Pesawat akan segera mendarat setelah melewati perjalanan panjang dari Jakarta ke Frankfurt. Informasi kedatangan di bandar udara baru saja disampaikan oleh seorang pramugari yang kini berjalan ke arah Giani.
Sang awak kabin tadi memberikan isyarat disertai senyum ramah agar jendela dibuka. Sebuah hamparan pemandangan indah yang ada di bawah sana membuat mata Giani melebar. Daun-daun pepohonan yang berwarna merah dan kuning, rumah-rumah yang berderet rapi mengepulkan asap lewat cerobong dan kebun-kebun bunga saling bersisian terlihat seperti lukisan abstrak yang Indah. Tiba-tiba ia merasa seperti berada di sebuah negeri dongeng. Kekagumannya terus berlanjut seiring badan pesawat yang makin turun mendekati daratan.Akhirnya si burung besi mendarat dengan aman. Suara roda pesawat bergesekan dengan aspal landas pacu menimbulkan decit yang diiringi rasa syukur oleh Giani. Sebuah tulisan “Frankfurt Airport” terpasang di sisi luar gedung bandar udara. Giani memakai jaket hitam tebal, syal biru dan merapikan jilbabnya kemudian berjalan mengikuti penumpang lain menuju bagian imigrasi lewat garbarata.
“Guten Tag”. Sapa petugas imigrasi yang menerima paspor Giani sambil mengucapkan selamat siang dalam Bahasa Jerman. Giani hanya tersenyum membalas ucapan petugas tadi karena rasa gugup yang tiba-tiba menyerangnya. Satu persatu dokumen diperiksa termasuk tujuan kedatangannya di Jerman. Meskipun terbata-bata melawan rasa nervous dan kemampuan Bahasa Jerman yang masih standar, ia berhasil meyakinkan petugas imigrasi bahwa kedatangannya di Jerman sebagai Au-pair dan akan tinggal selama setahun bersama keluarga angkat yang telah mensponsori perjalanannya.
“Buk!”
Bunyi keras stempel di halaman paspor Giani sebagai tanda ia diterima secara legal di Jerman. Perjuanganya untuk memulai hidup baru secara mandiri di negeri impian baru saja dimulai. Ia melewati palang pintu detector kemudian berjalan menuju ke bagian pengambilan bagasi. Lorong-lorong panjang di bandara terbesar di Jerman ini membuatnya bingung namun akhirnya berhasil sampai pada kompartemen bagasi. Ia berdiri di sela-sela penumpang lain sambil menunggu kopernya datang dengan sabar. Cukup lama menunggu namun yang ditunggu belum juga ia temui. Satu persatu penumpang mengambil barangnya hingga akhirnya tersisa Giani.
“Mana koperku?” ucap dalam hatinya mulai panik. Ia terus menunggu hingga kompartemen bagasi berhenti berputar dan tak menyisakan apa pun di atasnya.
kepanikan semakin melandanya, entah harus berbuat apa. Ini pengalaman pertama ke Jerman dan harus pula mendapatkan hal buruk seperti ini. Tidak hanya pakaian tetapi rempah-rempah khas masakan Indonesia, dokumen penting, oleh-oleh yang dibuat Ibu untuk keluarga angkatnya juga obat-obatan warung seperti obat masuk angin semua ia letakkan di koper itu.
“Apa yang harus kulakukan?” Giani membatin dalam dilema antara sedih, takut dan bingung.
Ia melihat ke sekelilingnya, tidak hanya terasing tetapi juga ia kewalahan dengan sejumlah papan informasi yang tidak ia pahami. Di tengah kekalutan yang memuncak, ia baru teringat untuk mengaktifkan handphone-nya. Berharap ada wifi agar dapat segera menghubungi keluarga Herr Michl dan memberitakan keadaannya. Ternyata akses wifi gratis cukup banyak yang tersedia, segera ia mengirim pesan lewat whatsapp ke Herr Michl, ayah angkatnya. Beberapa menit berselang belum juga ada respon dari beliau padahal sehari sebelum keberangkatan Giani telah mengabarkan waktu kedatangannya dan Herr Michl bersedia menjemputnya. Lalu Ia mencoba menelpon namun tak ada jawaban.
Giani terpuruk, ia merasa semesta berkomplot mengerjainya. Sebuah kenyataan yang sulit diterima, berharap ini hanyalah prank atau kejutan perayaan ulang tahun yang biasa ia dapatkan di masa sekolah.
“sial, mengapa harus kehilangan koper di negeri asing yang jauh” Giani kembali membatin mengutuk diri.
Ia berjalan setengah berlari mencari seseorang yang dapat memberikan penjelasan tentang hal yang dialaminya. Beberapa kali mencoba bertanya pada orang yang ditemuinya namun sebagian besar tak merespon atau memberikan informasi yang tak ia pahami.Di tengah kekalutan yang memuncak, ia melihat seorang perempuan berwajah asia berjalan tak jauh dari posisinya berdiri.
“Entschuldigung, sind Sie Indonesierin?” Giani menyapa dan bertanya apakah perempuan itu orang Indonesia.
“Ja, das bin ich” beliau mengiyakan sambil tersenyum ramah.
“Maaf, Ibu bisa bantu? aku kehilangan koper” Giani langsung menyampaikan persoalan yang dihadapinya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Giani dan Archie
AventuraMengapa harus merantau, bukankah tinggal bersama keluarga lebih mudah dan menyenangkan, semua hal terpenuhi dan tidak perlu kerja keras untuk mendapatkan sesuatu? Giani dan Archie justru merasa hidupnya terlalu nyaman dan mengambil langkah berani u...