Happy reading!
Akhirnya setelah sekian bulan, ya.
Kangen?
Engga? Ngga papa. 🗿
***
Arin berjalan sendirian di koridor lantai tiga. Lamunannya jatuh pada pesan yang ditinggalkan Bunda semalam, menghancurkan tidur malamnya yang tenang. Boleh dibilang terlalu pagi untuk berada di sekolah. Arin melewati ruang kelasnya menuju tangga di ujung gedung yang sepi, tangga rooftop.
Bunda berpesan kalau beliau berharap Arin mau menjaga perempuan kemarin itu, yang ternyata putri dari suami Bunda. Arin tidak membalas pesan itu dan detik itu juga Arin mematikan ponselnya, ia benar-benar tidak ingin peduli. Hati Arin tidak terima begitu saja, kenapa Bunda harus menyekolahkan perempuan itu ke sekolahnya?
Ah, bukannya apa.
Cuma saja, motifnya apa dengan menyuruhnya untuk menjaga perempuan itu. Ia sendiri pun tidak tahu, perempuan itu sebaya dengannya atau tidak. Ia sedang tidak berharap mereka bertemu.
Arin mendorong pintu rooftop dan ternyata dikunci. Menyadari hal itu, Arin menendang pintu kayu itu dengan kesal. Lalu duduk di ujung tangga, bersandar pada pintu kayu yang tertutup rapat. "Sial," makinya.
Dikarenakan tempatnya yang berada di ujung gedung. Suara bel sekolah tidak akan terdengar sampai sana. Arin kali ini berniat absen dari pelajaran pertama, urusan hukuman belakangan. Terdiam cukup lama, Arin baru ingat soal Aslan yang ia tinggalkan begitu saja di parkiran. Sebenarnya Arin juga kepikiran tentang perempuan yang bersama Aslan semalam, tapi ia sama sekali tidak berhak ikut campur dalam kehidupan Aslan. Terserah cowok itu ingin melakukan apa, itu di luar kehendak Arin.
"Ck, kabur ke mana, ya," gerutu Arin sambil memejamkan mata. Di sini sedikit pengap, tapi juga tenang.
"Kabur ngapain?"
Arin membuka mata, terkejut. Melotot ketika mendapati Aslan tengah berdiri di belokan tangga, menatapnya dengan datar. Arin berpaling, tidak mengacuhkan Aslan.
Cowok itu menjilat bibir bawahnya, kemudian menaiki tangga mendekati Arin. Gadis itu tidak mau menatapnya. "Ada apa?" Aslan duduk di sebelah Arin.
"Gapapa."
"Jangan kek cewek, deh."
Arin mendengkus. "Terus selama ini gue waria?"
Wajah gadis itu cemberut parah, membuat Aslan tertawa. Tangannya terangkat mengacak rambut Arin dan langsung ditepis oleh gadis itu. "Tadi ada yang nyariin lo."
"Nanya ke lo?" Arin menoleh datar.
"Ke Aga. Katanya lengkap banget nyebutin nama lo. Arintan Pradipta Hanasta."
"Ck, sial."
"Jadi, lo di sini ini lagi sembunyi, heh?” Aslan terkekeh melihat wajah cemberut gadis itu.
"Ya, males gue. Maunya ke rooftop, tapi dikunci pintunya," gerutu Arin.
"Kalau gak ada Aga, mungkin cewek itu gak akan ketemu kelasnya dan bisa masuk tepat waktu." Cowok itu menatap Arin yang terus saja mengalihkan pandangan darinya.
"Lo kasihan? Lo peduli gitu? Silakan. Gue belum minat.”
Mendengar nada sarkas itu, Aslan jadi terdiam. Tangannya terangkat menyentuh kepala gadis itu, dan mengusapnya pelan sesaat sebelum ia menarik tangannya kembali. Ada seulas senyum tipis hangat di wajah Aslan, ketika Arin akhirnya mau menoleh pada cowok itu. “Bukannya lo lagi berusaha nerima semuanya, hm? Apa yang bikin lo keganggu sama kehadiran cewek itu? Bunda lo tetep Bunda lo, cuma keadaannya yang udah enggak sama.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika Hanasta
Dla nastolatkówDON'T COPY MY STORY! // Happy Reading! 💚 "Apa lo bakal tetap di sisi gue?" -Arintan P. Hanasta "Ada diri lo sendiri yang sampai saat ini masih bisa berdiri. Tidak perlu siapa-siapa, cukup diri lo sendiri." - Aslan Atthala Erlangga Start: 11 Maret...