Dan diakui atau tidak, segala harapan dan keinginan kita telah tertawan oleh takdir yang sesungguhnya tak pernah dapat dilawan.
.
.⭐ Selamat membaca ⭐
.
.Kedua mataku tertuju pada gapura pesantren. "Selamat Datang di Nadwatul Ummah, Yogyakarta."
Setelah setahun berlalu menjadi alumnus, kedua kakiku akhirnya kembali melangkah menuju rumah yang pernah mengenalkanku lebih dekat dengan manusia paling berpengaruh nomor satu menurutku, menurut umat muslim, dan menurut astrofisikawan, Michael H. Hart. Rasulullah, Ra. Kamu sudah tahu pastinya.
Dan lebih dari itu, di sini juga aku mulai berkenalan dengan Abu Al-Qasim An-Naisaburi. Kau tentu masih ingat, Ra, bahwa selain menjadi ketua Organisasi An-Nadwah Hijau, aku pun menjadi bagian dari Organisasi "Santri Kembali" di sana, kami mengaji kitab-kitab yang tidak tertera pada kurikulum. Pada Ustaz Ilham, kami pernah khusyuk mendengar kelakar beliau tentang tulisan Abu Al-Qasim An-Naisaburi pada Kitab Uqula Al-Majanin. Saat itu sampai larut malam kami dikenalkan dengan Layla Majnun, Sabiq, Abu Alqamah al-Ma'tuh hingga Rihanah.
Dan sekarang langkahku kembali ke sini untuk menemuinya. Menemui seseorang yang selalu berhasil membuatku tak pernah benar-benar pulang.
"Cak Lana!" Seseorang memekik. Aku melihat ke arah pos. Santri putra 16 tahunan baru saja keluar, disusul temannya. Mereka lantas tersenyum, melangkah ke arahku.
"Cak, njenengan ngekost?" Salah satu dari mereka bertanya.
"Iya, tapi kemarin aku dapat amanat dari Abah Kiai Usman," jawabku.
"Masha Allah. Terus sekarang mau ke ndalem? Tapi, Cak, Kiai dari kemarin pergi karena ada panggilan ceramah di Magelang."
"Iya. Saya nggak disuruh buat temui beliau tapi saya ke sini mau menemui Hara. Jannahara Aisy." Sejujurnya aku agak sungkan saat harus memanggil santri putri, tapi setidaknya aku harus berpamitan walau sebentar.
"Oalah, Mbak Ais. Sek yo aku panggilkan."
Ketika langkah santri itu mulai pergi, aku memutuskan untuk duduk di teras kantor menunggu Aisy. Teman-teman lain memanggilnya Aisy, tapi aku selalu menyebutnya dengan kata Hara, Ra.
Selang beberapa menit, perempuan bersarung merah bunga-bunga melangkah, mendekat. Senyumnya masih sama seperti dulu. Hanya saja aku melihat bahwa Hara semakin cantik. Dan selalu seperti itu.
"Aku akan meninggalkan Jogja untuk beberapa hari ke depan," ucapku tanpa basa-basi.
"Em, Cak Lana dapat amanat?" Hara bertanya setelah duduk dengan jarak yang cukup berjauhan. Kami memang tak boleh berdekatan. Ada sebab musabab mengapa sekat tercipta.
"Iya."
Hara tersenyum. "Kuliah Cak Lana lagi libur?"
"Iya. Tiga bulan. Setelah itu aku akan kembali pulang."
"Aku nggak tahu ke mana Cak Lana bakal pergi. Tapi aku yakin Allah selalu melindungi Cak Lana. Aku nggak ingin tahu ke mana langkah membawa Cak Lana menjauh, aku cuma ingin menyampaikan jaga diri Cak Lana baik-baik." Hara berkata lembut.
"Aku mendengarnya," jawabku.
"Cak, doakan aku di sini, ya."
Aku mengangguk, lalu berdiri. "Aku pergi. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Perihal percakapan pamit tiga hari lalu, masih teringat jelas. Dan hari ini, aku benar-benar akan meninggalkanmu. Aku akan menjalankan amanat dari Kiai Usman, Ra.
![](https://img.wattpad.com/cover/261850472-288-k885130.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[8] Majelis Rindu
ChickLit#Zoroastrianisme "Aku ingin bertemu denganmu dan mereka, tapi kata guruku perbanyaklah salawat. Apakah kalian ada di antara huruf-huruf allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad? Aku tak paham. Tapi ... aku tetap melakukannya." Tulisan pada sebuah ba...