RE(A)LOVE

2.3K 202 50
                                    


Disclaimer: Naruto and all the chara are Masashi Kishimoto's.

.

.

"AW!" Keluh Naruto keras. "Sakit sakit." Ia meringis-ringis kala Hinata semakin kuat menekan lebamnya dengan kapas alkohol. "Sakit sayang."

Akhirnya Naruto menangkap tangan Hinata yang memberikan tatap tajam. Hatinya mencelos ketika sang istri langsung menarik kembali.

Suasana canggung. Hinata sibuk menata alat P3K dalam rangka menghindari suaminya. Naruto tahu, itu sebuah bahasa ketika seseorang menolak kita. Wajar, respon paling sederhana wanita yang disakiti adalah menghindar. Tipikal Hinata, mengunci segala emosi dan menjadi dingin. Justru itu Naruto takut. Sepanjang dirasa, sebulan tanpa Hinata merupakan hari-hari terburuk. Ia terlalu butuh, bukan saja secara fisik, tetapi hati, jiwa dan seluruh sel di dirinya.

Naruto melirik perut Hinata yang besar dan telah begitu turun. Ada jarak sekitar tiga jari dari payudara ke perut, orang bilang itu tanda persalinan sudah dekat. Nyeri kembali menyerang Naruto, suami kurang ajar yang malah sempat-sempat jalan dengan perempuan lain. He doesn't deserve her.

Betapa rindu Naruto pada malam-malam Hinata terbaring di sisinya. Mengelus perut sambil bermonolog, dia bilang itu cara komunikasi dengan bayi mereka. Konyol Naruto pikir, buat apa bercakap dengan makhluk yang bahkan belum mewujud. Tapi sekarang, jemarinya gatal ingin mengelus perut Hinata, pasti bayi mereka sudah lebih kuat bergerak.

"Hinata."

"Hmm?"

"Boleh aku elus perutmu?

Lagi, Hinata hanya menatap Naruto. Mata itu selalu lebih bicara dari apapun. Mulut bisa berbohong, tapi mata adalah jendela hati, mampu merepresentasi rasa paling tersembunyi sekalipun. Ada kesedihan di sana. Naruto membayangkan Hinata menangis tersayat, damn, Hinata bahkan menangis bila dibentak, apalagi diselingkuhi. Tangan Hinata bergerak mengelus perutnya, lalu tanpa memandang ia menggeleng pelan. Naruto bukan cuma merasa tertolak, tetapi seperti dilarang menyentuh anak sendiri. Sebab ia ayah yang tak becus, ayah yang bahkan tak dapat membedakan baik -buruk.

Naruto mengangguk paham. Ia perlu mencoba manuver lain.

"Kamu boleh marah atau benci, Hinata. Tapi kamu tak boleh pergi dari rumah. Pulang ya. Itu rumahmu juga."

Kalimat balasan Hinata membungkam Naruto seketika. Tak menyangka sikap coba-cobanya akan berbuah petaka. Sungguh, main-main tak perlu dihukumi sekejam itu. Hinata terlalu jauh.

"Ki-kita cerai saja."

.

.

Naruto memandangi punggung Hinata di dapur, di sebelahnya Boruto sibuk memainkan mobil-mobilan di meja makan. Ia menghembuskan nafas pelan, kegiatan di rumah begini-begini saja. Pulang ketemu anak-istri lalu sudah. Tiada yang menarik jantungnya berdetak lebih cepat. Segalanya konstan, datar dan tetap. Seperti kabel yang ditarik lurus dan Naruto menyusurinya dari ujung ke ujung tanpa variasi.

Jangan salah, hubungannya dengan Hinata baik. Terlalu baik malah. Dari awal perkenalan sampai wanita itu mengandung bayinya yang kedua, tiada keributan apapun. Lancar bagai air mengalir yang tak membentur bebatuan. Rasanya, kamu terperangkap dalam istana di mana semua tersedia tapi hambar.

Naruto bangkit, memutuskan mendekap Hinata dari belakang. "Lama banget sih. Nanti aku makan di luar loh sama yang lain."

"Nggak apa-apa. Aku udah punya dua Naruto kecil." Balas Hinata datar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love And Its Way (kumpulan one shot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang