Bab 7 =D

28 3 0
                                    


"Jangan sampai jatuh. Jangan sampai kakinya terkilir. Jangan sampai ada satupun serangga menggigitnya. Jangan sampai ada duri yang melukainya. Pokoknya tidak boleh ada luka sedikitpun ketika pulang. Kau harus menjaganya baik-baik," oceh Shila pada Aru yang sedang menyiapkan sebuah keranjang besar untuk mewadahi bunga-bunga yang akan dipetik nanti.

"Bisa ular kemarin itu ternyata membuatmu sangat cerewet ya," ujar Aru sambil tertawa kecil.

Shila sedikit syok karena ternyata Aru bisa bercanda juga. Ya, untuk seorang Aru mungkin itu cukup untuk disebut candaan. Ia mendelik kesal. "Putri Huma sudah mulai baik padamu, pertahankan itu. Jangan membuatnya marah lagi," ujar Shila setengah berbisik agar tak terdengar oleh Huma yang masih bersiap-siap di dalam rumah. "Dan tolong naikkan sedikit standar humormu."

Aru hanya mengangguk dan tak lama kemudian Huma datang. Gadis itu nampak dalam suasana hati yang bagus. Dia sedikit menata rambutnya dan itu membuatnya terlihat sangat manis. Dengan pakaian yang sangat sederhana pun Huma tak pernah kehilangan pesonanya. Terlebih lagi ketika dia mendekat, Aru bisa mencium parfum yang kemarin ia buat. Huma memakainya.

"Pagi yang sangat indah bukan?" tanya Shila pada Aru sambil tersenyum dan mengangkat dua alisnya.

Aru tersipu malu, ia sangat bahagia dan Shila bisa dengan sangat jelas melihat itu. Beberapakali menghabiskan waktu dengan Alan membuat Shila sudah tahu tentang apa yang terjadi diantara Aru dan Huma. Dia senang dan tentunya sangat mendukung hubungan baik antara keduanya. Dia bahkan sudah mengikrarkan diri sebagai menggemar nomor satu mereka berdua.

"Ayo berangkat," ucap Huma.

"Ya, segeralah kalian berangkat. Semakin siang hari akan semakin terik," sahut Shila yang nampaknya malah menjadi yang paling semangat diantara mereka.

Gadis itu bahkan melambai-lambaikan tangannya dengan riang begitu Huma dan Aru beranjak pergi. Benar-benar penggemar nomor satu.

Tak banyak yang Huma dan Aru bicarakan. Jika biasanya Aru berjalan cepat dengan langkah yang besar, kini ia memperlambat langkahnya agar menyesuaikan dengan langkah Huma. Tentu agar bisa selalu berjalan berdampingan dengan Huma. Sampai pada akhirnya mereka harus melewati jalan setapak, Aru berjalan di depan dan Huma yang belum terlalu hafal jalan mengikutinya di belakang. Sepanjang itu pula, sudah tak terhitung berapa kali Aru berbalik ke belakang hanya untuk memeriksa Huma. Sekhawatir itu.

"Aku bisa bertarung. Aku juga pernah berkuda tanpa henti dari Buita ke perbatasan Samarya. Aku tangguh bukan? Tak perlu menengok padaku setiap 3 langkah berjalan," ujar Huma.

Aru terkekeh. "Kamu sangat luar biasa."

"Ya, aku luar biasa. Raja Nelwan saja harus pintar membuat skenario dan bersandirawa di balairung demi menyingkirkanku agar ambisinya terpenuhi," Huma tertawa miris.

"Katamu jangan mencoba mengungkit-ungkit masalah kerajaan. Sekarang kamu sendiri yang mulai membicarakannya."

"Mungkin kemarin aku terlalu ambil pusing dengan masalah kerajaaan."

"Sekarang?"

"Aku pikir, hidup keluar dari masalah kerajaan tidak buruk. Malah jauh lebih baik."

"Kamu tidak ingin kembali ke istana? Tidak rindu kakak-kakakmu?"

Huma bergeming cukup lama tapi masih terlihat baik-baik saja. "Kak Jundan sudah tau aku disini. Dia pasti mengunjungiku suatu saat jika sudah pulih. Aku bersyukur bisa tetap terhubung dengannya."

"Hanya Pangeran Jundan saja?"

Huma tiba-tiba terdiam. Raut sedih nampak jelas di wajahnya dan itu membuat Aru panik seketika. Seperti biasa, Aru takut salah bicara lalu Huma marah.

"Aku hanya akan peduli pada orang-orang yang benar-benar memperdulikanku. Aku belajar pintar mulai sekarang," ujar Huma sambil tersenyum.

Aru sangat lega mendengarnya. Dan entah mengapa, Aru juga sangat senang Huma bisa bercerita lebih terbuka dan lebih tenang tentang hal ini sekarang.

Tak lama kemudian mereka tiba di ladang bunga. Gadis itu nampak sangat bahagia dan langsung meminta sebuah keranjang kecil yang di bawa Aru. Dia berjalan kesana kemari dengan antusias. Menghampiri bunga-bunga, menciumnya, lalu memetiknya. Gadis itu bak lebah kecil yang bermain-main di labirin perdu penuh bunga. Ketika bunga-bunga yang dipetiknya sudah memenuhi keranjang, dia akan menghampiri Aru lalu memindahkan bunga-bunga itu pada keranjang yang lebih besar yang dibawa Aru.

"Kita istirahat dulu sebentar sebelum pulang," ujar Aru begitu Huma selesai menumpahkan keranjang terakhir bunga-bunganya lalu duduk di sampingnya. "Keranjang besar ini sudah penuh. Kau ingin membuat parfum untuk berapa abad, Putri?"

Huma tertawa. "Kalau hasilnya banyak, kita bagikan saja sebagian pada orang-orang."

"Orang-orang siapa?"

"Siapa saja boleh. Gadis-gadis kenalanmu disini misalnya."

"Aku tidak kenal banyak gadis."

"Pembohong."

"Sungguh."

"Melihatmu seperti ini, tidak mungkin tidak kenal banyak."

"Seperti apa?"

"Cukup tampan."

Hening. Huma baru menyadari ucapannya setelah beberapa saat. "Maksudku. Kau cukup menarik. Kau juga seorang prajurit kerajaan yang sering bertugas di Buita. Tidak banyak pemuda di desa ini yang bisa seperti itu kan?"

"Oh, ya," Aru mengangguk paham. Huma hanya memujinya dengan realistis. "Tapi seorang Raneem selalu menepati janjinya."

"Kau pernah berjanji apa?"

"Untuk setia pada satu orang."

"Siapa?"

"Yang orang-orang bilang Raneem terakhir."

Huma tertegun. Dia diam beberapa saat dan membalikkan badannya. Aru tadinya sedikit lega karena akhirnya punya kesempatan untuk mengutarakan janjinya pada Huma. Tapi kini ia berkeringat dingin. Dia dianggap telah lancang lagi? Tidak tahu batasan? Huma marah? Aru khawatir dan rasanya ingin kabur saja dari sana, tapi ia sebisa mungkin untuk tetap mengendalikan diri. Menanti reaksi Huma selanjutnya.

"Tapi aku bukan lagi Raneem terakhir," Huma berdiri memunggungi Aru dan melemparkan pandangannya pada ladang bunga. "Raneem harus tetap ada. Mau mengubah janjimu? Kita buat janji yang baru."

"Putri...."

Tidak secepat ini. Aru bahkan masih merasa sangat segan. Aru belum cukup layak untuk ini. Dia yakin akan hati dan tekadnya tapi.... Dia ragu dia cukup pantas untuk ini.

"Berjanjilah bahwa kita tidak menjadi Raneem terakhir."

[]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CHRONICLES OF NATHA : THE LAST RANEEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang