Jasmine tak henti-hentinya menatap Gerald sejak perseteruan dengan Ten tadi. Namun, seperti tidak berdosa dia malah santai makan di ruangannya.
Jasmine mendengus. Meskipun kemarin mereka hampir—melewati batas—tetap saja pengakuan sepihak Gerald itu menimbulkan sedikit kecanggungan. Namun, tampaknya dia biasa saja. Maka dari itu, Jasmine akan bersikap sama.
"Kau kenapa seperti itu tadi?"
"Seperti itu bagaimana?" tanya Gerald masih fokus mengunyah.
Jasmine melipat kedua tangan di dada. "Kau ingin aku berhenti jadi model? Terus aku hidup bagaimana?!"
"Ya sudah, menikah saja denganku."
Mulut Jasmine sukses menganga dibuatnya. Mendengar kalimat yang seperti sangat tidak berdosa untuk keluar dari bibirnya. Lebih parah lagi, dia masih saja terus makan tanpa memedulikan Jasmine yang sudah ingin meledak. "Kau gila?!"
Gerald hanya menanggapi dengan mengangkat bahunya acuh. Sungguh, Jasmine tidak mengerti jalan pikiran pria di depannya ini. Sikapnya yang terus berubah-ubah membuat dirinya bingung.
Jasmine menghela napas panjang. Dia pun memilih untuk keluar saja dari ruangan daripada berlama-lama bersamanya. Malah membuat kepalanya semakin panas dan berat.
Sekarang, suasana lokasi sudah sepi. Syuting batal dan diundur sampai waktu yang belum ditentukan. Jasmine menatap sekeliling, benar-benar kosong seperti rumah yang belum ada penghuninya.
Jasmine tersenyum getir, dia seperti melihat cerminan dalam dirinya. Di mana hanya ada kekosongan dan tidak berwarna. Meskipun dia mendapat apa yang mungkin semua orang inginkan, sebetulnya dia tidak pernah betul-betul menikmatinya.
Kekayaan, popularitas, dan sebagainya justru menjadi bumerang saat ini. Terkadang Jasmine bertanya-tanya, apa benar ini yang aku inginkan? Aku hanya menjalaninya atau memang benar menikmatinya?
Di tengah pikiran sendunya, ponselnya tiba-tiba berdering. Menampakkan nomor seseorang yang sudah lama tidak dia kunjungi. Seketika bibirnya tersenyum lebar. Meskipun agak terkejut mengetahui fakta barusan, dia tetap senang. "Papa sudah pulang?"
Seseorang di seberang telepon menyuruhnya untuk segera datang. Dan dengan senang hati pula Jasmine menurutinya. Dia memasukkan ponsel ke dalam tas dan mulai beranjak. Namun, sebuah tangan menggenggam dan menariknya penuh kelembutan. "Aku antar."
Entah bagaimana caranya mendeskripsikan perasaannya saat ini. Di satu sisi Jasmine senang Gerald mulai berubah, tidak dingin seperti dahulu padanya. Akan tetapi, kehidupannya yang penuh teka-teki membuatnya bingung.
Sesampainya di rumah kebesaran keluarga Wellington. Damian Wellington diam-diam mengangkat Jasmine menjadi anaknya sewaktu dia belum jadi apa-apa. Setelah itu, Damian merekomendasikan dirinya di agensi tersebut. Namun, dia tidak pernah tahu bahwa Gerald, pria yang saat ini berjalan beriringan dengannya adalah anak kandung dari papa angkatnya.
"Jasmine!" panggil Damian dengan senyum yang merekah. Dia baru saja pulang dari Dubai. Liburan bersama istri tercinta selama tiga minggu lebih.
Jasmine berlari memeluk Damian. Melampiaskan rasa rindu sampai tak sadar dia menangis. Sejak dulu, Damian adalah sandaran ternyaman di kala beban di bahunya semakin berat.
Alasan tak ingin memublikasikannya kepada publik adalah Damian tidak ingin Jasmine nantinya diisukan hal yang tidak-tidak. Ditambah lokasi rumah Damian ini sangat tertutup jadi tidak sembarang orang bisa masuk. Bahkan, paparazi tidak bisa menembusnya.
Di sebelah mereka, terdapat Felly yang tengah berkacak pinggang. "Oh, begitu? Jadi hanya papamu yang kau peluk?"
Jasmine terkekeh, dia melepas pelukan kemudian beralih memeluknya. "Aku rindu mama juga kok!"
KAMU SEDANG MEMBACA
SCANDALOUS MODEL!
RomanceWhen she have a crush on her Manager. [SHORT STORY] Romance#5