03 🌻 Jogja - Semarang - Kudus

575 78 36
                                    

Dan ketika kau melakukan perjalanan seorang diri, kau akan mengenal dengan baik tentang dirimu sendiri.

.
.
Cerita ini hanya fiktif belaka. Selamat membaca
🌻🌻
.
.


Diantar Ammi, aku duduk di kursi sembari menunggu sepuluh menit lagi untuk pergi ke ruang tunggu. Hari ini aku mengenakan celana hitam dilengkapi kemeja putih panjang. Pada bagian lengannya kulipat sampai siku agar bagian bawah tangan tidak kotor.

Sekitar 25 menit lagi kereta akan tiba. Aku bangkit dan berdiri di depan Ammi. "Aku masuk ke ruang tunggu sekarang, ya." Kubenarkan letak ransel hitam yang digendong.

Ammi berdiri. Dia mengusap kepalaku. "Hati-hati, ya. Lana, kalau kamu agak lama di sana, Ammi bisa kirim paket pakaianmu. Jangan sungkan."

"Iya nanti aku bilang kalau ada apa-apa." Aku meraih tangan Ammi, mencium pucuk tangannya lalu berlalu ke dalam untuk check-in. Hanya perlu melihatkan KTP dan tiket, lalu segera diizinkan masuk dan duduk di tempat tunggu kemudian. Ternyata kereta baru berangkat hari ini pukul 07.10, kemarin aku salah bilang pada Ammi bahwa kereta berangkat pukul dua. Tolong maafkan aku, akhir-akhir ini pikiranku sedang tidak baik-baik saja sepertinya.

Tak henti-hentinya aku bersalawat. Baba mengajarkanku untuk selalu bersalawat pada Nabi agar mendapat syafaatnya, mendapatkan cintanya.

Selang beberapa menit, kereta tiba. Aku segara menyeret langkah pada gerbong kelima. Mencari nomor kursi yang disesuaikan dengan tiket, kemudian duduk di sana, di dekat jendela. Di sebelahku seorang wanita paruh baya tampak sibuk dengan ponselnya, sementara di depanku dua orang pemuda yang sepertinya anak pendaki.

Daripada jenis kereta lainnya, aku lebih suka menaiki kereta ekonomi. Berhadapan berempat. Pasalnya aku suka saat menemui orang-orang baru dan berbincang dengan mereka seperti ada kesan tersendiri. Namun karena mereka tengah tertidur, akhirnya kuputuskan untuk menatap jendela. Memperhatikan kereta yang mulai meninggalkan Jogja.

Sejujurnya aku tak tahu mengapa Kiai Usman memintaku menemui Kiai Harun di Kudus. Katanya pesantren beliau tak terlalu jauh dari menara. Namanya pesantren Ibnu Khaldun.

Selepas ip semester gasal muncul, aku mendapat surat dari ammi. Amplop cokelat itu kubuka, dan aku melihat tulisan Kiai Usman yang sangat kukenali. Dalam tulisannya, beliau hanya memintaku untuk segera berangkat ke Kudus menemui Kiai Harun. Itu saja. Sebagai seorang santri, aku tak perlu bertanya kenapa dan mengapa. Apa pun dawuh dan perintahnya, selama tidak melanggar syariat Islam, kutaati segalanya.

Kereta mulai berjalan cepat. Dua pemuda di depanku masih tertidur, padahal para pendaki paling enak diajak untuk berbincang, tetapi membangunkan mereka hanya membuatku menjadi pemuda yang sok akrab.

Aku membuka ransel, mengambil kotak makan dari amah. Di dalam kotak tersebut terdapat sedikit nasi dengan lauk ikan balado dan telur sedangkan di kotak bagian bawah ada potongan jeli mangga. Aku mulai menyendok sedikit dan mulai memakannya. Masakan Amah memang tak pernah mengecewakan.

⭐⭐

Sekitar pukul 14.35, aku sampai di stasiun Tawang, Semarang. Langkahku segera keluar untuk mencari bus, tetapi pandanganku berfokus pada laki-laki bersarung serta berkaus hitam bergambar Gus Dur, berjalan menuju pintu keluar.

"Hei!" Aku memanggilnya.

Dia menoleh, menatapku.

"Kamu mau ke mana?" Aku bertanya.

"Balik pondok, Mas," sahutnya.

"Pesantrenmu di mana?"

"Kudus."

[8] Majelis RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang