“Hati yang hancur bisa mati kapan saja.”
.
.Arin menutup novel yang semula dibacanya. Setiap diksi di dalamnya seakan berbicara pada Arin, sebuah tatanan narasi yang mampu membuat Arin candu. Sudah dua kali Arin membaca novel itu dan tanpa bosan Arin selalu meresapi pesan di dalamnya.
"Permisi, Mbak."
Lamunan Arin spontan buyar dan berdiri cepat dari duduknya, seolah mempersilakan sang penyapa untuk duduk. Namun setelahnya, Arin mendengkus kesal mendapati Aslan sedang mengerjainya.
"Makasih, ya, Mbak." Aslan menahan senyum sambil duduk di tempat Arin tadi.
Arin tak acuh duduk di sebelah Aslan. Membuka novel dan kembali membacanya. Sepenuhnya mengabaikan Aslan. Tentu saja, Aslan tidak akan membiarkan itu. Pemuda itu dengan semena-mena menarik novel Arin lalu menutupnya.
"Kenapa sih, Aslan?" tanya Arin sembari tersenyum paksa atas aksi Aslan.
"Ayo gue anter pulang. Gue kebetulan laper."
Arin berdecak, mengambil paksa novelnya dari Aslan, kemudian menyipitkan mata menatap Aslan. "Kalo laper, ya makan Aslan ganteng. Bukan nganterin gue pulang." Arin mendorong pipi Aslan yang semula memandangnya, berganti menatap warung makan yang berada tidak jauh dari seberang jalan.
"Lo mau traktir?" Aslan mengangkat sebelah alis, melirik Arin.
"Males."
"Rin, peduli sama diri lo sendiri."
Mereka berdua terdiam. Mengamati hilir mudik kendaraan. Membiarkan daun-daun berguguran berterbangan di atas mereka. Mengabaikan lalu lalang orang yang berjalan melewati mereka. Arin mendongak, mengamati matahari yang perlahan tertutup awan tebal.
Aslan mengeluarkan satu batang rokok dari saku seragamnya, menyalakan lalu mengapit rokok itu di antara dua jarinya, dan mengisap benda itu. Tubuh pemuda itu bersandar pada sandaran kursi dengan kaki yang ditekuk dan bertumpu di atas kaki lainnya. Aslan terlihat bad dengan seragamnya yang berantakan.
"Jangan ngerokok terus, Lan. Kasian emak lo capek ngomel kalo mau deket-deket anaknya malah bau rokok," cibir Arin.
Aslan menarik ujung bibir. "Lagi usaha."
"Usaha itu sama aja dengan menahan diri Aslan. Gimana mau berhenti, tiap hari lo juga kayaknya ngerokok," tukas Arin melihat betapa seringnya ia memergoki Aslan merokok di kantin.
"Kentara banget diem-diem merhatiin gue." Aslan tersenyum mengejek, lalu menginjak rokoknya yang sisa setengah.
"Kalo iya, ada masalah?" balas Arin juga dengan senyum menantang.
Tanpa diduga, Aslan memajukan wajahnya cepat. Hampir menyentuh wajah Arin. Membuat Arin terkesiap, refleks memundurkan kepala sambil melotot. Jantung Arin seakan bisa saja meloncat keluar, saking terkejutnya.
"Woy!" delik Arin mendorong bahu Aslan menjauh.
Aslan terkekeh lalu bangkit berdiri. "Ayo pulang. Udah mau ujan."
"Gausah surem tuh muka." Aslan menarik lengan Arin menuju motornya, lalu memakaikan helm.
Seraya mengaitkan helm-nya sendiri, Arin menaiki motor Aslan. Setelahnya, Aslan menancapkan gas pulang.
***
Hujan turun deras sewaktu motor Aslan berhenti tepat di depan gerbang rumah Arin. Terlalu deras dan tiba-tiba hingga seluruh tubuh mereka berdua basah kuyup. Arin menghela napas, menyadari tidak ada satupun bagian seragamnya yang tidak basah.
Aslan melepas seluruh kancing kemejanya, memperlihatkan kaus hitam di baliknya. Membiarkan Arin berlalu masuk ke dalam rumah. Aslan duduk di kursi teras, tidak lupa menaruh tasnya di meja.
Aslan mengacak rambutnya yang basah. Lalu tidak lama Arin datang mengulurinya sebuah handuk kecil. Gadis itu memakai kaos lengan pendek dan celana training. Terlihat manis dengan rambut yang dicepol asal.
"Lama banget."
"Mandi bentar, ngeringin rambut. Masih untung lo gak gue usir," ketus Arin.
"Ngomongnya gausah pake urat, bisa?"
"Gak bisa."
Aslan tidak lagi menyahuti. Fokus mengeringkan rambutnya yang basah. Hujan masih turun meskipun tidak sederas tadi.
"Bunda lo belum balik?"
"Balik ke mana? Rumah ini bukan lagi tempat pulangnya," jawab Arin tersenyum tipis.
Aslan terdiam, memahami maksud dari ucapan gadis di sebelahnya ini. Banyak yang mungkin Aslan tidak ketahui dari kehidupan Arin, tetapi sedikitnya ia tahu. Dari sekian banyak remaja merasa tersakiti oleh pasangannya, Arin salah satu di antara mereka yang patah hati oleh keluarganya sendiri. Aslan menggelengkan kepala pelan, ketika tiba-tiba kenangan masa lalunya terlintas.
"Lo mikir apa lagi?" tanya Arin sambil memukul bahu Aslan, agar cowok itu segera sadar dari lamunannya.
Benar saja, cowok itu terkesiap. Lantas tanpa menanggapi Arin, Aslan melanjutkan kegiatannya menggosok rambut. "Lo makan sana. Gue mau pulang aja." Aslan bangkit berdiri, melempar handuk hingga mengenai wajah Arin.
"Anjir lo, ah," umpat Arin seraya menyingkirkan handuk itu dari wajahnya.
Aslan terkekeh, mencangklong tas. Kemudian menaiki motor, mengangkat satu tangannya berpamitan. Lalu menancap gas keluar dari area perkarangan rumah Arin. Meninggalkan Arin yang diam-diam menepis segala pemaknaan di setiap tingkah laku Aslan.
Arin menghela napas, mengendikkan bahu. Ia masuk ke dalam rumah, menuju ruang makan yang merangkap dengan dapur. Memandangi sejenak satu persatu makanan di meja, Arin pun duduk di kursi. Mengambil lauk pauk dan mulai makan dengan tenang.
Tidak ada Ayah yang dulu selalu meminta Arin bercerita tentang apa yang terjadi di sekolah hari ini, tidak ada diskusi hangat tentang hal-hal aneh, hanya sepi di antara celah-celah dentingan sendok dan piring Arin. Seringkali kenangan itu muncul untuk memperjelas rindu. Susah payahnya adalah ketika harus menerima bahwa rindu itu sebatas tumpukan berdebu. Tidak ada penuntasan, apalagi mengharapkan semua kembali.
Arin membanting sendok di atas piring. Kemudian meminum segelas air putih hingga tandas. Membawa piring bekasnya ke wastafel untuk dicuci, lalu meletakkannya di rak piring.
"Biiiiii, Arin udah selesai! Bibi jangan lupa makan dulu sebelum pulang!" teriak Arin memberitahu.
"Iya, nduk!" sahut Bibi dari halaman samping rumah.
***
Semoga suka, semoga hari ini baik-baik saja.
Your love 💚
Minggu, 14 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika Hanasta
Novela JuvenilDON'T COPY MY STORY! // Happy Reading! 💚 "Apa lo bakal tetap di sisi gue?" -Arintan P. Hanasta "Ada diri lo sendiri yang sampai saat ini masih bisa berdiri. Tidak perlu siapa-siapa, cukup diri lo sendiri." - Aslan Atthala Erlangga Start: 11 Maret...