Ketika perasaan ku sedang tidak baik baik saja, tempat pertama yang ku datangi saat di sekolah adalah gudang. Tidak tau kenapa, tapi hanya gudang ini lah tempat paling nyaman untuk berseteru dengan isi kepala sendiri.
Tidak peduli dengan kondisi gudang yang sangat jauh dari kata bersih. Aku tetap nekat duduk di salah satu bangku yang sudah penuh debu.
"Tuhan, ketakutan itu datang lagi. Kali ini bersamaan dengan rasa sakit juga kecewa"
Aku menunduk dalam-dalam. Momen saat pertama kali aku bertemu aisyah terlintas di benakku.
Sepuluh tahun yang lalu. Saat aku sedang beribadah di gereja. Aku tidak sengaja melihat seorang perempuan yang sedang belajar sepeda di taman samping gereja ku. Perempuan itu memiliki senyum paling manis yang pernah ku temui.
Aku terus memperhatikan nya sampai aku mulai menyadari bahwa dalam hitungan detik ia akan jatuh karena sebuah batu yang ada di tengah jalan. Saat hendak ingin menolong, suara mamah yang mengajakku untuk pulang terdengar. Aku menghela nafas kasar lalu kembali menatap perempuan itu yang justru malah tertawa setelah insiden jatuh barusan.
Setelah hari dimana aku melihat perempuan itu. Semangat ku untuk berangkat ke gereja semakin bertambah. Tapi sayang, aku tidak pernah lagi bertemu dengan perempuan manis itu.
Tujuh tahun kemudian, aku baru melihat wajah nya. Awal nya aku ragu kalau itu dia, tapi setelah melihat senyum nya aku yakin kalau itu dia. Ada sesuatu yang berbeda dengan penampilan nya yang sekarang. Rambut coklat sebahu yang dulu ku lihat kini sudah tertutup kain cantik.
"Kamu pakai apa?" Pertanyaan yang keluar dari mulut ku memang terkesan sangat bodoh.
"Maksud mu?" Tanya nya dengan wajah bingung.
"Itu, yang ada di kepala mu" jawab ku.
Perempuan itu tertawa sambil memegang kepala nya.
"Oh ini hijab yang biasa di pakai sama umat muslim" jawab nya.
Aku mengangguk pelan. Hati ku yang mula nya baik baik saja mendadak resah tidak karuan setelah mengetahui satu hal yang keluar dari mulut nya. Ia muslim.
"Aisyah" ucap nya sambil menyodorkan tangan ke arah ku.
Aku kaget. Dan ini salah.
Seharusnya aku yang memulai perkenalan karena aku lah yang mengajak nya berbicara terlebih dahulu.
"Nama ku, El. Nama mu?" Tanya ku.
Aisyah menampilkan wajah bingung.
"Kan sudah ku kata, nama ku aisyah""Oke, aisyah. Anggap saja aku yang mengajak mu berkenalan"
Dia tertawa. Memang nya ada yang lucu dengan ucapan ku barusan?
Setelah momen perkenalan waktu itu, aku dan aisyah bertukar nomor telefon. Hanya sekedar bertukar nomor, tidak ada yang berani memulai chat. Sampai pada akhirnya sebuah takdir mempertemukan kita kembali di sekolah yang sama. Dari situ kita semakin dekat dan perasaan terlarang ini muncul secara tiba tiba.
"Benar dugaan gue. Lo ada disini" suara tio membawa ku kembali ke alam sadar. Aku menatap sekitar lalu menghela nafas kasar.
"Gue jadi curiga, jangan jangan selain temenan sama gue. Lo juga temenan sama tikus dan kecoa yang ada disini?"
Aku tidak menanggapi ucapan nya. Dan itu bukan hal baru lagi untuk tio. Batin nya sudah sangat kebal berteman dengan orang seperti ku.
"Balik ke kelas yok, dua puluh menit lagi pelajaran bu siska" ajak tio.
Aku masih enggan menanggapi ucapan nya.
Tio menghela nafas kasar.
"Tadi aisyah nyari lo ke kelas. Gue kira lo ada di atap sekolah, jadi gue suruh dia cari kesana. Tapi kata dia lo nggak ada" tio mendekatkan wajah nya ke arah ku. "Lo nggak kasihan sama dia? Dia pasti capek banget nyariin lo kemana mana"
Sebuah cahaya terang mulai menyinari kegelapan yang ada di kedua mata ku. Dan itu berkat ucapan tio. Benar kata dia. Kenapa aku tidak kepikiran sampai kesana? Aisyah pasti sedang mencari aku. Dan aku tidak bisa melihat dia kelelahan.
Aku melangkah dengan cepat keluar dari gudang. Tujuan ku saat ini adalah kelas aisyah. Aku tidak perduli dengan tio yang minta di tungguin karena dia ketakutan sendirian di gudang.
Sesampai nya di kelas, aku menemukan aisyah yang sedang duduk di meja nya sambil membaca buku. Aku membuang nafas lega lalu berjalan ke arah nya.
"Kamu baik baik saja kan, syah?" Tanya ku.
"Loh, El. Bukan nya kamu lagi marah sama aku?" Tanya nya.
"Kaki mu?"
"Kenapa dengan kaki ku?"
"Ada yang pegal?" Tanya ku.
Aisyah tersenyum. "Aku baik baik saja, El"
"Tio bilang kamu nyari aku ke atap sekolah. Seharusnya kamu nggak perlu melakukan itu, syah. Tugas mu cukup diam saja, marah ku bisa sembuh hanya dengan mengingat wajah mu"
"Cara mu mencintai ku lebih dari kata tulus, El. Aku bahkan nggak pernah duga akan ada orang yang sebegitu besar nya mengkhawatirkan ku"
"Kamu pantas untuk dapat itu" jawab ku.
Aisyah tertawa. Aku tahu dia tidak pernah ingin ku perlakukan spesial. Dia ingin menjalani hubungan yang biasa biasa saja. Tapi menurut ku, hubungan biasa biasa saja hanya untuk orang normal. Hubungan yang di landasi keraguan dan banyak nya perbedaan tidak bisa seperti itu. Justru aku ingin lebih banyak lagi mengukir kenangan bersama nya untuk ku jadikan bekal di momen perpisahan nanti.
"Kamu sedang baca apa?" Tanya ku. Walau dia mendengar dengan baik ucapan ku, aku masih bisa menyadari kalau aisyah kelihatan seperti orang yang sedang banyak memikirkan sesuatu.
"Ini nama nya juz amma. Aku ada hutang afalan surah an-naba sama abi" jawab aisyah.
Meski sedikit tidak mengerti dengan ucapan nya aku tetap mengangguk. Hal tidak penting pun kalau sudah ada sangkut paut nya sama abi akan berubah menjadi penting.
"Kalau aku ajak kamu ke kantin kira kira ganggu nggak?" Tanya ku.
Aisyah tertawa. Tawa yang selalu jadi candu untukku.
"Nggak lah, El. Sejak kapan aku pernah merasa terganggu sama kamu?"
Aku tertawa mendengar ucapan nya. Setelah itu aku menggenggam tangan aisyah, mengajak nya berjalan bersama menuju kantin.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Aisyah.
Подростковая литература[BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] *** Tuhan, izinkan aku mencintai dia. dengan segenap perasaan yang tidak akan ada habis nya. aku ingin melukis banyak kenangan sebelum akhir nya pergi dengan meninggalkan segenap perasaan ku bersama nya. karena ku...