0

100 10 6
                                    

Prolog

Di sepanjang koridor menuju ruang guru yang berada di lantai bawah. Arin tak henti-hentinya menggerutu, terkadang mengumpat tanpa suara. Merutuki ketua kelasnya yang mengumpankan dirinya untuk mengambil buku tugas anak kelas. Bayangkan satu kelas itu bukan cuma terdiri dari 15 murid, melainkan 30 murid.

Sesampainya di belokan koridor setelah tangga. Arin sedikit mempercepat langkah karena keadaan suram di sekitar tangga. Alis Arin terangkat sebelah memandang seorang pemuda yang bersandar pada pilar depan ruang guru.

Saat langkah Arin semakin mendekat, ia menunduk dan agak memelankan langkah. Tanpa menoleh, Arin mengetuk dua kali pintu ruang guru. Membuka dan melongokkan kepala di celah pintu seraya memberi salam. Kemudian masuk ke dalam.

Semua pergerakan Arin tertangkap awas oleh kedua netra pemuda tersebut. Sesaat pemuda itu tampak memikirkan sesuatu. Ujung bibirnya tertarik menyadari siapa gadis itu.

Lima menit berlalu, Arin keluar dari ruang guru membawa tumpukan buku dengan kedua tangannya. Gadis itu terlihat berusaha menjaga keseimbangan badannya agar buku-buku itu tidak terjatuh. Namun, kemudian terdiam dengan kepala miring memandang pintu ruang guru yang terbuka. Sementara guru di dalam sudah meneriakkan perintah untuk segera menutup pintu itu.

Pemuda tadi melangkah mendekati Arin, ketika melihat gadis itu menunjukkan gestur bingung.

"Minggir."

Suara berat itu sedikit membuat Arin tersentak dan refleks memundurkan diri. Hingga dua buku teratas, yang mati-matian Arin seimbangkan akhirnya terjatuh. Arin menelan kembali umpatannya, saat mengamati pemuda itu ternyata bergerak menutup pintu ruang guru, lalu membungkuk mengambil buku tadi dan mengembalikan santai di atas tumpukan buku yang dibawa Arin.

Arin mendadak kikuk ditatap pemuda itu. "Em, thanks," ucapnya.

"Lo gak inget siapa gue?"

"Ha?" Arin mengernyit sembari mengingat-ngingat sesuatu. Sebab memang wajah tanpa celah di hadapannya ini seperti tidak asing.

Ingatannya berlari di malam itu. Di saat malam dengan hujan deras disertai gelegar petir dan angin. Arin merasa putus asa, merasa tidak ada satu orang pun yang peduli dengannya, termasuk Ayah dan Bunda. Bukan pertama kalinya Arin berpikir untuk menyelesaikan tatanan hidupnya yang retak. Namun, malam itu Arin memutuskan untuk selesai. Mungkin dengan mati, semuanya akan baik-baik saja.

Ketika dia berdiri di tengah jalan, banyak kendaraan lewat. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang berniat menabrakkan badan mobil pada tubuhnya. Hingga seseorang datang, tanpa payung tanpa memakai jas hujan, hanya memakai hoodie berwarna army. Seseorang itu basah kuyup tidak jauh berbeda dari keadaannya, berdiri menjulang di depannya. Tidak ada tarikan atau teriakan, hanya ada nada datar diiringi kalimat tamparan untuknya.

"Gak ada hidup yang bener-bener sempurna. Banyak orang yang pengen hidup dengan sedikit keberuntungan di luar sana. Kalo lo milih mati dengan cara kayak gini, orangtua, adek, kakak atau siapapun lo, bakal lebih hancur dari keadaan lo sekarang. Jangan mati, karena bagi orang yang lo tinggalin di belakang sana adalah luka yang gak pernah bisa dicari sembuhnya dan rasa bersalah yang gak ada habisnya."

"Lo siapa? Lo orang asing yang gak tau apa-apa tentang hidup gue."

"Gue emang gak tau apapun tentang lo. Tapi gue tahu, lo lemah."

"Udah inget?"

Arin mengalihkan pandangan, tidak ingin menjalin kontak mata dengan pemuda di hadapannya sekarang. "Gue baru nyadar kalo lo sekolah di sini."

Pemuda itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, sedikit menggeser tubuh dan memiringkan kepala agar dapat menatap wajah Arin. Senyum tipis terulas di wajahnya. "Bener? Padahal gue bukan tipe cowok yang suka diem di kelas."

Arin tidak bertanya dan berharap interaksi ini segera berakhir. "Oke. Gue balik."

"Tunggu."

Satu kata yang berhasil membuat Arin bergeming di tempatnya. Kedua matanya terperangkap oleh sorot tegas pemuda itu. Jantung Arin tiba-tiba berdetak lebih cepat.

"Nama gue Aslan. Nama lo ...," Pemuda itu melirik name tag Arin. "Arintan?"

Selain pemuda ini yang sedari tadi bikin jantung Arin tidak berhenti berdetak kencang. Tangan Arin yang mulai kebas pun menjadi persoalan yang harus ditanggapi dengan serius.

"Muka lo udah kayak orang ketauan banyak dosa." Pemuda itu terkekeh. Lalu seakan peka dengan ekspresi Arin. Pemuda itu mengambil tumpukan buku yang semula dibawa Arin, hingga menyisakan lima buku.

"Oke, makasih. Gue strong kok bawa lima buku." Arin tertawa aneh sambil memamerkan lima buka digenggamannya.

Pemuda bernama Aslan itu mengangkat sebelah alis, memandang Arin sejanak dengan tatapan aneh. Kemudian berjalan mendahului Arin, membiarkan gadis itu dengan segala pemikiran di benaknya.

Bibir Arin terkatup, langkahnya pelan mengikuti langkah kaki Aslan di depannya. Sesekali mencuri-curi pandang ke arah wajah pemuda itu. Selama dua tahun di SMA ini, apa Arin terlalu tidak peduli dengan sekitar?

Diam-diam Aslan tersenyum, sekilas melirik kecil ke arah gadis yang berjalan di sebelahnya. Terlihat dari alisnya yang bertaut dan dahi berkerut, sepertinya gadis bernama Arintan itu sedang memikirkan sesuatu atau sedang berusaha mengingat-ingat siapa dirinya?

Gadis yang membuatnya malam itu menjadi sosok yang mendadak bijak. Padahal Aslan sendiri tahu, menerima kenyataan apalagi keadaan yang tidak pernah bisa seperti semula itu bukan hal mudah. Luka yang bertambah dan kesedihan yang semakin tidak ada ujungnya, menjadikan manusia merasa putus asa di titik paling rendah.

Aslan pernah di posisi itu dan gadis yang berjalan di sebelahnya juga di posisi yang sama malam itu.

"Thanks, ya." Arin membawa lagi buku-buku tadi.

Mereka sedang berada di depan pintu kelas Arin yang tertutup rapat. Suara keras guru pengajar terdengar sampai ke luar kelas, membuat Aslan memutuskan untuk tidak masuk ke dalam.

"Iya."

Tentang Aslan menjadi hal yang tidak pernah hilang di ingatan dan hidup Arin. Mulanya, Arin berpikir mungkin kepergian Aslan di depan kelasnya waktu itu adalah pertemuan terakhir mereka. Ternyata tidak, Tuhan masih merencanakan temu-temu untuk mereka. Waktu itu adalah awal, dan perpisahan akan menjadi spekulasi abstrak di antara kisah mereka.

***

Semoga suka ya, gaes. (.◜◡◝)
Beri saran atau beritahu jika ada typo.

Untuk cast sedang mencari yang cocok.

Love 💚
Kamis, 11 Maret 2021

Senandika HanastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang