Tiga

69 6 2
                                    

Hari ini aku mendapat nilai A pada ujian matematika. Ini berkat semua usaha belajarku bersama Sei. Aku senang sekali dan langsung menemui Sei di rumahnya.

“Sei, lihat! Aku mendapatkan nilai A diujian matematika!” teriakku sambil mengetuk pintu kamarnya. Euforiaku belum berhenti. Rasanya seperti berada di festival kembang api. Satu menit kemudian Sei membuka pintu kamarnya.

“Hei, hei berisik! Kau mengganggu tidur siangku!” ucap Sei dengan wajah marah tetapi lucu karena baru bangun tidur. Dia mengusap matanya yang sipit. Rambutnya halusnya yang berantakan membuatku ingin menjambaknya hingga botak.

“Kau lihat, aku mendapatkan nilai A!” Aku menyodorkan kertas ujianku di depan wajahnya. Senyum masih belum hilang dari wajahku.

“Itu tidak penting, pergi sana aku ingin tidur!” Sei berbalik lalu membanting pintu kamarnya. Aku tersentak kaget mendengar suara debuman pintu di depan wajahku.

Dia bilang nilai A yang kudapatkan tidak penting?

Wajahku memanas,terasa air hangat menetes ke pipiku. Aku tertunduk dan berlari meninggalkan rumah Sei.

Baru sekali ini dalam hidupku kecewa dengan perkataan Sei tadi. Biasanya aku tidak mempermasalahkan apapun yang dia katakan padaku. Dengan semua perkataannya, membuatku merasa diperdulikan olehnya. Tetapi perkataannya kali ini sepertinya lebih kejam dibanding dijitak dengan buku, ditinggal ataupun pulang sendirian.  Padahal aku hanya ingin dia menanggapi kebahagiaanku mendapat nilai A. Aku ingin dia menganggapku penting…dalam hidupnya.

Aku terus berlari hingga kehabisan napas. Aku berhenti di sebuah taman, tempat kami bermain sejak kecil. Perlahan aku memasuki taman lalu duduk di salah satu ayunan. Angin malam membuatku menggigil.

“Hei, apa yang kau lakukan disini? Ini sudah malam. Kedua orang tuamu cemas.” Sei menyentuh pundakku, kemudian berputar dan berdiri dihadapanku. Dengan cepat aku menyeka air mataku.

“Tidak, hanya mencari udara segar.” Jawabku singkat. Aku menunduk, menyembunyikan mataku yang basah.

“Bodoh, kau membuatku khawatir. Udara malam-malam begini membuat sakit flu, tahu!” Sei melayangkan tangannya di kepalaku. Aku yakin dia pasti akan menjitakku lagi. Aku harus waspada.

Tunggu, kok aku tidak merasakan sakit?

Aku mendongak menatap wajah Sei. Tiba-tiba jantungku berdebar dengan cepat. Aku dapat merasakan wajahku memanas diterpa angin malam yang dingin. Tangan Sei masih berada di pucuk kepalaku.

“Ayo kita pulang.” Dia tersenyum.

.

.

“Bu, nanti malam aku belajar di rumah Sei.” Ucapku sambil mengunyah sarapanku. Setelah sarapan, aku mengambil tas lalu berpamitan pada kedua orangtuaku.

Begitu aku keluar dari rumah, aku melihat Sei baru berangkat lalu berlari menghampirinya. “Sei, pinjam PR matematika.”

“Tidak mau.” Jawabnya singkat.

“Pelit sekali.” Aku merungut, mengerucutkan bibir mungilku hingga maju beberapa centi.

“Ada syaratnya.”

“Apa? Apa?” tanyaku antusias. Jarang sekali Sei langsung mengizinkanku mencontek PRnya. Biasanya aku harus merengek terlebih dahulu, baru dia mau meminjamkan bukunya padaku. Aku merasa dia aneh akhir-akhir ini.

“Buatkan lagi chicken teriyaki nanti malam.” Jawabnya sambil memandang wajahku. Aku memutar mataku padanya.

“Deal.” Jawabku lalu menarik tangan Sei agar cepat sampai ke sekolah dan menyalin PR matematika.

In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang