8.

214 29 1
                                    

Kesunyian terus menyelimuti kedua pemuda yang sedang di dalam mobil itu hingga ke tempat tujuan. Lelaki yang duduk di passanger seat itu berkali-kali mengedarkan netra nya kepada seseorang yang sedang menyetir itu.

"Apakah karena kita hanya jalan berdua sehingga dia menjadi sedingin ini? Atau sedang ada masalah berat yang menimpanya hari ini? Haruskah ku tanyakan? Apa tidak apa-apa bertanya akan hal ini?"

Kiranya begitu isi pikiran Ten selama di mobil. Ia seolah bergelut dengan pikirannya sendiri.

Setelah mendapati tempat untuk makan dan memesan makanan, Ten terus memperhatikan Johnny, netra seseorang yang ada di depannya ini bahkan enggan menatap dirinya. Apanya yang dimaksud tanda pertemanan jika saat ini mereka berdua justru seperti orang asing, pikirnya.

"John, sebenernya kalo lo nggak berniat ngajakin makan siang nggak papa loh, nggak usah pake acara ngajak tapi ngediemin gue." ucap Ten spontan, karena memang, Ten tidak suka memendam dan mendiamkan masalah, ia lebih suka membicarakannya secara langsung dibanding meninggalkan masalah itu tanpa diselesaikan.

Johnny yang sedang menikmati minumannya sontak langsung tersedak mendengar perkataan Ten yang terang-terangan. "Ah, iya maaf. Sebenernya gue nggak bermaksud ngediemin lo..." ujar Johnny yang kikuk. "Terus kenapa? Lo ada masalah? Sini cerita sama gue, jangan diem, gak kayak biasanya." balas Ten dengan wajahnya yang tampak kesal namun penuh kekhawatiran.

"Itu.. anu.. gue cuma lagi mikirin sesuatu.." jawab Johnny, sesungguhnya ia pun tidak paham akan dirinya sendiri, tidak tahu apa yang menimpanya sehingga ia harus mendiamkan sosok yang sebenarnya ingin ia lihat dan membuatnya terus tersenyum sejak tadi pagi.

"Mikirin apa?" tanya lawan bicaranya dengan tatapan mata yang sedikit tajam. "itu.. tadi.. yang datang ke rumah lo siapa? Yang lo pegang tangannya? Yang lo peluk?" tanya Johnny spontan, entah mengapa hanya itu yang ada dipikirannya dan mengganggu Johnny selama perjalanan tadi.

Ten sontak tertawa lepas,"Oh jadi ini penyebab lo diem selama perjalanan? Lo cemburu apa gimana deh?" ujarnya sambil melemparkan senyum kepada Johnny yang kini sedang salah tingkah dibuatnya. Johnny hanya terdiam, masih tertunduk malu dan mukanya memerah.

Lucu bagaimana seseorang bertubuh tinggi besar dan berpenampilan sangar tersebut sekarang menjadi kikuk di depan Ten, lelaki manis yang gemar menggodanya saat ini.

"Itu kaka sepupu gue, John. Gue nggak punya pacar kalau lo mau tau. Jadi gausah cemburu ya?" lagi, lelaki itu menggoda pria di depannya. Guratan senyum perlahan muncul pada bibir lelaki bertubuh besar itu, "itu cemburu ya namanya? Pas liat lo sama laki-laki atau perempuan lain sebegitu dekatnya terus gue kepikiran, itu namanya cemburu? Menurut lo, aneh nggak sih?"

Kini giliran Ten yang tersedak minuman yang sedang ditenggaknya. Mukanya bersemu merah seketika saat mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Johnny. Memang waktu awal ia yang menggoda bahwa Johnny cemburu terhadapnya, namun ia tidak pernah menyangka bahwa yang dipikirkannya itu benar. "y-ya... nggak aneh sih...tapi... aneh... sedikit... kayaknya..."

Canggung. Sungguh suasana yang sangat canggung. Ten tidak pernah menyangka bahwa ia akan dihadapkan dengan lelaki yang bahkan tidak mengerti bentuk emosinya sendiri, justru dengan polosnya membalikkan pertanyaan tersebut kepadanya.

Untunglah pelayan sudah datang dengan beberapa makanan yang tadi dipesan, sehingga mereka berdua bisa lanjut dalam keheningan dan fokus dengan makanannya masing-masing.
Setelah lama waktu berlalu, makanan di meja pun sudah rampung dihabiskan keduanya.

"Haaaaahhhhhh, I'm so full." ujar Ten sambil memegangi perutnya ketika makanannya sudah rampung ia habiskan. Johnny yang melihatnya tersenyum senang. "Gimana makanannya? Enak?" tanya nya kemudian. "Enak banget. Beda banget emang masakan restoran mahal sama masakan sendiri." jawab Ten dengan sedikit tawa. Johnny ikut tertawa akan perkataan ten.

"Tau nggak kenapa makanan resto lebih enak?" tanya Johnny. "Kenapa?" tanya balik Ten yang penasaran akan jawabannya. "Soalnya kalo makan di resto kita nggak capek, tinggal makan. Enak." jawab Johnny. Ten mengangguk-angguk menyatakan kalo dirinya setuju dengan perkataan Johnny. "Tapi masakan lo juara kok bagi gue." Lanjutnya.

"Kok bisa? Emang enakan masakan gue?" tanya balik ten. Johnny membalasnya dengan anggukan "iya, soalnya kan lo bikinnya pake cinta. Lebih kerasa enaknya." ujar Johnny.
"idih gombal banget gembel" jawab Ten. Lalu keduanya pun tertawa.

"Hari ini lo ganteng banget, Ten." bisik Johnny sewaktu berjalan beriringan menuju mobil. Ten hanya tersenyum, pipinya bersemu merah. Ah, rasanya perkataan Johnny barusan melengkapi bahagianya hari ini.

Ten tertawa banyak saat bersama Johnny, begitupun Johnny saat bersama Ten. Keduanya seperti orang yang akhirnya menemukan titik paling bahagia dalam hidup saat mereka dipertemukan. Entahlah kedepannya akan seperti apa, mengingat waktu Johnny dan Ten yang belum cukup lama saling mengenal, keduanya pun tidak bisa memastikan apakah perasaan hangat pada diri mereka masing-masing itu bahagia sementara atau memang ini bahagia yang mereka tunggu sejak lama.

Keduanya sadar, dahulu mereka mengalami masa sulit yang amat menyesakkan. Namun sekarang, dengan waktu yang singkat, keduanya seolah menemukan bahagia yang selama ini dicari.

Setidaknya untuk hari ini, mereka ingin percaya bahwa mereka bisa merasakan bahagia lebih banyak lagi.

S I M I L A R - [Johnten] (PAUSED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang