Udara pagi itu terasa lebih segar dari biasanya. Langit belum terlalu terang tapi Huma sudah bisa mendengar suara orang sibuk melakukan sesuatu di depan rumah. Tentu saja itu Aru. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, Huma mengintip sedikit untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan pemuda itu.
Huma tak menemukan siapapun di halaman depan rumah. Suara sibuk itu kemudian terdengar dari arah teras samping. Ada suara seperti sedang menumbuk sesuatu yang menuntun Huma untuk berjalan kesana. Dan benar saja, Aru sedang menumbuk sesuatu dengan alat tumbuk sederhana yang terbuat dari batu.
Aru terlihat terkejut begitu tahu bahwa Huma sedang berdiri beberapa meter dari sana. Ia kemudian berhenti menumbuk dan melap tangannya dengan kain.
"Apa suara berisik ini menganggu tidur anda?"
Sekalipun Huma sudah mulai dapat menerima dirinya, Aru tetap masih merasa khawatir jika apa yang dilakukannya tidak disukai oleh Huma. Terlebih, respon Huma saat ini benar-benar tidak bisa ditebak. Gadis itu hanya sedikit menggelengkan kepala dan tak berkata apapun.
Setelah makan malam kemarin, Huma tak banyak berbicara. Aru pun begitu. Dia terlalu terkejut dengan ucapan Huma dan Huma juga terlalu terkejut dengan kata-kata yang entah bagaimana terlontar begitu saja. Ada raut bahagia di wajah Aru namun suasana menjadi berbeda sejak saat itu. Keduanya menjadi sangat canggung.
"Saya sedang melanjutkan membuat parfum. Sayang jika kelopak-kelopak yang kemarin dipetik kering dan terbuang begitu saja. Jika anda tidak ingin memakainya, saya akan memberikan ini pada orang lain."
"Aku..... aku ingin mencobanya," ucap Huma. "Ini lebih baik daripada tidak ada wewangian sama sekali."
Untuk beberapa saat Aru bahkan terdiam hanya untuk memastikan apa yang ia dengar adalah benar perkataan Huma. Ia hanya bisa berkedip tanpa bisa bicara apa-apa. Bahkan badan pemuda itu mematung ketika Huma berjalan mendekat.
"Untuk apa menumbuk kelopak bunga? Bukankah kelopak-kelopak itu bisa langsung disuling tanpa harus ditumbuk?" tanya Huma setelah mengamati segala hal yang ada di depan Aru sekarang.
Selain pandai merancang taman bunga, Huma juga senang memperhatikan proses pembuatan parfum di istana yang menggunakan bunga-bunga dari taman-taman itu sebagai bahannnya.
"Mmm... itu untuk... untuk..." Aru tiba-tiba menjadi gugup, entah mengapa.
"Membuat pewarna bibir?" tebak Huma.
"Saya tidak akan memaksa anda untuk menggunakannya jika anda tidak menginginkannya."
"Aku pernah sekali mencoba membuat pewarna bibir dari mawar merah. Warnanya cantik tapi rasanya pahit."
"Aku menambahkan air perasan jeruk nipis, jadi tidak akan pahit."
"Aku ingin mencoba apapun yang kau buat hari ini."
Aru tidak bisa menahan senyum lebarnya. Satu kalimat itu entah mengapa membuat dadanya terasa ringan karena bahagia. Terlebih ketika Huma balas tersenyum padanya. Aru melanjutkan kembali menumbuk bunga dengan lebih semangat.
Aru menggunakan sebagian besar kelopak bunga untuk disuling karena membuat parfum membutuhkan lebih banyak kelopak. Sedangkan untuk pewarna bibir, Aru menggunakan setengah keranjang saja.
Setelah selesai menumbuk bunga dan mencampurnya dengan air perasan jeruk nipis, Aru kemudian memerasnya untuk memisahkan antara ekstrak bunga dengan ampasnya. Setengah gelas ekstrak bunga bercampur jeruk nipis itupun dimasak menggunakan tungku kecil.
Sembari menunggu ektrak bunga mendidih, Aru memotong-motong kertas khusus untuk pewrna bibir hingga menjadi beberapa lembar sebesar daun bunga mawar.
Kertas-kertas itu kemudian dicelupkan pada air bunga yg sudah mendidih. Membiarkan semua ekstrak bunga itu menyerap sempurna pada kertas. Terakhir, kertas-kertas yang kini sudah berwarna merah mencolok itu dijemur hingga kering.
Selagi menjemur kertas-kertas merah, Aru menaruh kelopak satu setengah keranjang bunga mawar pada alat penyulingan sederhana yang dia buat sendiri. Dari hasil penyulingan itu, didapat satu botol kecil minyak esensial dari bunga mawar yang harum.
Sedari tadi Huma tak pernah jauh dari Aru, menanti minyak wangi yang disulingnya bisa segera ia cium. Dan kini penantiannya selesai. Dengan raut sumringah yang nampak jelas di wajah mungilnya, Huma menyodorkan tangannya dan membiarkan Aruu mengoleskan sedikit minyak esensial mawar itu di pergelangan tangannya.
"Harum sekali," ujar Huma setelah mengendus parfum mawar di pergelangan tangannya.
"Anda menyukainya?"
Huma tersenyum dan mengangguk. Aru bukan main senangnya.
"Tapi wangi mawar ini terlalu umum. Aku ingin parfum dengan wangi yang beum pernah kurasakan sebelumnya. Aku ingin meraciknya sendiri. Bisakan kita menggunakan lebih banyak macam bunga?"
Tentu. Aru tidak mungkin berkata tidak untuk hal yang satu ini. Jika Huma menyukainya, Aru tentu bersedia membuat banyak parfum untuk Huma. Pemuda itu dengan antusias mengangguk untuk mengiyakan keinginan Huma.
"Saya akan ke ladang bunga besok pagi untuk memetik berbagai macam bunga yang bisa kita racik."
"Bukankah besok pagi pamanmu akan datang dan memeriksa Shila? Jika dia punya waktu, dia bisa disini menjaga Shila lebih lama sementara aku ikut denganmu ke ladang bunga. Aku ingin memilih sendiri bunga-bunga yang akan kugunakan," ujar Huma sambil tak henti-hentinya mengendus pergelangan tangannya.
"Apapun yang anda inginkan, Putri."
Sejak ia membawanya kesini, Aru sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu membahagiakan Huma. Ia akhirnya berhasil menemukan hal yang membuat Huma senang. Aru berharap ia akan lebih banyak menemukan hal-hal lain yang bisa membuat Huma bahagia. Demi bisa membuat gadis itu lupa akan penderitannya. Demi melebur kesedihan dan kebencian yang tak seharusnya ada dalam benak gadis itu. Aru akan melakukan apapun untuk kebaikan Huma.
Tak lama kemudian, seorang pria datang dengan sepucuk surat ditangannya. Huma sama sekali tak mengenalnya, namun Aru sepertinya tahu siapa dia. Tak ada yang mereka bicarakan namun Aru langsung menerima surat yang disodorkan pria itu tanpa rasa khawatir. Apakah pria itu seorang prajurit juga? Huma tentu bertanya-tanya karena ia baru saja menaruh rasa percaya pada Aru. Gadis itu sungguh tak ingin ada hal buruk yang Aru tutupi darinya.
Pria asing itu tak lama ada disana, ia langsung pergi setelah memberikan suratnya pada Aru. Sepucuk surat itu hanya Aru lihat sekilas dan tak lama kemudian dia berjalan menghampiri Huma. Surat itu tiba-tiba disodorkan padanya dan tentu itu membuat Huma sedikit heran.
"Ini untuk anda, surat dari Pangeran Jundan. Rahasia. Taka da orang istana tahu tentang ini selain Pangeran Jundan sendiri," ujar Aru.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
CHRONICLES OF NATHA : THE LAST RANEEM
Fantasy[SPIN OFF CHRONICLES OF NATHA : NATHA DAN PUTRI YANG SEMBUNYI (SUDAH TERBIT)] Tentang Huma selama tinggal di Desa Labuan.