3

38 6 6
                                    

“Ada yang datang untuk menetap dan ada yang datang untuk berpamitan pergi. Hidup tidak hanya soal satu definisi. Banyak perihal-perihal yang tidak kita ketahui.”
.
.

"Pak Satpam bentar, stop!" Arin berteriak dari jarak sekitar lima meter. Mencegah Pak Satpam yang ingin menutup gerbang karena bel telah berbunyi dua menit yang lalu.

"Astaga makasih, Pak," ucap Arin terengah setelah berhasil menginjakkan kaki ke dalam area sekolah.

Ini semua gegara Aslan yang meninggalkan dirinya. Membuatnya harus menunggu angkot selama lima belas menit penuh. Selesai menetralkan napas, Arin mengusap cucuran keringat di dahinya. Merogoh saku tas, mengambil karet rambut dari sana Arin mengucir kuda rambut panjangnya yang sedikit lepek karena keringat.

Arin berjalan cepat di koridor yang sudah sepi dari lalu lalang murid-murid. Sesekali ia menoleh kanan-kiri, depan-belakang, persis maling yang takut ketahuan. Hei, bisa jadi dari arah mana saja tiba-tiba guru BK muncul, dan tanpa perlu basa-basi memukulkan penggaris panjang ke tubuhnya.

Sialnya, bukan guru BK yang berpapasan dengannya kali ini. Tidak ingin memicu keributan, Arin menggeser tubuh seolah mempersilahkan ketiga perempuan yang dikenal sebagai tukang bully adik kelas itu untuk lewat. Namun, sepertinya Arin harus sedikit mengeluarkan tenaga pagi ini, saat dengan lancang tangan perempuan —yang berdiri di depan dua perempuan lainnya— itu bertengger di bahunya.

"Arintan?"

"Cewek yang lagi deket banget sama Aslan, Der," ujar teman perempuan itu.

"Yoi. Gue dah, tau. Kalo gitu, lo pasti tau siapa gue, kan?"

"Sorry, gak kenal. Bisa minggir? Kelas gue dah dimulai," ujar Arin dengan tatapan mengusir yang kentara.

"Gimana kalo kita bolos bareng?" Perempuan bernama Derina itu tersenyum lebar.

Arin bersedekap dada, memutar bola mata, jengkel atas sikap perempuan di hadapannya ini. "Gausah sok kenal. Bolos aja sendiri."

"Lo harus tau sedang berhadapan sama siapa," geram Derina sok berkuasa, mengetatkan cengkeramannya di pundak Arin.

"Gak sadar diri? Ngaca makanya." Arin menepis kasar tangan Derina agar enyah dari pundaknya. Sedikit mendongakkan dagu, balas menantang tatapan perempuan itu.

Tentu saja, Arin berhasil membuat perempuan yang paling ditakuti hampir seluruh murid SMA Nusa Atmaja itu geram bukan main. Kedua alis yang dipoles tipis itu saling bertaut dengan tatapan menusuk ke arah Arin. Gadis dengan kucir kuda itu mendengus. Sangat tidak profesional, baru disulut dikit aja udah kayak banteng.

"Songong, ya, lo?" desis Derina, mata ber-softlens coklat itu berkilat marah.

Arin melirik jam tangannya lalu menggigit bibir bawah gusar, terlambat 15 menit. Kalau tidak mau mendapatkan tugas double, Arin harus cepat masuk dan mengikuti pelajaran. Berusaha tidak lagi menghiraukan keberadaan Derina dan antek-anteknya, Arin melangkah melewati mereka dari sisi lain.

"Ah, shit!" umpat Arin ketika rambutnya ditarik ke belakang.

Sialan. Entah sudah keberapa kali Arin mengumpat dan merutuk pagi ini.

"Lepas, anjir!"

Derina tersenyum licik, jarinya yang lentik mencengkeram leher Arin. Tidak begitu kuat, tetapi cukup mampu membuat Arin sedikit kesulitan bernapas. "Jangan nyari masalah sama gue kalo gak mau wajah cantik lo ini penuh coretan!" desisnya tepat di depan wajah Arin.

Takut? Sama sekali tidak. Kalau saja kedua tangannya tidak dicekal erat, Arin sangat ingin menjambak rambut warna-warni perempuan itu. Lalu menginjak-injak tangan yang lancang menyentuhnya.

Arin mengadu saat perempuan sok berkuasa itu melepas cengkramannya kasar, mengakibatkan kulit lehernya tergores oleh kuku Derina. Kemudian di susul salah satu dari mereka mendorong tubuh Arin hingga tersungkur.

Double shit!

Membiarkan ketukan sepatu mereka semakin menjauh. Arin duduk bersila, tidak peduli sedang berada di koridor sekalipun. Melepas ikatan rambut yang sudah acak-acakan, Arin kini menggerai rambut panjangnya. Ia meraba leher, dan merasakan sesuatu menyerupai goresan panjang di bagian bawah rahang agak ke atas. Benar saja, di telapak tangan gadis itu sedikit menempel darah.

"Sialan, si Denira atau Derani? Alah, bodo amat," gerutu Arin sembari mengubek-ubek tasnya mencari tisu yang mungkin terselip.

Manusia kerap kali berbuat seenaknya, membully, menghina, mencaci, memaki karena merasa dirinya paling tinggi. Congkak yang sebenarnya, gak ada dasar sama sekali. Manusia seperti itu butuh sosialisasi tentang betapa pentingnya bersikap sopan dan toleransi. Kalau bisa dua hari dua malam, sekalian biar mental breakdance karena kenyang nyerap materi sosialisasi. Arin ikhlas.

Selesai merapikan seragam dan rambutnya. Sebenarnya Arin ingin belok ke kantin sekalian bolos kerena hampir satu jam dia tidak ikut KBM pertama. Tapi tidak, ke kantin harus melintasi lapangan sedangkan satu lapangan sedang mengamati dirinya. Pasti mereka melihat bagaimana mak lampir tadi membully-nya.

Arin berdecak prihatin, ketika bentuk simpati dan peduli dari orang-orang di sekitarnya sudah mulai hilang. Mengendikkan bahu, Arin memutuskan untuk kembali ke kelas. Lumayan waktu gabutnya dibuat mengerjakan tugas tambahan daripada dibuat overthinking.

"Dari mana aja lo? Diajak Aslan bolos?" cerca Tyas setelah jam pertama habis.

Ya, Arin mendapatkan tiga lembar tugas dadakan.

Gadis itu menggeleng pelan. "Gue gak bareng Aslan, makanya telat." Sengaja Arin tidak mengatakan alasan kedua.

"Lah, tumben?"

"Tumben apasih? Gue kalo gak bareng Aslan, ya, naik angkot."

"Yaudah, sih gausah nyolot. Kayak gak terima banget ditinggal Aslan," ejek Tyas.

Arin menggigit lidah di dalam, mencegah umpatan yang akan keluar dari mulutnya kali ini. Yang bisa dilakukan Arin hanyalah menghela napas, berusaha sabar. Akhir-akhir ini emosinya gampang tersulut dan kadang-kadang tiba-tiba merasa kesal tanpa alasan.

"Rin, ngambek?" Tyas menoel lengan Arin, berharap ada sedikit respon dari gadis itu.

"Yas, Aslan tuh emang jarang bolos, ya?" tanya Arin.

Tyas mengernyit sebentar, tanda berpikir. Kemudian mengendikkan bahu. "Lah, lo bukannya harus yang paling tau?"

"Gue ini siapa sih, Rin? Deket sama dia aja baru kelas sebelas. Entah kelas sepuluh gue tuh ke mana aja," sungut Arin menenggelamkan wajah di atas tas.

"Gue juga gak merhatiin, njir. Kalo dilihat-lihat Aslan tuh jarang interaksi sama murid lain kecuali sama geng-nya sendiri dan lo, sih," tutur Tyas mengutarakan pengamatannya terhadap Aslan.

Kenyataannya, gue aja gak tahu apa-apa soal dia, Yas, ujar Arin dalam hati.

Tyas tersenyum tipis, menepuk-nepuk punggung Arin. "Hidup itu tentang seseorang yang datang untuk menetap atau pergi. Kita gak tahu akan berakhir di sisi yang mana. Lo berharap sama Aslan boleh, resikonya juga harus lo hadapi."

***


Fast update. 😭👍

Your Love 💚
Selasa, 16 Maret 2021

Senandika HanastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang