"Karna kita nggak bisa milih lahir dari rahim siapa ...."
***
Mati-matian aku mengusap air mata yang membasahi pipi. Tidak lucu, 'kan, kalau Sakti melihatku dalam keadaan seperti ini? Terlalu mengerikan. Dari tadi siang aku belum sempat mandi dan ganti baju, keringat sudah menempel di mana-mana. Sekarang, aku malah menangis tepat di hari jadi kami yang pertama.
Tujuh tahun lalu memang menjadi titik terendah dalam hidupku, kepergian Arya menyisakan luka yang sungguh membuatku ngilu. Dia tak hanya merenggut cahaya di hati ini, tapi dia juga menjadi salah satu penyebab kematian Ibu dan putriku.
Perlu dua tahun bagiku untuk kembali bangkit. Walau bayang masa lalu itu tak pernah bisa hilang dari benakku, tapi setidaknya aku bisa tumbuh menjadi Sekar Kinanti yang berbeda. Sekar Kinanti yang tak mau lagi diperdaya cinta, cukup aku dibuat tolol oleh Arya, termakan pesona tampannya yang kata Arin perpaduan Korea-Jawa, tapi sayang tak sepadan dengan kelakuannya.
Sekarang, Arya tak lebih dari seekor anjing liar yang mencabik tubuh pemiliknya. Sialnya, sampai detik ini nama itu masih saja bersarang di hatiku, bersanding dengan nama Sakti. Semoga saja Sakti tak seperti anjing liar itu.
Masih dengan sisa air mata yang membasahi pipi, aku menatap punggung laki-laki yang kini sibuk berkutat di dapur. Bahkan, hanya dengan menatap punggungnya pun hatiku berdesir tak menentu. Entahlah, semenjak tadi pagi rasaku kepada Sakti menjadi semakin tak terkendali.
"Sudah lapar, Sayang?"
Sayang?
Mendadak tubuhku memanas, saat pemilik manik beriris cokelat itu menoleh ke arahku. Cepat-cepat aku memalingkan muka, menyeka jejak basah yang tertinggal di pipi lantas melempar senyum manis ke arahnya.
"Kenapa, ada yang aneh dengan panggilan itu? Apa perlu aku ganti Bee, Baby, Honey, My Queen?" cecarnya seraya berjalan ke arahku, membuat jantungku berdetak lebih cepat.
"Rolling cheese chick--"
Sakti tak melanjutkan ucapannya. Dia dengan cepat meletakkan sepiring daging ayam berbalut keju di meja, kemudian laki-laki itu menangkup pipiku. Memindai wajahku serupa bapak-bapak yang mendapati bekas air mata di sudut mata dan pipi putri kecilnya.
"Ada apa, Sekar? Kamu kenapa?"
Sakti mengulurkan jemarinya di sudut mataku. Ada kekhawatiran yang terlihat jelas dari netranya. "Look at me! Apa aku berbuat salah?" tanyanya lagi membuatku semakin tak nyaman.
Hening, bibirku terasa keluh, untuk mengucap kebenaran tentang masa laluku rasanya tak mampu.
"Hah! Nggak, aku cuman nggak enak karna seharian belum mandi aja."
Anjir! Dari sekian banyak alasan, mengapa alasan konyol itu yang justru keluar dari bibirku?
Sekar Kinanti tolol!
Aku menggigit bibir bagian bawah seraya menundukkan kepala. Malu, terlebih saat melihat Sakti terperangah setelah mendengar alasan ajaib keluar dari bibirku. Eh, tapi aku kan memang belum mandi.
"Ya kan nggak enak, Sak. Kamu dah cakep aku bau asem," sambungku kembali membuat Sakti tiba-tiba terpingkal.
"Bukan karna cemburu, 'kan?" Sakti menyudahi tawanya lalu kembali menangkup pipiku.
Jantung, tolong pelankan suara detakanmu!
Aku meremas tangan yang basah karena keringat. Saking gugupnya, hawa di sekitarku terasa panas. Sial! Aku sudah mirip perawan tua yang lama tak dijamah cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mati Rasa(End)
RomanceBlurb Sekar tak lagi percaya cinta, sebab kata yang dulu sempat diucapkan oleh Arya, kekasihnya yang menghilang tanpa pesan, telah menorehkan luka. Terlalu banyak kehilangan yang membuat Sekar trauma, tak peduli sebesar apa pun cinta yang mencoba...