4. Ombak Laut Selatan.

331 41 0
                                    

"Dan aku mencintaimu setabah karang yang dihempas ombak, tetap berdiri tegar meski nyatanya kau mengahncurkanku perlahan."

*****

Tangan keduanya saling bertaut, langkah yang dulu saling mengejar kini mulai sejajar. Sepanjang bibir pantai yang mereka berdua lewati, bibir Vanila sama sekali tidak berhenti mengukir senyum bahagia. Sungguh, mereka bahkan hanya saling bergandengan tangan. Namun, rasanya jantung Vanila sedang dipaksa untuk bekerja lebih keras.

Jatuh cinta memang mendebarkan ternyata.

"Saya terakhir kesini empat tahun lalu," ucap Ervan tiba-tiba saat keduanya tengah duduk sembari menatap lembayung senja.

"Udah lama banget ya Mas," timpal Vanila.

"Iya, saya baru berani kesini lagi sekarang." ucap Ervan semabari bibirnya menyungging senyum yang tak Vanila pahami maknanya

"Mas punya trauma sama pantai?"

Ervan mengalihkan pandangannya menatap Vanila, lalu kedua sudut bibirnya terangkat.

"Empat tahun lalu saya kesini sama seseorang," ucap Ervan lalu kembali mengalihkan pandangannya menatap laut.

"Dia suka pantai, dia suka lihat senja yang berpadu dengan birunya air laut. Ini tempat favoritnya," lanjut Ervan sembari kembali bibirnya mengukir senyuman.

Vanila hanya diam, kedua matanya menatap lekat wajah Ervan. Untuk pertama kalinya Vanila melihat ketulusan di mata itu, mata yang belum pernah sekalipun menatap Vanila setulus itu.

Karena tak kunjung mendapat jawaban, Ervan kembali mengarahkan pandangannya pada gadis di sampingnya. Tatapan mereka saling bertemu, Ervan bisa melihat dengan jelas seberapa besar ketulusan yang Vanila punya untuk dirinya. Dan jujur itu sedikit membuatnya takut, dia takut suatu hari akan membuat dua mata itu menguraikan tangisnya.

"Dia bukan siapa-siapa  Vanila, dia hanya bagian dari masa lalu saya. Kamu tidak perlu bersaing dengannya," ucap Ervan sembari menyelipkan anak rambut Vanila yang tertiup angin pantai.

"Saya gak takut kalau pun harus bersaing dengan masa lalu Mas, saya hanya takut jika harus bersaing dengan seseorang yang mencintai Mas lebih dari saya." ucap Vanila sembari tersenyum tulus pada Ervan.

"Saya ragu ada orang yang akan mencintai saya sehebat dan sekeras kepala kamu," ucap Ervan sambil menyentil pelan dahi Vanila.

"Baguslah, kalau gitu saya udah pasti jadi pemenangnya." ucap Vanila dengan nada jumawa.

Lalu keduanya kembali mengurai tawa.

Vanila berharap kisahnya tidak akan seperti senja, indah namun hanya sesaat. Vanila harap kisahnya akan seperti ombak laut selatan, yang dengan perlahan mampu mengikis kerasnya hati Ervan yang sekeras batu karang.

*****

"Jadi lo beneran jadian sama Mas Ervan?" tanya Sania yang langsung menginterogasi Vanila saat mereka baru saja memasuki ruangan kerja keduanya.

"Kami gak pacaran,"  jawab Vanila cuek sembari mendudukan diri di kursinya.

"Terus?" tanya Sania semakin penasaran.

"Dia bilang jalanin aja dulu, and i think it's not bad."

Sania memutar kursi yang diduduki Vanila agar menghadapnya.

"Gak ada yang bagus dari hubungan yang gak punya kepastian Van," Sania memberi nasehat pada sahabatnya, dia tidak bisa membayangkan jika suatu saat nanti Vanila akan terluka karena ketidak pastian yang ada di antara Vaniladan Ervan.

Vanila mengehela napas panjang, dia tau Sania khawatir. Tapi untuk kali ini saja, tolong biarkan Vanila untuk keras kepala. Untuk kali ini saja, tolong biarkan Vanila merasakan kebahagiaan bersama Ervan. Sekalipun kebahagiaan ini hanya sementara, sekalipun nantinya Vanila akan terluka. Tapi sekarang tolong biarkan Vanila menikmati waktu yang dia punya.

"Kali ini aja San, biarkan aku menikmati kebahagiaan ini biarpun cuma sesaat." timpal Vanila.

Sania dapat melihat gurat kesedihan di mata Vanila. Pada akhirnya dia menyerah, dia membiarkan Vanila menjalani apa yang dia suka. Namun jika nanti Ervan membuatnya terluka, maka Sania yang akan maju di garis terdepan untuk memastikan jika pria itu akan menyesal.

"Semoga bukan hanya sementara Van, gue gak pengen lu terluka." ucap Sania tulus.

"Makasih ya San, makasih. " ucap Vanila sembari memeluk sahabatnya.

*****

V

anila dengan susah payah menelan makanannya, perempuan berambut sebahu itu mati-matian memfokuskan pandangannya pada makanan di depannya. Entah kenapa suasana kantin hari ini terasa begitu seram bagi Vanila, sebab semua mata menatapnya sampai-sampai rasanya bola mata mereka akan menggelinding keluar dari tempatnya.

"Gak usah perduliin pandangan orang lain Van, nikmatin makanan kamu." ucap Ervan sembari memindahkan bakso dari mangkoknya ke mangkok Vanila

"Jadi gini ya rasanya jadi bahan gosip satu kantor, abis ini saya gak mau lagi kalau di ajakin gibah sama Sania." timpal Vanila sembari menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

Namun karena menelan makanan secara terburu-buru, Vanila tersedak.

"Uhhukk... Uhhukk... "

Ervan yang duduk di depan Vanila segera berpindah duduk di samping Vanila, pria itu menepuk pelan punggung Vanila.

"Pelan-pelan Vanila, ini minum dulu." ucap Ervan sembari mengulurkan segelas air putih untuk Vanila.

"Ini kok pedes banget sih baksonya tumben," ucap Vanila sambil mengalihkan wajahnya agar tidak menatap Ervan, sebab wajahnya terlampau merah. Entah sebab tersedak, atau sebab perhatian kecil dari Ervan. Yang jelas Vanila merasa pipinya sangat panas sekarang.

"Mau pesen makanan lain aja? Kamu baru makan dikit loh, abis ini kita ada survei pasar," ucap Erik yang masih terus menepuk pelan punggung Vanila.

Vanila melirik jam di tangannya.

"Gak usah Mas, nanti gak keburu lagi. Waktu istirahat juga udah mau abis," ucap Vanila sambil kembali ingin memakan baksonya, namun tangan Ervan lebih dulu mengambil mangkok Vanila lalu menukarnya dengan mangkok miliknya.

"Kamu makan punya saya aja ya, punya saya gak pedes kok." ucap Ervan.

"Tapi Mas kan gak suka makan yang pedes-pedes banget," ucap Vanila seraya ingin kembali mengambil makanannya.

"Saya bisa makan pedes meskipun gak suka, tapi kamu  sepertinya gak bisa makan pedes makan sekarang. Jadi makan punya saya saja ya," ucap Ervan sembari tangannya menyingkirkan helaian rambut Vanila yang menutupi mata Vanila.

Sungguh jangan tanyakan bagaimana kondisi Vanila sekarang, karena rasanya seluruh tulang di tubuh Vanila hilang seketika. Dia begitu lemas, Vanila tidak tau jika Ervan bisa bertingkah semanis ini juga.

Habis ini aku harus cek gula darah deh, takut kena Diabetes karena terlalu sering konsumsi sikap manis Mas Ervan.



******

With Love,

- C a n a L i l y -

Last GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang