tidak pernah menginjakkan kaki kesana. Alasannya sederhana, karena mereka ingin menemukan bahagia, atau setidaknya menemukan tempat yang lebih sengsara dari kesengsaraan mereka.

"Apa kamu sudah menemukan ide untuk tulisanmu?"

"Tentu saja. Sungguh tidak terduga, aku menemukannya di tempat yang tidak pernah kubayangkan" Dies mengingat kembali saat-saat pertama memasuki sekolah barunya di umur tiga belas tahun. Kota yang membosankan, cenderung memiliki sekolah yang sama membosankannya. Tapi setahun belakangan, dia cukup bisa menerima bahwa bangku-bangku disana keras dan terlalu pendek, kaca jendela hampir pecah, seragam hari rabu kamis yang mencolok, juga bau ruangan mirip lembaran buku-buku cetakan lama.

"Aku tidak menyukainya, tapi kenyataan aku sudah berada di sini lama membuatku terbiasa" Dies menurunkan tas ransel kecil dari gantungan di sampingnya. Pak Arman menatapnya sesaat seolah ingin mengatakan, bertahanlah karena penderitaan ini akan cepat berakhir. Tuas kereta berbunyi lagi, kali ini bunyi decitannya lebih keras dari sebelumnya. Tidak seperti di pemberhentian sebelumnya, di stasiun ini tidak begitu banyak yang turun. Hanya mereka berdua. Udara khasnya merebak tiba-tiba tepat saat kaki Dies melangkah keluar. Tentu tidak bisa dilupakan, lagu daerah bervolume keras menyambut sejak kereta tadi berhenti. Seolah kota ini memaksa siapapun untuk bisa melebur ke dalamnya.

Own the PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang