R22 - Yang Seharusnya

11 3 3
                                    

Salah satu hal yang menyakitkan pada persahabatan itu adalah ketidakjujuran

~||~

"Semalam sampai jam berapa, eon?" tanya Alfi setelah salam yang ia ucapkan dijawab Sheril.

"Malam banget, Al, nggak tahu deh tepatnya jam berapa," ringis Sheril. Ia beranjak menuju meja belajarnya. Setelah memastikan bahwa pintu kamarnya sudah terkuci. Berbagi cerita dengan Alfi tak pernah menjadi singkat.

"Dimarahin nggak tuh?" Alfi itu emang rada-rada. Suka sekali kalau Sheril sengsara, meski dengan maksud bercanda.

"Enggak juga. Kena tegur, sih. Untung besok udah bisa kabur," cengir Sheril walau tak bisa dilihat Alfi.

"Hush, bahasanya. Nanti nggak diridhoi bisa barabe loh, eon."

"Astaghfirullah, amit-amit Ya Allah." Terdengar tawa Alfi di sana.

"Jadi ... mau cerita apa, eon? Udah lama banget kita nggak kontakan. Pasti aku banyak ketinggalan sesuatu, 'kan?" Tepat sasaran.

Alfi sudah menganggap Sheril sebagai kakak—padahal ia lebih tua hampir satu tahun di atas Sheril. Namun, Alfi tetap kekeuh memanggil Sheril dengan panggilan kakak dari negeri ginseng itu. Sheril yang merasa tak nyaman menganggap Alfi sebagai adik, tetap memanggil Alfi dengan nama aslinya. Meski terkadang memelesetkan nama Alfina menjadi Finoy.

"Bingung mau mulai dari mana, Noy."

"Ada gebetan baru nggak di sana?" goda Alfi. "Nggak mungkin deh, ya. Aku liat-liat doi masih sering lirik-lirik kamu. Kamu juga."

"Hah? Kapan aku gitu?" bantah Sheril. Ia merasa tak begitu memerhatikan Revano waktu main kemarin.

"Nggak usah ngelak, eon. Dari dulu kalian udah gitu terus." Peka sekali Alfi ini.

"Dia nanti dulu aja. Aku mulai sejak akhir semester kemarin, ya."

Sheril mulai menceritakan tentang kepanitiaan Kampus Expo, awal mula kedekatannya dengan Ervand yang berujung pada seringnya melakukan kontak dengan Ervand.

"Alfi, aku mau ngaku sesuatu, tapi janji dulu," ucap Sheril.

"Janji apa?"

"Jangan langsung marah. Aku tahu kamu bakal kecewa, tapi dengerin aku dulu, ya?"

Sebenarnya, Sheril takut menceritakan hal ini dengan Alfi. Alfi adalah satu-satunya teman dekatnya yang masih berpegang teguh pada ajaran yang mereka dapatkan saat sekolah. Menjaga jarak sebisa mungkin dengan lawan jenis yang bukan muhrim.

"Aku nggak bisa janji kalau untuk yang kecewa, eon. Kalau marah, sejak kapan aku berani sama eon? Yang ada aku udah ciut duluan," ucap Alfi masih terdengar santai. Padahal saat ini, Sheril sedang merasa sedikit takut. Namun, ucapan Alfi itu tak urung membuatnya jadi sedikit lebih rileks.

Sheril kembali menceritakan proses pendekatannya dengan Ervand. Sempat beberapa kali keluar berdua, dan juga dibonceng oleh Ervand. Hingga akhirnya, Sheril menceritakan pernyataan yang dilakukan Ervand. Tak lupa, dengan ia yang tak menerima ajakan itu.

"Al," panggil Sheril pada Alfi yang tak kunjung bersuara sejak ia menyelesaikan ceritanya tentang Ervand.

Ini baru Bang Ervand, belum Revano, batin Sheril mulai ragu.

"Sejujurnya, eon. Bohong banget kalau aku nggak kecewa sama apa yang eon ceritain." Terdengar helaan nafas sebelum Alfi melanjutnkan, "Karna semuanya udah terjadi, aku juga nggak tau harus gimana. Aku bersyukur, eon bisa mengambil tindakan yang tepat. Dan, aku harap, eon nggak mencoba hal-hal yang ke arah sana lagi, ya?"

restart [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang