1

57 7 4
                                    

"Seringkali perasaan kosong menyiksa. Lalu perlahan terbiasa dan semua akan baik-baik saja."
.
.

Hampir saja Arin tersedak minumannya sendiri ketika seseorang menepuk punggungnya dengan keras. Setelah menandaskan yakult-nya cepat, Arin menoleh pada sosok perempuan yang duduk di sebelahnya, yang tidak lain adalah sahabatnya- Tyas. Arin hanya melayangkan delikan kesal, saat Tyas semena-mena mengambil dan meminum yakult miliknya.

"Malem-malem di sini ngapain?"

Arin mendengkus. Angin malam berembus kencang menerpa wajahnya. Salah satu agenda favorit Arin paling cocok adalah duduk di kursi depan minimarket, menikmati bagaimana interaksi orang-orang yang berlalu lalang. Diiringi suara samar deru dan klakson-klakson kendaraan yang saling berlomba di depan.

"Ngapain lagi? Buang bosan," jawab Arin terkesan tak acuh. Lalu mengambil yakult lantas meminumnya tenang.

"Jangan malem-malem lo," pesan Tyas sebelum pergi bersama kekasihnya, meninggalkan Arin duduk sendirian di meja itu.

Seketika, Arin mengeratkan jaket saat angin berembus lebih kencang dengan dingin yang semakin menusuk-nusuk kulitnya. Namun, itu tidak membuat Arin beranjak dari duduknya. Setelah menghabiskan yakult terakhir, barulah Arin beranjak berdiri. Mendekati pedagang kaki lima yang masih setia berada di depan minimarket, setelahnya Arin membeli dua bungkus batagor.

Sembari menenteng kantong plastik berisi batagor, Arin berjalan sendirian memasuki kawasan komplek yang sudah sepi dari lalu lalang orang-orang. Ditemani suara jangkrik di sepanjang jalan, dan hanya ada lampu sedikit remang. Tampak menakutkan untuk dilalui sendirian, tetapi bagi Arin setiap jalan yang ditapakinya, Arin bisa menemukan kehidupan yang damai.

Tidak butuh waktu lama, Arin telah sampai di depan rumah. Membuka gerbang, Arin disuguhkan dengan sunyi. Rumahnya seperti tidak berpenghuni dengan keadaan teras yang lenggang. Arin melirik jam di tangannya, pukul sebelas malam. Sedikitnya Arin berharap, seseorang menungguinya di sana, berdiri cemas mengharapakan kepulangannya.

"Berhenti, Rin. Kubur harapan lo selama ini." Arin bergumam lirih, menarik napas panjang ia kemudian memasuki rumah. Lagi-lagi hanya sepi yang mampu menyelinap ke dalam relung hati Arin.

Kosong.

Terlalu sunyi untuk ukuran sebuah rumah berlantai dua. Hanya ada suara ketukan langkah kaki Arin yang beradu dengan lantai, dan detak jam dinding yang seakan membaur bersama detak jantung Arin. Tidak ada asisten karena sudah pulang sore tadi atau hewan peliharaan. Hanya ada Arin yang kini berjalan menuju dapur.

Duduk di kursi meja makan, Arin menghela napas berat dan merogoh ponsel di saku jaket.

"Aslan."

"Hm."

"Ham hem ham hem. Sariawan lo."

"Sendirian lagi di rumah?" Ketegangan Arin perlahan meluruh, setelah mendengar suara Aslan di seberang sana yang sengaja ia loud speaker.

Arin tidak menyahut, gadis itu terdiam. Kemudian beranjak mengambil mangkok dan garpu. Setelah itu, memakan batagornya seorang diri.

"Rin ...."

"Apa? Gue lagi makan bentar. Jangan dimatiin," sahut Arin cepat.

Seusai menghabiskan batagornya, anggap saja makan malam. Sebab Arin tidak ada semangat memakan nasi. Arin berlalu ke kamar seraya membawa ponselnya yang masih tersambung dengan Aslan. Menapaki tangga dengan perasaan sedikit tidak nyaman. Kemudian memasuki kamar dan mengunci pintunya rapat.

Senandika HanastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang