Selamat membaca🤗
°°°
Suara seseorang yang menabrak pintu mengalihkan perhatian kami. Pintu terbuka, menampilkan dua laki-laki, salah satunya menyengir polos, dan satunya lagi terlihat santai berjalan ke arah kami dan duduk di sofa depanku.
"Kalian habis ngerokok, ya?" tanya Kak Ami. Aku juga mencium bau asap saat salah satu dari laki-laki itu lewat di sampingku.
"Enggak, tadi lewat depan sana, anak kos sebelah lagi nongkrong sambil ngerokok," sahut laki-laki berkulit kuning langsat, wajah ala orang sunda.
Kak Ami mendekat ke arah laki-laki sunda itu, lalu menarik sedikit kaus yang dipakainya, sedikit mengendus bau pakaian laki-laki itu. Kak Ami menutup hidungnya. "Ehm, apek. Ganti baju sana!"
"Dih, nanggung, bentar lagi lah."
"Lo anak baru, ya? Nama lo siapa?" tanya laki-laki yang duduk di sofa depanku. Wajahnya yang paling menonjol di antara mereka berempat, karena terlihat paling—ekhem—ganteng.
"Nihla, Kak," sahutku, lalu tersenyum. Dia mengangguk. "Gue, Ren."
"Iya, Kak Ren."
"Wah, selama tiga tahun lebih gue tinggal di sini, baru nemu nih, yang pake kerudung." Laki-laki yang belum memperkenalkan namanya itu melihat ke arahku.
"La, dia Bang Alam," ucap Kak Ami seraya menepuk lengan laki-laki itu keras.
"Nihla, 'kan?" Aku hanya mengangguk.
Bang Alam menoleh ke arah Kak Ami. "Am, coba aja lo pake kerudung. Bang Faisal juga pasti seneng kalo lo berhijab, ya nggak, Bang?"
Bang Faisal menoleh. "Saya enggak mau memaksa, Lam. Biar Ami sadar sendiri dan merasa sudah siap," sahut Bang Faisal yang entah mengapa membuatku berdecak pelan.
"Ya udah, iurannya dimulai aja. Habis maghrib biar dibeliin," ujar Kak Ren. Dia meletakkan uang lima puluh ribu ke meja, lalu Mas Ilham mengambilnya.
"Pas, ya, Ren?"
"Gak lah," sahutnya.
"Berapa, Kak?" tanyaku.
"Dua puluh lima ribu." Aku mengangguk, lalu merogoh saku gamis, dan menemukan selembar dua puluh ribu dan selembar sepuluh ribu. Kuletakkan itu di meja.
Mas Ilham merogoh sakunya, meletakkan uang lima ribu dan memberikannya padaku. Aku menerimanya, dan memasukkan ke dalam saku.
"Lu 'kan hokay, sih, Ren," ujar Bang Alam.
"Hokay lubang hidung lo! Gue nggak kerja." Kak Ren menghela napas pelan, setelah itu kembali berbicara, "Ambil aja, deh. Zakat mal." Dia tertawa, membuat Mas Ilham mendengkus, lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan uang lima ribu dan mengambil uang dua puluh ribu yang ada di meja, menyatukannya dan menggeser ke depan Kak Ren.
"Kita nggak mau, ya, makan kotoran harta lo," ucap Mas Ilham, membuatku dan yang lain tertawa karena wajahnya, dia sangat lucu saat kesal.
°°°
Penyambutan anggota keluarga baru dalam kos ini, tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Ternyata, acara seperti ini sama persis dengan 'makan bersama', namun tidak ada nasi di sini. Aku menelan ludah pelan saat melihat makanan pedas itu. Terlihat dari bumbunya yang orange dan ada yang orange gelap, terlihat saat menggiurkan.
"Kenapa, La? Ada yang salah, ya?" tanya Kak Ami ketika aku melihat semua makanan ini dengan wajah biasa saja, seperti tidak tergiur meskipun aslinya adalah kebalikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Rasa Memupuk Asa
Genç Kurgu"Jangan membuatku bingung, tidak bisa berkutik, dan berdebar-debar dalam waktu bersamaan karena sikapmu. Jika suatu saat nanti, kamu akan melupakan sikapmu, dan juga aku." °°° Karena selalu dianggap anak manja oleh mama dan kakak sulungnya hanya kar...