Rutinitas ku di hari minggu adalah pergi ke gereja. Sejak kecil bahkan sampai sekarang, mamah tidak pernah absen mengingatkan ku akan kewajiban ibadah. Seperti aisyah, aku juga terlahir dari keluarga yang sangat paham agama.
"Mamah kalau masih nggak enak badan jangan di paksain. Kan masih ada minggu depan"
Melihat mamah yang selalu bersemangat tiap kali datang ke gereja membuat perasaan ku mendadak resah. Mamah ku ini sangat taat dengan agama. Kata nya dia ingin mendekatkan diri dengan tuhan sebelum waktu yang ia punya di dunia ini habis.
"Apa kamu bisa pastikan kalau minggu depan mamah masih ada di bumi?" Tanya nya.
"Mah! Kok ngomong gitu?!"
Mamah tersenyum. Sudah ada kerutan di wajah nya yang menandakan dia semakin tua. Aku baru menyadarinya sekarang. Tuhan, apa selama ini aku terlalu fokus dengan kebahagiaan aisyah? Sampai aku lupa ada satu orang lagi yang perlu ku bahagiakan.
"El , mamah justru merasa semakin baik saat datang ke gereja"
Aku menghela nafas pelan lalu mengangguk. Bukan hal yang mudah untuk menggugat keputusan nya. Jadi ku putuskan untuk mengalah.
***
Membawa aisyah ke dalam dunia ku memang keputusan yang salah. Aku sudah menyadari nya sejak awal. Sedekat apapun hubungan ku dengan aisyah, nyata nya tetap ada jarak yang membuat semua nya terasa jauh. Sebesar apapun usahaku untuk menepis kenyataan yang ada, nyata nya tidak akan bisa karena aku dan aisyah sudah terlahir berbeda.
"Kalau pikiran mu sedang tidak baik baik saja, datang kesini adalah keputusan yang paling tepat sayang" tiba tiba mamah ku bersuara. Aku menatap nya sebentar dengan wajah bingung. Dari mana dia tahu kalau aku sedang banyak pikiran.
"Aku nggak kenapa-kenapa kok mah" jawab ku sedikit berbohong.
"Tapi hati mu berkata lain"
Aku tersenyum. "Aku akan baik baik saja selama mamah ada di samping ku"
"kamu masih sama seperti dulu, tidak mau terlihat lemah. Ya sudah kalau gitu mamah mau ke pendeta dulu, ada sesuatu yang mau mamah bicarakan" ucap mamah.
Aku mengangguk sambil menatap punggung mamah ku yang semakin menjauh.
Aku duduk di salah satu kursi yang tersedia di gereja. Pandangan ku terpaku pada sebuah foto besar yang terpajang di atas sesembahan. Melihat foto itu membuat perasaan ku mendadak tidak karuan. Sesuatu yang ada di foto itu adalah alasan kenapa aku datang ke tempat ini.
Terlalu fokus menatap bingkai foto, aku sampai tidak sadar kalau sekarang aku sudah berdiri tepat di depan nya.
"Tuhan, Kalau melepaskan nya adalah keputusan paling tepat, aku akan melakukan nya. Tapi tolong, tidak untuk waktu yang dekat. Masih banyak kebahagiaan yang belum ku berikan untuk nya. Aku pergi itu pasti. Tapi nanti, setelah ku rasa sudah waktu nya untuk meninggalkan nya sendirian"
Kepala ku tertunduk dengan air mata yang sedang susah payah ku tahan. Ketakutan itu selalu datang setiap aku berada di tempat ini. Tuhan, apa aku sudah terlalu jauh melangkah?
***
Setelah pulang dari gereja aku memutuskan untuk menemui aisyah. Walau hanya ada sedikit kemungkinan untuk bertemu dengan nya di hari minggu seperti ini, aku tetap nekat.
Hari libur seperti ini biasa nya aisyah membantu umi nya mengajar ngaji di musholla. Syukur deh, jadi aku tidak perlu datang ke rumah aisyah lalu melihat wajah abi nya yang dua kali lebih seram dari wajah preman pasar.
"Mau kemana lagi si El? Kamu ini makin jarang berada di rumah, kerjaan kamu ngelayap terus. Memang nya siapa si yang kamu temui di luar sana?"
Aku terdiam beberapa saat lalu tertawa. "Bukan siapa siapa kok mah. Aku hanya ingin ke rumah tio"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Aisyah.
Teen Fiction[BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] *** Tuhan, izinkan aku mencintai dia. dengan segenap perasaan yang tidak akan ada habis nya. aku ingin melukis banyak kenangan sebelum akhir nya pergi dengan meninggalkan segenap perasaan ku bersama nya. karena ku...