Aku tidak pernah menduga hubungan yang di awali dengan banyaknya keraguan bisa bertahan sampai saat ini. Tiga tahun bukan hal yang mudah, apalagi untuk dua orang yang di takdirkan berbeda. Bukan soal fisik dan materi, tapi keyakinan.
Aku tahu keputusan ku untuk membawa aisyah ke dalam dunia ku adalah sebuah keputusan yang salah. Aku menyadari nya sejak awal. tapi sungguh, kalau saja bisa, aku ingin membawa aisyah pergi. Pergi ke tempat yang sangat jauh. Sampai tidak kutemukan lagi suara orang yang menyuruh kami menyudahi hubungan ini.
"Kalau sampai benar lo ngelakuin itu tanda nya lo jahat, El. Bukan hanya dengan aisyah, tapi dengan diri lo juga" ini kata tio. Teman dekat ku sejak duduk di bangku sd.
Setelah memastikan aisyah aman sampai rumah, aku tidak langsung pulang. Pikiran ku sedang tidak karuan. Jadi ku putuskan untuk berbalik arah menuju rumah tio.
"Gue cuma mau nyelamatin hubungan gue" tegas ku.
"Gue yakin lo tahu kalau hubungan lo emang nggak akan selamat. Kecuali salah satu di antara kalian ada yang mau mengalah" ucap tio.
Ini bukan kali pertama tio berkata seperti itu, tetapi tetap saja aku masih tertampar saat mendengar nya.
"Gue?" Tanya ku.
"Lo siap kehilangan keluarga yang udah dari kecil ngerawat lo? Demi orang yang sampai tua akan nemenin lo?"
Kepala ku mendadak pening memikirkan perkataan tio barusan. Aku mengacak rambut prustasi lalu menatap tio dengan pandangan lemas.
"Gue belum siap" jawab ku, terdengar sangat lemah.
Tio tersenyum. "Masih ada banyak waktu untuk mikirin ini. Gue yakin lo tahu apa yang harus lo lakuin. Dan kalaupun misal nya mengikhlaskan adalah jalan satu satu nya. Gue harap lo bisa terima dengan baik" saran tio.
Aku mengangguk pelan. Percayalah, tidak mudah untuk menggerakkan kepala ku barusan.
"Gue mau bahagiain aisyah, yo. Gue nggak mau ngelewatin satu detik berharga gue bareng dia. Gue mau ukir banyak kenangan sama aisyah. Sampai dimana gue akan sadar lalu menghilang, setidak nya gue udah sempat jadi penyebab dia tersenyum."
Aku selalu berubah menjadi lelaki yang menyedihkan tiap kali membahas hubungan ku dengan aisyah. Entah, aku merasa tuhan tidak adil karena telah membedakan kita. Aku tidak tahu yang mana yang benar dan yang mana yang salah. Kalau saja agama yang ada di dunia ini hanya satu, mungkin aku tidak akan menjadi lelaki menyedihkan seperti ini.
Kadang aku berfikir, apa hanya aku yang memusingkan nasib hubungan ini? sedangkan di dalam nya juga terdapat aisyah. Apa dia pernah berada di titik merasa takut kehilangan ku? Atau selama ini hanya aku yang memikirkan kelanjutan hubungan ini? Entah lah.
****
"EL!!"
Aku berbalik badan sambil memasang wajah tersenyum begitu mendengar suara itu. Siapa lagi kalau bukan aisyah yang berani meneriaki nama ku.
Aku tertawa melihat aisyah yang sedang mengatur nafas nya. Ya tuhan, kenapa saat sedang kecapean seperti ini dia masih terlihat mengggemaskan.
"Happy anniversary yang ke tiga tahun!" ucap aisyah dengan nafas yang masih tersendat.
Aku tersenyum. Tahun kemarin telat dua hari. Sekarang ada peningkatan jadi telat satu hari. Apa harus menunggu tahun depan agar aisyah tepat waktu mengingat hari anniversary ini?
"Maaf ya, lagi lagi aku ngucapin nya terlambat" ucap aisyah dengan wajah tertunduk.
"Tidak apa-apa. Tugas mu cukup bahagia. Urusan mengingat tanggal anniversary biar aku saja"
Wajah aisyah semakin menunduk.
"Udah tidak kehitung berapa kali aku ngecewain kamu" ucap nya.
"Hei, Lihat aku. Kamu tidak perlu merasa bersalah. Karena dengan aku melihat mu baik baik saja tepat di hari anniversary, aku sudah merasa cukup. Soal ucapan ku anggap bonus, okey?"
Aisyah mengangkat kepala nya. Dia tersenyum. Senyum nya mampu mengembalikan semangat ku yang hampir hilang hanya karena melihat nya bersedih.
"Makasih, el" ucap aisyah dengan senyum termanis yang ia miliki.
"Untuk?"
"Untuk perasaan yang tidak ada habis nya itu"
Aku tersenyum lalu mengusap puncak kepala aisyah yang terbalut kerudung.
"Itu sudah tugas ku" jawab ku di hadiahi senyuman termanis dari aisyah.
Aku merangkul aisyah mengajak nya berjalan menuju kelas bersama. Kelas kita sama sama berada di lantai dua.
"Tadi berangkat sama siapa, syah?" Tanya ku. Tidak tahu kemasukan apa. Tiba tiba aku jadi kepo seperti ini. Padahal aku pun tahu biasa nya setiap pagi aisyah di antar oleh tukang ojek yang sudah di bayar oleh abi nya.
"Sama rangga. Oh iya, el. Mulai hari ini dan seterus nya abi nyuruh aku berangkat dan pulang sama rangga"
Aku menatap aisyah dengan wajah setengah terkejut.
"Dan kamu setuju?" Tanya ku.
Wajah aisyah berubah sendu. "Aku mana bisa menolak ucapan abi?"
Aku menghela nafas kasar. Semakin jauh hubungan ku dengan aisyah, semakin sulit aku untuk menggenggam nya. Kini tembok besar yang ku takuti kehadiran nya sudah mulai terasa.
"Maafin aku. Kamu boleh kok kalau mau marah sama aku" ucap aisyah.
Aku menatap nya dengan kening berkerut. Apa maksud nya dia berkata seperti itu?
"Kamu harus marah sama aku, El. Agar aku bisa belajar bagaimana cara nya mengembalikan kamu seperti semula. Seperti saat kamu membujuk ku saat sedang marah. Aku juga ingin melakukan itu"
Aku tidak percaya sebodoh itu pemikiran nya. Selama ini aku tahu aisyah adalah sosok gadis ceroboh, tapi aku tidak tahu kalau dia juga memiliki pemikiran yang sama ceroboh dengan diri nya.
Aku menatap nya dengan pandangan kecewa. Beberapa detik sebelum akhir nya aku berlalu meninggalkan nya di ujung tangga.
"El, kamu marah beneran?" Teriak aisyah.
Setelah empat kalimat itu, aku tidak lagi mendengar suara nya.
***
Maap telat ahahaha
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Aisyah.
Fiksi Remaja[BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] *** Tuhan, izinkan aku mencintai dia. dengan segenap perasaan yang tidak akan ada habis nya. aku ingin melukis banyak kenangan sebelum akhir nya pergi dengan meninggalkan segenap perasaan ku bersama nya. karena ku...