BAB 3 SEBUAH KEBETULAN

2 0 0
                                    

Dies memandang isi bekalnya di kantin sekolah. Pak Arman membawakan dua kotak yang disusun atas bawah. Roti selai kacang kesukaan Dies, dan macaroni schotel kukus. Willi mendekatkan diri, menengok sebentar ke arah kotak makan Dies.

"Apa kamu terganggu dengan roti selai kacang ini?" Tanya Willi. Tangan kanannya hendak mencapai kotak bekal Dies, tapi pemiliknya buru-buru memukul pelan menggunakan garpu.

"Wil, kamu liat anak baru itu?" Sambil menyuapkan macaroni schotel ke mulutnya, ia memandang Rama duduk di bangku agak jauh darinya, juga sedang menghabiskan makan siang. Sebelahnya, ada Arya -cowok petakilan yang terkenal suka mengirimkan puisi-puisi pada gadis di sekolahnya.

"Hmm, ada apa? Tertarik ?" Willi ikut melihat cowok yang Dies maksudkan.

"Hanya saja, aku seperti melihat wajah dan tatapan seseorang yang sedang bersedih." Dies menurunkan pandangannya dan fokus menyantap kembali makanannya.

"Apa kamu sedang membicarakan dirimu sendiri?" Ah iya, Willi adalah tipikal teman yang selalu benar meskipun kata-katanya tidak jarang menyakitkan. Mendengar itu, Dies berdengus agak keras kemudian membuat gerakan cepat menancapkan garpunya ke sisa macaroni.

"Dulu dia adalah penulis di majalah anak. Selain karena ibuku, dia yang membuatku bersikeras ingin menerbitkan tulisan,"

"Woho, aku tahu perasaan yang kamu rasain, Dies. Seperti seorang penggemar yang -"

"Yang sekarang jauh lebih terkenal dari idolanya," Potongnya sambil meneguk air minum dari botol. Rama masih disana duduk tenang sambil sesekali tertawa ketika Arya membuat gerakan-gerakan aneh dengan tangannya.

"Ya ampun, temanku menyombongkan diri lagi" Willi meletakkan alat makannya begitu mendengar Dies melanggar kesepakatan untuk tidak menyombongkan diri sendiri selama satu bulan. Ah, kesepakatan dibuat sendiri dan dilanggar sendiri.

"Aku mengatakan jujur. Karena setelah tulisan terakhirnya di tahun 2012, dia tak pernah muncul lagi. Seperti ditelan bumi"

"Hmm, misterius." Ucap Will diikuti gerakannya membetulkan kacamata. Dies mengangguk dan teringat bahwa ia harus pergi ke ruangan pak Wisnu untuk membicarakan tentang proyek baru mereka.

"Meninggalkanku sendirian?" Tanya cewek berkacamata tebal itu sambil membantu Dies membereskan bekal makanan dan memasukkannya dalam tas kecil.

"Maafkan aku,"

"Yaudah buruan sana. Pak Wisnu nggak suka telat lo," Dies mengangguk dan segera berjalan cepat meninggalkan Willi, berbelok ke koridor agak sempit, menyapa sebentar Raisa yang sibuk ngobrol bersama teman cowoknya, dan berakhir dengan berdiri di depan ruangan pak Wisnu. Dies mengetuk pelan pintunya, kemudian suara di dalam sana menyuruhnya untuk masuk.

"Hai, bagaimana kabarmu?" Tanya pak Wisnu sesaat setelah Dies mendorong pintu dan menampakkan setengah wajahnya.

"Baik, Pak" Ucapnya. Pak Wisnu berdiri sebentar untuk mempersilakan Dies duduk di kursi depannya. Kedua tangan guru berkumis lentik itu ditekuk rapatkan di atas meja, membuat suasana ruangan agak sedikit kaku.

"Sudah seberapa jauh persiapannya?" Pertanyaannya itu membuat Dies menelan ludah. Dua minggu lalu, pak Wisnu merancang kerjasama dengannya. Geng sastra ketinggalan jauh dibanding ekskul menulis sekolah lain, sangat ketinggalan jauh. Masalahnya, diskusi antara guru dan murid ini begitu menggebu ingin membuat gebrakan berupa penerbitan buku puisi. Ya, tidak begitu impulsif tetapi cukup berat mengingat sekolah itu tidak memiliki semangat menyamai bahkan berada selangkah ke depan daripada sekolah lain.

"Uhm, sudah melalui tahap proses. Aku sedang merayu satu temanku lagi untuk bergabung, Pak" Ucapnya. Berharap pak Wisnu tidak benar-benar melihat sorot matanya dan mengetahui bahwa apa yang ia ucapkan barusan adalah bohong. Baru ia satu-satunya yang memulai menulis, itupun beberapa lembar tulisan bercampur coretan gambar tidak jelas.

Own the PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang