Selamat membaca🤗
°°°
Kelas tetap kondusif meskipun guru pada mata pelajaran pertama tidak masuk. Namun, free class itu membosankan. Aku menghela napas, lalu berjalan ke arah ketua kelas yang sedang memainkan ponsel pintarnya dengan posisi lanscape.
"Naufal, boleh ke perpus, nggak?" tanyaku.
Dia mendongak, lalu menghentikan gamenya.
"Jangan dulu, ya, habis ini Pak Indra mau kasih hasil ulangan," sahutnya, membuatku sedikit memegang.
Hasil ulangan? batinku sedikit takut.
Aku mengangguk, lalu berjalan kembali ke tempat dudukku, memilih membaca materi yang ada di buku paket dengan tangan kanan menopang pipi.
"Lo tadi ngomong apa sama Naufal?" tanya Ayla dengan suara lirih. Aku meliriknya sebentar sebelum menjawab, "Mau izin ke perpus, ternyata nggak boleh."
"Ya udah, sini aja, diem-diem."
Aku tidak membalasnya. Ayla kembali ke tempat duduknya.
Aku membaca buku tersebut, tetapi pikiranku tidak mampu menggambarkan isinya. Ada sesuatu yang kutakutkan ... hasil ulangan.
Aku sedikit terlonjak tatkala mendengar Naufal mengintrupsi di depan kelas agar semuanya membuka ponsel masing-masing, karena Pak Indra telah mengirimkan nilai secara pribadi.
Aku mengatur napas, lalu memencet link yang terhubung dengan salah satu aplikasi-yang dibuat sekolah-untuk membantu siswa dan guru dalam pembelajaran.
Tubuhku lemas seketika, melihat nilaiku. Tujuh puluh. Padahal kkm-nya 76. Aku menoleh sekitar, wajah teman-teman sekelasku terlihat baik-baik saja, tidak sedih. Pasti mereka mendapatkan nilai yang baik, setidaknya di atas kkm.
Ayla memanggil namaku, dengan cepat aku menutup ponsel pintarku dan meletakkannya di meja dengan posisi layar di bawah.
"Nilai lo berapa?" tanyanya.
"Segitu, lah," sahutku sedikit cemberut.
Dia menepuk bahuku pelan. "Nggak usah sedih, Nihla. Ini 'kan baru yang pertama. Besok-besok kita bisa dapat nilai yang lebih lagi. Kalo istilahnya, yang kemarin itu kita lagi pemanasan."
Ayla tersenyum, membuatku ikut tersenyum.
Bel pergantian jam berbunyi. Kami semua menuju ruang ganti dengan membawa kaus olahraga. Namun, sebelum itu, aku menyimpan ponsel pintar setelah kupencet daya mati, menghindari kemungkinan buruk yang akan terjadi.
Setelah jam olahraga selesai adalah waktunya istirahat pertama. Aku dan Ayla pergi ke kantin begitu selesai berganti seragam. Dia memesan sepiring nasi goreng dan segelas es teh, sementara aku hanya memesan es teh.
Aku termenung seraya menatap gelas berisi es teh yang masih setengah. Akankah pihak sekolah memberitahukan kepada orangtuaku tentang nilai-nilai dan perkembangan belajarku? Jika itu benar ... matilah aku!
Aku mendongak ketika terdengar suara deritan pertanda ada kursi yang digeser. Kak Ami tersenyum ke arah kami, menyapa Ayla yang sedang makan. Lak Ami menatap ke arahku.
"Ada apa, Kak?"
"Kata Mbak May, lo nggak bisa dihubungi. Lo kenapa?"
"Aku nggak kenapa-napa. Memangnya, untuk apa Mbak May menghubungiku?"
Kak Ami mengendikkan bahunya. "Nggak tau, dia nggak ngasih tau. Dia cuma nelfon gue buat nanyain lo yang nggak bisa dihubungi."
Aku meringis, merasa tidak enak pada Kak Ami, karena aku, Mbak May harus menghubungi Kak Ami untuk memberitahuku. Setelah itu, dia pergi menuju segerombolan anak kelas 11-mungkin teman sekelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Rasa Memupuk Asa
Teen Fiction"Jangan membuatku bingung, tidak bisa berkutik, dan berdebar-debar dalam waktu bersamaan karena sikapmu. Jika suatu saat nanti, kamu akan melupakan sikapmu, dan juga aku." °°° Karena selalu dianggap anak manja oleh mama dan kakak sulungnya hanya kar...