Betah???

2 0 0
                                    

Seburuk dan sepedih apapun keputusan yang Kau ambil sekarang, jika itu ada di jalan Allaah, Yakin dan Percayalah bahwa itu yang terbaik untukmu.

__________________

Klung...

Aku segera meraih ponselku yang bersuara. Entah ada chatt, atau mungkin dia kelaparan minta diisi kuota. Tapi kayaknya nggak deh, baru kemarin aku dapet bonus 500 mb setelah aku isi pulsa 5k. Operator terbaik emang.

"Ra..."

"Jadi kan?"

"Besok brangkat ya!"

"Ba'da zhuhur insyaaAllaah."

Seketika aku menelan ludah membaca pesan itu. Kak Wahyu tiba-tiba mengirim ku pesan whats app sperti itu.

"Berangkat kemana A?" Balasku.

"Ke pondok. Kata kamu kan kamu mau mondok."

Sejak kapan Aku bilang bahwa Aku ingin mondok? Perasaan dia deh yang nyuruh.

"Mondok dimana A?"

"Gak jauh sih. Masih daerah kita. Tapi Aku yaqin kamu pasti betah."

Mondok??? Betah??? Nginep di rumah Mbah -nenek- semalem saja geh gak betah Apalagi di Pondok? Bukan semalem pula.

"Enak kok, tempatnya bersih. Nyaman deh pokoknya!"

Dalam benakku langsung terbayang lingkungan pesantren yang kumuh, kotor, kamar mandinya bau, iwwww... Aku gak mau mondok. Pengen kuliah. 
"Ra...."

"Raaaaaaaaa...."

"Rara..."

A Wahyu terus mengirimku pesan karena sedari tadi Aku tidak membalas pesannya. Aku sedang berfikir. Memikirkan bagaimana hidupku di Pesantren? Akankah Aku bisa tidur nyenyak? Akankah Aku menemukan teman seperti Lia, Yuni, Diah, dan Piah sahabatku sewaktu Aliyah???

"Sore ini Aku pulang." Aku tetap tak membalasnya.

Rasanya Aku ingin tidur seharian. Mimpi Indah, bangun-bangun Aku udah ada di Universitas impianku. Dasarrr Halu!!!! Huaaaaaaaaaaaaa... Aku ingin kuliaahhh.

***

Sore tadi Kakakku pulang. Begitu juga kak Yusa. Keduanya mendatangiku di kamar. Keduanya sama-sama menasihatiku agar mau masuk Pondok pesantren dan menghafal Al-Qur'an. Kala itu Aku benar-benar terpojok. Emak tak ikut Andil dalam hal ini, entahlahh.

"Setelah Abah tiada, kamilah yang bertanggung jawab atasmu Ra. Kami ingin yang terbaik untukmu. Cukup Kakak yang gagal. Kakak menyesal tidak meneruskan tinggal di pesantren waktu dulu." Ucap Yusa

"Kamu tahu mulianya seorang hafizhah? Ketika kamu mampu menjadi seorang penghafal Al-Qur'an, kelak di akhirat kamu mampu menyematkan mahkota indah untuk Emak dan Abah. Kamu mampu menuntun kami, keluargamu ke syurga. Bukan hanya di dunia kamu di muliakan, tapi juga di akhirat Ra. Kami akan lebih bangga kamu menjadi hafizhah daripada kamu menjadi sarjana." Tambah Wahyu.

Aku terpaku. Mendengar kata-kata A Wahyu, air mataku lolos dari pertahananku. Seketika langsung terbersit bayangan wajah Abah yang sudah sekian lama meninggalkanku. Aku Rindu Abah.

"Rara kangen Abah A." Aku memeluk kedu kakakku. Kulihat dibalik pintu Emak tengah menahan tangisnya meski nampak air mata mengalir di pipinya.

"Rara mau mondok A, Rara mau jadi penghafal Al-Qur'an." Ku lihat Emak tersenyum dalam tangisnya. Mungkin ini yang Emak inginkan sejak dulu. Mungkin ini yang Emak harapkan sejak dulu. Hanya saja mungkin Emak sudah lelah menasihatiku hingga kedua kakakku lah yang menasihatiku. Maafkan Aku Emak.

Aku melepaskan pelukanku, Aku berlari menuju Emak. "Maafin Rara mak."

***

Aku termenung sendiri di pojok ruangan berukuran 2×3, ruangan kecil yang sesak oleh lemari yang berjejer. Aku terus menatap Jarum jam yang tanpa bosan mengitari angka satu hingga dua belas, berputar seiring berjalannya waktu. Entah apa yang kurasa sekarang. Harapanku untuk kuliah telah musnah. Taqdir memaksaku untuk menjadi Saba bukan Maba. Ya, Santri baru bukan Mahasiswa baru. Ingin rasanya Aku berontak. Meskipun kemarin mengangguk dan berkata iya untuk mondok, tapi tetap hasratku untuk kuliah masih tersisa. Sejak dulu Aku tidak ingin Mondok mengikuti jejak keluargaku. Aku ingin merubah keadaan keluargaku menjadi keluarga yang sejahtera. Aku rasa dengan menjadi Mahasiswa, Aku mampu menggapai cita-citaku, Aku menjadi orang Sukses, Berangkatin Emak naik Haji, beli mobil buat Emak kondangan biar gak usah lagi numpang ke orang lain. Sebetulnya Aku kuliah buat mereka juga, bukan untuk diriku sendiri. Dengan menjadi santri, bagaimana nasib cita-citaku? Bagaimana nasib masa depanku? Santri gak punya masa depan!!!

Air mataku kembali lolos dari pertahanan. Bayangan rumah tak henti berkelibat dalam otakku. Aku menangis. Aku tak bisa menghentikan tangisku. Aku pun tak berhasil untuk memejamkan mataku.

Emaaak,,, Rara gak betah. Rara pengen pulaang. Batinku menjerit.

Aku melirik orang yang ada di sampingku, ya kini merekalah yang akan menjadi temanku. Bukan lagi Yuni, Diah, Piah, Ahhh Aku Rindu mereka. Teman-temanku sudah terlelap dalam tidurnya. Mungkin mereka pun sedang menikmati mimpi Indah mereka. Sedangkan Aku? Sedari tadi sudah kucoba pejamkan mata, namun nihil! Setiap kali ku pejamkan mata, bayangan rumah kembali hadir. Huaaaaaa.... Emaaaaakkk...

_____________________________________________________

Hayoo,,, santri mana nih suaranya??? Pasti Tau keadaan Rara sekarang. Pernah ngalamin juga gak bisa tidur saat jadi santri baru. Hihi... Terus ikuti chapternya yaak.. jangan sungkan untuk memberikan kritik dan saran ya.

Happy Readiiiiiiing...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mutiara Yang BertaburTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang