5

34 4 2
                                    

Kita, dekat yang bersekat.
.
.


Aneh.

Itu yang selalu terlintas di pikiran Arin setiap kali ia terbangun di jam-jam pagi waktu libur sekolah. Padahal semalam Arin begadang sampai jam dua pagi dan ia terbangun jam tujuh. Oke, terserah kalau kalau kalian menganggap jam tujuh itu tidak termasuk bangun pagi. Memejamkan mata dan tidur lagi, tidak bisa.

Membingungkannya, kenapa di hari-hari sekolah biasanya. Sulit sekali bangun pagi-pagi?

Ah, sepertinya dirinya sendiri yang aneh.

Jadi, Arin memutuskan merapikan tempat tidurnya, kemudian pergi mandi lalu turun ke lantai bawah untuk makan. Setelah itu, ia kembali lagi ke kamar. Mengerjakan tugas dadakan kemarin lalu.

Setelah menyelesaikan satu lembar soal tugas pengayaan Sosiologi, Arin berencana pergi keluar ke minimarket. Membeli beberapa camilan untuk begadang menonton drama korea malam ini. Masa bodo dengan telat bangun pagi dan kantong mata hitam.

Menutup buku paketnya sedikit membanting, Arin menyudahi sesi mengerjakan tugas untuk besok. Jadi remaja rajin beberapa saat itu juga penting. Sesekali males boleh, selamanya bego jangan. Sembari merenggangkan tubuh sejenak, Arin memandang ponselnya yang sedari tadi ia nonaktifkan.

Setelah menyala dan mengaktifkan data seluler, pesan beruntun dari grup kelas, Ayah, Bunda dan pop up terakhir dari Aslan. Arin membuka chat dari Ayahnya terlebih dahulu, yang menanyakan mau ikut pergi jalan-jalan bersama Tsania atau tidak, balasannya tidak. Bunda hanya menanyakan sudah makan atau belum, balasannya sudah. Sudut bibir Arin tertarik, membentuk senyum tipis. Mereka bertanya seolah semua baik-baik saja dan berjalan semestinya.

Terakhir ….

Aslan
Keliling kompleks sama gue. Biar gak stres beneran

Dikirim satu setengah jam yang lalu.

Anda
Otw rumah lo.

Pukul sepuluh, pagi menjelang siang. Arin berada di depan gerbang rumah Aslan. Memencet bel berulang kali seperti biasa yang ia lakukan. Mengabaikan satpam yang mengamati Arin dari celah gerbang dengan tatapan tidak peduli.

"Assalamualaikum, Aslaaannn. Permisi! Aslaaannn."


Ting tong. Ting tong. Ting tong.


Deritan lirih yang disebabkan gerbang tinggi rumah Aslan itu bergeser. Sebuah mobil berwarna hitam keluar dari sana. Arin pun berhenti memencet bel, terdiam mengawasi mobil hitam itu.

"Non Arin mau masuk? Den Aslan ada di dalem lho," tanya Pak Satpam yang sedang menutup gerbang, menyisakan sedikit ruang.

Arin berdecak, menendang gerbang di depannya. Lalu sedikit meringis merasakan nyeri di ujung jempolnya. Kurang ajar tuh cowok, bukannya nongol. Saking fokus merutuki Aslan, Arin sampai tidak menyadari mobil hitam tadi belum melaju pergi.

Kaca mobil depan terbuka, memperlihatkan pria paruh baya lengkap dengan setelan jas rapi sedang duduk di balik kemudi. Yang Arin ketahui, pria itu adalah Ayah Aslan. Sosok itu melempar senyum hangat pada Arin. Tentu saja, Arin mendadak kikuk di-notice bapaknya Aslan.

"Masuk aja, Nak."

"Papa berangkat aja. Abaikan tumbuhan ini," ujar Aslan tiba-tiba muncul membuka pintu gerbang. Melirik datar Arin yang mendadak jadi perempuan kalem.

Papa Aslan tertawa kecil dan mengangkat satu tangannya lalu menutup kaca mobil. Melajukan mobil meninggalkan mereka.

"Gak sopan lo sama gue," dengkus Arin.

"Gak sadar diri nih, cewek. Tinggal masuk apa susahnya, hah."

"Heh! Gue ini tamu dan tuan rumah harus jemput tamunyalah," sewot Arin.

"Opini ngaco." Cowok itu menarik Arin masuk ke dalam pekarangan rumahnya dan menutup pintu gerbang. Melambaikan tangan sekilas pada Pak Satpam, Aslan meninggalkan area depan dan membawa Arin menuju halaman samping rumah.

"Semangat, Pak!" teriak Arin mengepalkan tangan ke atas.

Pak Satpam hanya bisa geleng-geleng kepala.

Dua remaja beda gender itu duduk di gazebo. Aslan sibuk dengan laptop di pangkuannya, sedangkan Arin bengong mengamati ikan-ikan yang berenang ke sana kemari, kepalanya bertumpu pada lipatan tangan.

"Lan, ini ikan lo yang melihara?"

"Nggak."

"Lah, terus?"

"Tukang kebon."

"Etdah." Arin mencibir dan kembali bengong.

Dikarenakan hari sudah mulai panas, Aslan urung mengajak Arin jalan-jalan keliling kompleks dan berakhirlah mereka di sini. Sebelumnya Aslan berpikir, bahwa gadis itu tidak akan menggubris chatnya sebab lebih dari sejam ia tak mendapat balasan.

Aslan menutup laptop, menatap Arin yang mengantuk, terlihat dari kelopak matanya yang berkali-kali tertutup. Semilir angin lembut menerbangkan pelan rambut panjang gadis itu. Pantas saja, Papanya suka sekali menyelesaikan pekerjaan kantornya di sini. Bekerja sekalian bersantai, tinggal tidurnya.

"Rin, heh," panggil Aslan menendang kecil kaki Arin yang selonjoran.

"Apasih, Lan." Arin berdecak kesal, kenyamanannya terganggu.

"Jangan tidur."

"Bodo amat, enak banget nih anginnya. Silir-silir bikin ngantuk. Mending lo pantengin aja laptop lo," ujar Arin.

Aslan menghela napas, mengecek ponsel. Dahinya mengernyit melihat video berdurasi 30 detik yang dikirim oleh sahabatnya. Aslan menyugar rambut ke belakang, menatap Arin yang kini benar-benar terpejam. Satu tangannya menarik lengan gadis itu agar duduk dengan tegak.

"Lo lagi ada masalah apa, atau lo yang nyari masalah?"

"Masalah apa sih, Lan? Biarin gue merem dengan tenang, napa!?" Arin menepis pegangan Aslan.

Aslan melempar ponsel ber-case hitam itu pada Arin. Dengan malas, Arin meraihnya dan kesadarannya kembali setelah melihat video yang terputar di layar. "Oh. Dia aja yang cari masalah, bilangnya gue nyari masalah. Hell, idup gue aja penuh masalah sok-sokan nyari masalah. Cewek gak jelas," sungutnya setelah video itu berakhir dan melempar balik ponsel itu kepada pemiliknya.

"Lo yang nantang nih?"

"Toh, dia juga nantang gue. Songong banget mukanya. Cantikan juga cantikan gue," seloroh Arin tersenyum miring.

"Iya. Iya."

Aslan menyingkirkan rambut Arin yang tergerai menutupi leher. Kepalanya sedikit menunduk, lalu menghela napas melihat bekas goresan di sana. Tidak dalam, tetapi mungkin bisa menghasilkan bekas luka.

Tubuh Arin mendadak kaku dan gugup mendapati jarak dirinya dan Aslan begitu dekat.

"Gak lo obatin?"

Arin berdehem pelan. "Gak, gak sakit kok. Ntar juga sembuh."

"Iya, tapi ntar ada bekas." Aslan memundurkan tubuh.

"Kok lo perhatian sih, Lan?"

***

Ya, karena aku sayang sama kamu. Ekekekek.

Your Love 💚
Minggu, 21 Maret 2021

Senandika HanastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang