Bab 2

53 9 7
                                    


Aru dan Huma berjalan melewati jalan setapak. Sejauh mata memandang ke kanan dan kiri jalan, hanya ada pohon-pohon kelapa yang berjejer rapi. Aru selangkah di depan Huma untuk memandu jalan. Beberapa kali gadis itu memerintahkan Aru untuk berjalan lebih cepat agar mereka bisa segera sampai di tujuan. Aru tentu mengiyakan. Ia tak ingin merusak ke-antusias-an gadis itu.

Tak lama kemudian mereka sampai. Bagi Aru yang sejak kecil tinggal di desa Labuan, pantai tentu bukan hal yang asing. Setiap hari dilihatnya. Yang membuat Aru kini begitu bahagia adalah pemandangan disampingnya—Huma tengah berdiri sambil melempar pandangannya ke arah lautan. Gadis itu tak berkata apapun tapi tatapannya jelas menunjukkan rasa takjub luar biasa.

Pantai itu begitu sepi. Hanya ada Huma dan Aru disana. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan lautan, gulungan ombak, dan garis pantai berpasir putih yang seolah tak berujung.

Huma kemudian mulai melangkah mendekati bibir pantai sambil merentangkan tangannya. Ia menikmati hembusan angin yang cukup kencang hingga membuat rambut panjangnya yang terurai berkibar lembut. Huma juga melepaskan sepatunya. Ia membiarkan pasir putih yang lembut itu menenggelamkan kakinya hingga semata kaki.

Aru berada beberapa langkah di belakang Huma. Ia juga melepaskan sepatunya. Begitu Huma menyentuh air, Aru pun bergegas mendekat. Huma tentu tak bisa menutupi rasa bahagianya. Gadis itu tersenyum sambil mengangkat sedikit gaunnya, memandangi ombak kecil itu menerjang kakinya dengan lembut. Membuatnya ingin melangkah lagi, lebih jauh, merasakan ombak yang lebih besar lagi.

Hingga akhirnya Huma tak lagi mempedulikan gaunnya. Bagian bawah sudah basah kuyup dan gadis itu masih ingin melangkah lebih jauh lagi. Merasakan ombak yang lebih besar lagi. Menyenangkan rasanya. Huma bahkan tak merasa takut sedikit pun walau beberapa kali ia hampir kehilangan keseimbangannya akibat diterjang ombak.

Air laut kini sudah sepinggang Huma. Tiba-tiba ombak yang cukup besar menerjangnya. Ia cukup terkejut karena ternyata terjangan itu lebih kuat dari yang dibayangkannya. Ia pun kehilangan keseimbangan. Beruntung ada yang menggenggam lengannya hingga Huma tak sampai terbawa arus. Genggaman itu cukup kuat dan membuat Huma terkejut. Ia menoleh ke belakang dan baru menyadari kalau Aru berada tepat dibelakangnya, mungkin sedari tadi. Ia menatap gadis itu dengan begitu khawatir.

"Hati-hati, Putri. Jangan terlalu jauh. Air sudah mulai pasang. Mari mundur," ujarnya.

Huma menurut dan segera mundur hingga cukup aman. Tangan Aru masih memegang erat lengan Huma hingga gadis itu bisa kembali berdiri tegak dan kembali seimbang. Merasa telah lancang, Aru pun buru-buru melepas genggamannya dan melipat tangannya ke belakang punggung sambil menunduk. Sementara Huma masih tak bisa berkata-kata. Di satu sisi ia merasa marah karena disentuh orang asing. Terlebih hal itu mengingatkannya saat ia hendak dilecehkan oleh Sanja. Tapi apa yang dilakukan Aru adalah untuk menyelamatkannya.

"Ma...maaf."

Huma masih belum mau menjawab. Pemuda itu pernah menggendongnya. Berarti ini bukan kali pertama dia menyentuh Huma. Aru mungkin terlihat canggung dan merasa bersalah, tapi Huma tak ingin begitu saja bersikap polos.

"Kau tahu ombak semakin besar, kenapa tidak memberitahuku lebih cepat? Kenapa tidak menghentikanku dan malah membiarkanku berjalan semakin jauh? Apa kau menunggu saat-saat aku terjatuh hingga kau bisa memiliki alasan untuk menyentuhku? Licik sekali," gertak Huma.

Aru terkejut dan kebingungan setengah mati. Ia paham bahwa menyentuh Huma adalah hal yang tak sopan. Jika saja hal ini terjadi di istana, ia pasti sudah mendapat hukuman cambuk ratusan kali. Tapi ia tak sedikit pun berniat seperti apa yang dikatakan Huma, sungguh. Aru pun kini tak tahu harus berkata apa. Ia mendadak tak tahu caranya mengelak. Dalam keadaan marah, Huma pasti tak akan peduli Aru berkata apa.

CHRONICLES OF NATHA : THE LAST RANEEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang