11. Lembaran

5 1 1
                                    

Mata kuliah pertama selesai. Membahas tentang partisipasi politik, partisipasi politik di negara demokrasi, negara otoriter, serta negara berkembang. Semua pembahasan tentang partisipasi atau biasanya kita sebut keikutsertaan. Kali ini Weja sudah tidak banyak tanya lagi pada Gerus. Sepertinya dia masih memikirkan tugas yang diberikan tentang partisipasi politik tadi.

Tugas mereka ialah melakukan studi kasus tentang partisipasi politik pada pemilihan yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Gerus juga tidak berniat untuk membuka percakapan. Kepalanya sudah berdenyut sakit semenjak tadi pagi. Mungkin efek terlalu lelah dan kurang makan serta istirahat yang cukup.

Weja menghentikan pikirannya tentang tugas yang akan diemban, menoleh dan mendapati Gerus yang sudah berjalan tak keruan. Geser kiri kemudian geser kanan, kadang kala terhuyung-huyung menyusuri koridor. Yah, mata kuliah kedua akan berlangsung satu jam lagi. Jadi lebih baik mengisi waktu dengan kegiatan lain daripada berdiam diri di ruangan.

"Ge? Kenapa kamu?" panik Weja sambil memegang bahu kanan Gerus.

Gerus hanya menggeleng sambil berusaha terus berjalan. Menghiraukan rasa sakit kepalanya yang menyerang begitu hebat. Ia juga hebat dalam menyerang, tetapi jangan begini juga kali.

"Sakit kepala, Ge?" tanya Weja sekali lagi memastikan.

Gerus mengangguk. Sudah lelah untuk sekedar berbicara apalagi ingin membantah dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Rasanya kepala seperti dilanda puting beliung. Benar-benar ingin segera merebahkan diri saja di koridor seperti ini.

Segera Weja menarik lengan Gerus agar mengikutinya. Gerus yang tak banyak lagi tenaga hanya menurut mengikuti kemana langkah Weja menariknya tanpa banyak protes.

"Duduk!" perintah Weja.

Weja membawa Gerus ke sebuah tempat makan serba murah dan untungnya di kursi yang Weja pilih ada kipas angin yang tergantung serta menyala. Membuat Gerus sedikit bisa memperhatikan sekitar walaupun tak sejernih penglihatan normalnya. Agak sedikit kabur pandangannya.

"Nih, makan!" perintah Weja lagi sambil meletakkan sepiring nasi dan lauk-pauknya di depan Gerus.

Weja mendudukkan diri dengan piring nasinya juga di meja. Menyuruh Gerus makan tanpa peduli dengan sekitar. Lupakan dulu jaga penampilan. Yang penting perut kenyang dan hati senang.

Gerus menuruti perintah Weja dengan patuh. Menandaskan piringnya dengan cepat. Mengambil minum kemudian menandaskannya pula. Lebih mirip seperti orang yang kelaparan berhari-hari.

"Bagaimana? Masih pusing?" interogasi Weja, tangannya menyuapkan suapan terakhir ke mulutnya. Lantas mengambil minum dan menghabiskannya dalam satu tegukan.

"Lumayan. Sudah berkurang, We. Terima kasih, yah!"

Weja bersendawa dengan keras, membuat beberapa orang menoleh dan beberapa perempuan terkikik mendengarnya. Namun, mana Weja peduli.

"Mungkin akibat kurang istirahat, Ge. Setidaknya pikirkan juga tubuhmu, jangan lembaran rupiah saja yang terus kamu pikirkan."

"Lembaran tugas juga kupikirkan, We!" pungkas Gerus.

Weja mengangguk paham. Ia mengerti Gerus memang harus memikirkan berbagai lembaran dalam hidupnya. Bahkan lembaran hidup juga gerus pikirkan. Ia hanya ingin temannya itu juga memikirkan kesehatannya. Kalau kesehatannya sudah hancur, bagaimana dengan lembaran yang telah diusahakannya tersebut.

"Tapi, setiap lembaran juga harus diimbangi dengan kesehatan, Ge!" nasehat Weja.

Weja mengeluarkan dompetnya, juga lembaran rupiahnya untuk membayar makan mereka tadi. Gerus hanya termenung memikirkan perkataan Weja tadi.

Keduanya beranjak meninggalkan tempat mereka mengisi perut tadi. Menuju gedung yang akan mereka gunakan untuk menambah wawasan. Gerus sudah berjalan biasa, tidak lagi linglung seperti sebelumnya. Efek lapar dan lelah memang mengagumkan.

Capung (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang