"Bahkan lelucon paling konyolku akan berubah jadi serius jika itu menyangkut tentangmu."
•••••Mengamati langit yang mulai menggelap, Vanila mencoba menerka-nerka dalam benaknya kapankah gumpalan awan itu meneteskan air hujan yang dikandungnya.
Sejak dulu Vanila sangat menyukai hujan, selain aroma-aromanya yang menenangkan Vanila juga suara gemericik air hujak yang membuatnya merasa tenang.
Lagi pula, menurut Vanila hujan adalah hal yang paling romantis. Hujan akan tetap turun sekalipun dia tau rasanya jatuh berkali-kali. Dia tetap menumbuhkan apa yang ditanam sekalipun manusia justru menghindarinya. Dia tetap tabah, meski pada akhirnya hanya pelangi yang akan mendapat pujian.
Vanila ingin mencintai Ervan seperti cinta hujan pada bumi, tidak peduli seberapa sakit jatuhnya nanti. Tidak peduli mau sejauh apa Ervan menghindar, Vanila akan tetap mencintainya. Sebab rasanya pada Ervan adalah sebuah ketulusan.
"Lembur Van?" tanya Sania saat melihat Vanila belum bersiap pulang.
"Enggak, ini mau beres-beres." jawab Vanila.
"Pulang bareng kan? Gue tunggu di lobi kalau bareng," tanya Sania yang memang rumahnya satu arah dengan Vanila.
"Iya," jawab Vanila sembari membereskan barang-barangnya.
"Gue kebawah dulu, sekalian mau mampir ke ruangan Pamela." pamit Sania.
"Oke,"
Vanila mematikan komputernya. Saat hendak keluar ruangan dia melihat lampu ruangan Ervan masih menyala. Pria itu pasti lembur, mengingat hampir akhir bulan dia pasti mengerjakan banyak laporan.
Dengan inisiatifnya sendiri Vanila berjalan menuju pantry, membuat secangkir kopi untuk Ervan. Vanila hapal betul kopi kesukaan pria itu, dia suka kopi yang sedikit pahit.
Setelah selesai dengan kopinya, Vanila berjalan keruangan Ervan.
"Kopi Mas, biar semangat lemburnya." ucap Vanila sambil meletakan kopinya di meja Ervan.
"Makasih loh Van, jadi ngrepotin kamu." ucap Ervan sembari menyesap kopi buatan Vanila yang selalu sesuai dengan seleranya.
"Gak repot kok Mas, jangankan kopi hati saya aja udah saya kasih cuma-cuma buat Mas." timpal Vanila.
Ervan tersenyum mendengar rayuan receh khas Vanila, entah kenapa disaat-saat seperti ini ocehan juniornya itu menjadi hiburan tersendiri untuknya.
"Punya formalin gak Mas?" tanya Vanila tiba-tiba.
"Buat apa ?" tanya Ervan keheranan.
"Buat ngawetin senyum Mas Ervan, biar saya simpan." jawab Vanila.
Tawa Ervan pecah mendengarnya, Vanila selalu saja punya sesuatu untuk menggodanya.
"Kamu dari pada jadi Marketing, sepertinya lebih cocok jadi Pelawak Van. Lelucon kamu gak pernah garing." puji Ervan.
"Mas tau gak? Meskipun saya ngomongnya sambil ngelawak gini, tapi saya serius Mas. Bahkan lelucon saya yang paling konyol akan jadi serius kalau menyangkut Mas Ervan." ucap Vanila dengan nada serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Goodbye
ChickLit[On Going] Hidup adalah serangkaian pertemuan yang berujung dengan perpisahan, bertemu untuk berpisah di akhirnya. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan yang tanpa selamat tinggal, kepergian yang tanpa pamit, serta hilang tanpa per...