1. WRONG

965 45 4
                                    

Plan membuka matanya. Ia menatap langit-langit kamar yang  dihiasi dengan lampu yang bisa dipastikan sangat mahal harganya sebab desainnya yang luar biasa terkesan megah.

Plan mengernyitkan alisnya, mengingat-ingat apa yang terjadi padanya. Bagaimana ia bisa sampai di sana, di ranjang besar itu dalam keadaan telanjang dan  sekujur tubuhnya terasa sangat sakit dan linu, khususnya di bagian selangkangan.

Sekali lagi ia mengamati ruangan dengan keadaan kepalanya yang agak pusing, lalu kembali lagi pada posisinya. Tubuhnya begitu lemas dan ia tak bisa banyak bergerak sebab ia seperti masih dalam pengaruh obat.

Plan mengembuskan napasnya, berupaya membuat pikirannya menjadi lebih jelas Seingatnya, seseorang dari mobil mewah memanggilnya memesan makanan dari warung ayahnya dan saat ia mengantarkan makanan itu, seseorang dari belakangnya membekapnya dan sesudah itu ia tak ingat apa-apa. Lalu saat membuka mata, ia berada di ranjang besar super mewah.

Plan bangkit dari rebahannya. Ia menarik selimut sampai dadanya sebab ia telanjang dan ia merasa tak nyaman dengan keadaannya. Ia duduk bersandar pada badan ranjang dan kemudian mencoba mengingat yang telah terjadi kepadanya.

Sekarang setelah ingatannya benar-benar terkumpul ia bisa berpikir dengan jelas. Ia tahu yang ia lakukan dengan seorang lelaki yanh wajahnua jelas nampak di pikorannya tapi ia sungguh tak kenal orang itu. Ia juga ingat benar bahwa sorot mata sang lelaki itu begitu mengandung kebencian terhadapnya dan ia memanggil dirinya dengan nam orang lain yang juga tak ia kenal dan sangat asing di telinganya.

"Halo, Cannie," tetiba seorang lelaki muncul dari balik pintu dan Plan langsung melirik ke arahnya dengan wajah yang kaget.

"Siapa kau? Aku tak kenal kau!" ujar Plan dengan wajah ketakutan sebab sang pria itu menghampiri dirinya dengan keadaan telanjang dada.

Wajah lelaki itu sangat tampan. Ia terlihat sangat elegan dan karismatik dan terlihat bahwa ia bukanlah orang sembarangan. Dadanya yang berbidang dan tubuhnya yang begitu bugar menunjukkan bahwa ia sangat memperhatikan dirinya. Namun, meski sang lelaki itu memiliki semua kualitas itu, Plan benar-benar tak mengenalnya dan Plan juga tak mau berurusan dengannya karena sorot matanya yang menakutkan dan ia sadar apa yang sudah lelaki itu lakukan kepadanya tadi malam.

"Pergi! Jangan dekati aku!" sahut Plan sambil mundur dari posisinya dan saat ia menyadari bahwa lelaki itu mengabaikan perkataannya dan sudah menaiki ranjang, Plan bergegas membalikkan tubuhnya lalu berusaha menjauh dari sang lelaki dengan bergerak cepat ke tepi ranjang lainnya.

Sayangnya, usahanya tak membuahkan hasil. Sang lelaki dengan cepat mencengkeram kakinya dan meski ia meronta, tenaga sang lelaki itu lebih kuat. Kaki Plan diseret dan tubuhnya dibanting lagi ke atas ranjang.

Meski tak keras, itu cukup membuat Plan lelah. Tenaganya belum terkumpul, kemungkinan karena  lelah dengan kegiatan tadi malam. Kedua tangan Plan disatukan ke atas kepalanya dan dikunci dengan satu tangannya yang kekar. Tatapannya mengerikan.

"Siapa kau? Aku tak kenal kau? Kenapa melakukan ini kepadaku?" nada Plan putus asa. Ia sungguh tak tahu apa salah dan dosanya. Kenapa tiba-tiba lelaki itu melakukan hal yang begitu menyakiti dirinya.

"Cannie! Sekarang kau akan bermain sebagai korban, uhm! Wanita jalang! Brengsek! Munafik! Meskipun kau ubah penampilanmu, aku tak akan lupa yang kau lakukan kepadaku tiga tahun lalu di Milan! Eh atau kau sudah lupa? Uhm, mau kuingatkan!... Uhm!!!" sang lelaki itu mulai berceloteh lagi dan satu tangannya memegangi wajah Plan agar Plan tak bisa bergerak, sementara kedua kakinya mengapit tubuh dan kakinya dan Plan benar-benar dibuat tak berdaya.

"Tiga bulan lalu apa? Milan apa? Aku bahkan tak punya paspor. Bagaimana bisa ke luar negeri," nada Plan lagi. Wajahnya terlihat sangat bingung.

Sang lelaki tertawa keras. Ia menatap Plam dengan wajah iba. Dan jelas itu hanya sebuah kepura-puraan.

"Kau sadar kau sungguh menyedihkan saat ini? Kau ingin berdrama kepadaku. Tak akan lagi mempan. Aku bukan Mean Phiravich yang dulu yang bisa kau manfaatkan dan permainkan seperti dulu. Sekarang aku paham perempuan macam apa kau ini! Akan kubalas sama seperti yang kau lakukam kepadaku dulu!" suara lelaki itu sangat meyakinkan. Semua nadanya memastikan bahwa itu pasti akan menjadi kenyataan.

Plan menatapnya lagi. Sungguh ia bingung! Mean Phiravich? Siapa? Namanya asing di kepalanya. Dia hanya kenal Perth, Yacht, dan yang lainnya yang sering berlangganan di warung ayahnya. Dia tak kenal Mean.

"Kau salah orang! Tolong lepaskan aku!" Plan menangis sekarang. Sungguh ia tak tahu semuanya. Ada apa sebenarnya. Plan memberontak lagi dan ini membuat Mean semakin geram. Satu tamparan mendarat di pipi Plan dan Plan menangis lebih keras.

"Ampuuun! Kenapa melakukan ini kepadaku? Kau salah orang!" teriak Plan lagi.

Mean mengabaikannya. Ia meregangkan kedua kaki Plan. Seolah tahu yang akan dilakukan Mean, dengan cepat Plan menutupinya.

"Kumohon! Lepaskan aku! Jangan!" Plan menangis keras. Ia meronta, menendang, melakukam perlawanan sekuat dan sebisa mungkin agar ellako yang kini diketahui namanya Mean Phiravich itu tak lagi menyentuhnya.

Usahanya sia-sia dan hanya membuang-buang tenaga dan ia hanya bisa pasrah di bawah kendali Mean. Suara desahan bercampur dengan  rasa sakit hati dan kesedihan dan sarat luka batin yang tak bisa digambarkan.

"Aaaah, nnnngh, ampuuun, nnnngh," lirih Plan.

Air matanya tak lagi berurai setelah satu minggu ia dikurung di dalam kamar. Meskipun demikian kepalanya masih berputar, berpikir apa salahnya. Kenapa lelaki yang bernama Mean Phiravich itu begitu membencinya seolah mereka saling kenal begitu dekat dan siapapun Cannie, pastinya pernah menyakiti dirinya teramat dalam sehingga sorot matanya mengumumkan kebencian yang amat dalam, sikapnya begitu dingim dan kejam padanya.

Ia dilecehkan hampir setiap malam. Sang lelaki itu akan menindihnya berkali-kali sampai akhirnya ia kelelahan dan tidur. Pagi hari, beberapa pelayan akan datang memandikan Plan dan mengganti bajunya, menyisir rambutnya, dan kemudian memintanya untuk sarapan pagi. Semuanya dilakukam di kamar megah itu. Ia hanya bisa menikmati matahari dan udara segar lewat jendela yang berteralis tebal dan mahal. Hanya itu.

Sudah berjalan satu bulan sekarang dan Plan semakin tertekan. Pasalnya, ia merindukam sekaligus mengkhawatirkan ayahnya.

Mereka berdua saling mengandalkan. Sejak kecil, ia tak pernah kenal ibunya. Ia dibesarkan oleh ayahnya dan hanya bisa mengecap pendidikan sampai SMA saja karena secara ekonomi mereka memang sangat terbatas. Setamat dari sekolah, ia membantu ayahnya berjualan nasi goreng nanas di dekat pasar tradisional  dari siang hingga malam dan mereka sudah punya banyak langganan. Sungguh Plan sangat merindukan dan mengkhawatirkan ayahnya.

Plan memeluk kedua kakinya dan duduk di sofa melihat pemandangan dari balik teralis.

"Pho, kau baik-baik saja?"lirih Plan kepada dirinya sendiri. Air matanya tak terasa berurai dan meski ia sudah menyekanya berkali-kali, tetap saja bulir hangat itu keluar membasahi pipinya. Sebuah pertanda kerinduan dan kesedihan yang amat dalam.

Bersambung









Track 7 Mean Plan Short Stories CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang