BAB 2 RAMA

9 0 0
                                    

Rama melepaskan kaos hitam, dan buru-buru mencari seragam putih abunya di tumpukkan pakaian yang telah disetrika. Nafasnya belum teratur setelah berlari lima kilometer di jalanan. Jam yang tergantung dekat tempat tidurnya menunjukkan pukul enam lebih empat puluh menit. Entah apa yang dicarinya, ia seperti tidak menyukai bagian dari dirinya yang terus meminta berhenti melakukan hal-hal yang ia sukai. Cowok berpostur tinggi itu menatap pantulan dirinya dari cermin, sesuatu yang tidak biasanya ia lakukan. Setelah memasukkan beberapa buku, dan sobekan kertas berisi puisi-puisi tengah malamnya ke dalam tas, Rama membuka pintu kamarnya dan beranjak ke dapur. Ia mempersiapkan sarapannya. Segelas susu dingin, dan selembar roti tawar. Rama menatap lengang jalanan rumahnya lewat jendela sambil menghabiskan susu dalam beberapa tegukkan.

"Kabarmu baik?" Pini, seekor kucing yang sudah semingguan ini berada di rumahnya mendekat dan berlari-lari di dekat kaki pemilik barunya. Sama seperti Pini, Rama juga baru seminggu ini pindah ke daerah itu. Semuanya terasa asing dan sepi, tapi entah kenapa hal itu yang membuatnya semakin menyukai tempat ini. Rama mengelus kucingnya, meraih bungkus makanan dan mengeluarkan isinya di wadah khusus.

"Jaga rumah ya," Pini masih menikmati sarapan ketika pemiliknya beranjak keluar, meninggalkan bekas bau parfum khas Rama yang memenuhi udara rumah itu.

Sambil menuntun sepedanya, Rama mengelilingkan matanya ke sisi kota itu. Orang-orang mengayuh sepeda, mengendarai motor, sementara yang lain sibuk membersihkan pekarangan rumah. Tidak ada yang mengenalnya, bahkan untuk sekedar mencari tahu siapa pemilik baru yang menempati rumah lama di seberang sana. Rama menghela nafas saat memutuskan menaiki sepedanya, mengayuh dengan kecepatan pelan. Beberapa meter di depannya, ada sebuah bus sekolah yang berhenti. Suara mesin yang cukup keras, dan kepulan asap knalpot membumbung ke udara di sekitar bus itu. Tampaknya bus sekolah itu sedang mengalami masalah. Benar saja, sepuluh detik kemudian anak-anak berseragam SD SMP keluar secara teratur.

"Maaf ya anak-anak, aku akan memperbaikinya. Sampai jumpa besok!" Lelaki bertubuh gemuk yang tampaknya adalah sopir bus ikut turun. Tangan sebelahnya disandarkan ke badan bus, sedang satunya dilambaikan ke anak-anak dengan perasaan sedih.

Rama langsung turun dari sepedanya, mengikuti beberapa anak-anak sekolah yang kini berjalan kaki. Dari bus sekolah yang macet itu, Rama bisa tahu mereka berasal dari sekolah tak jauh dari sini. Setengah kilometer lagi dari tempatnya sekarang. Mungkin bus tadi sudah 'mengeluh' sepanjang jalan, dan menyerah saat jarak menuju sekolah sudah dekat.

"Hei," Rama mendekati anak laki-laki berambut keriting yang berjalan paling belakang. Anak itu menyadari kedatangan seseorang dan berhenti sebentar, memandang manusia tinggi di sampingnya dan menyadari bahwa mereka sama-sama akan pergi ke sekolah. Keduanya kemudian berjalan kembali. Kini beriringan.

"Ada apa?" Anak laki-laki itu mengencangkan tas berwarna merahnya. Warna tas itu serasi dengan gantungan-gantungan mobil yang dipasang dekat resleting tas.

"Apakah busnya sering macet begitu?" Rama membuat gerakan tangan seperti sedang menunjuk bus di belakangnya.

"Ya, itu bus gratis. Kami tinggal menaikinya," Jawaban itu membuat Rama tertawa kecil. Kata-katanya sederhana, tapi seperti ada keputusasaan yang diterima bersama-sama.

"Siapa namamu?" Rama menanyai anak laki-laki yang sekarang ketinggalan cukup jauh dari rombongan teman-temannya.

"Angga. Kakak?" Angga menatap kembali anak SMA di sampingnya. Kaki jenjang, rambut setengah acak-acakan diterpa angin, dan sorot mata tajam yang agak menakutkan.

"Rama," Rama menjawab sambil nyengir. Angga setengah kaget menghentikan langkahnya. Lalu berjalan cepat sekitar satu meter dari Rama, kemudian membalikkan badan.

Own the PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang