Semangat Pagi dari Ravensburg 2

23 3 0
                                    

"Arc...."

Archie tersentak, siapa yang memanggilnya barusan. Ia acuhkan suara itu lalu melempar pandangan ke arah luar kereta menatap pohon-pohon yang meranggas saling berkejaran.

"Archie Kalandra!"

Namanya kembali dipanggil. Ia mulai terusik, tak banyak yang mengenalnya di kota ini selain rekan kerja di Restoran Nusantara dan beberapa orang yang ia kenal di Wohngemeinschaft bahkan seingatnya tak ada yang tahu nama lengkapnya selain Tommy, Herr dan Frau Dieter.

Archie mengedarkan pandangan mencari tahu darimana sumber suara itu. Matanya tiba-tiba berhenti pada satu sosok yang ia kenal.

"Loh, itu bukannya..., kok, dia di sini?"

Seorang perempuan berlesung pipit tersenyum manis.

"Bella...." Archie bergumam menyebut nama perempuan itu.

Sebuah rasa sakit tiba-tiba menjalar di hatinya. Cukup sudah hatinya pernah tertawan oleh parasnya yang ayu. Tak mau lagi terperdaya oleh sebuah rasa yang pernah ia jaga, tetapi dihempaskan begitu saja. Hatinya telah sembuh dan luka itu jangan sampai terbuka lagi.

"Archie, kemana aja lo?"

Bella tiba-tiba duduk di samping Archie dengan santai sambil mengibaskan rambut panjangnya.

Hening tak ada jawaban.

"Lo masih marah?, kan gue udah minta maaf. Ayolah, Arc...kita ngobrol, kangen tau."

"Anggap aja gue gak pernah kenal sama lo!"

Archie mengambil tas ransel yang ia letakkan di atas kursi kosong di sampingnya lalu melengos dan berjalan ke arah pintu keluar. Masih tiga halte lagi, tetapi Archie memilih turun lebih awal dan berjalan kaki daripada berbicara dengan perempuan itu.

Kereta berhenti di depan halte Seestraße. Archie segera meninggalkan kereta dan tak menoleh sedikit pun ke Bella.

Straßenbahn bergerak membawa sosok yang ditatap Archie hingga jauh. Samar ia merasakan kembali sebuah rasa yang dulu ia kubur di dasar hatinya, tetapi buru-buru ia tepis sambil menghela nafas keras. Dilangkahkan kakinya dengan tergopoh-gopoh. Tangannya menarik Mütze menutupi telinganya yang mulai kebas lalu ia mengeratkan parka biru dongker untuk menghalau dingin yang menusuk tulang.

Patung garuda wisnu kencana yang berdiri di depan Restoran Nusantara telah terlihat. Akhirnya Archie tiba dengan nafas tersengal-sengal karena langkah yang dipercepat.

"Morgen, Archie."

"Guten Morgen, Herr Dieter"

Archie dan Herr Dieter, pemilik restoran saling menyapa.

Karakter orang Jerman yang kaku dan dingin berbeda jauh dengan sifat dan pembawaan beliau. Entah memang karakter aslinya atau karena pernah tinggal dan bekerja di Indonesia sehingga ia berbeda. Bisa jadi juga pengaruh dari istrinya, Ibu Sundari.

Pukul 10.00 pagi restoran dibuka.. Sebagai pelayan, Archie telah mengerjakan tugasnya dengan baik mulai dari menyapu lantai, menyiapkan sendok, garpu dan pisau di setiap meja tamu. Seragam khusus juga telah melekat rapih di badannya. Rambut ikalnya dicepol membuatnya terlihat tampan. Ia duduk di salah satu kursi tak jauh dari jendela, membaca sebuah koran sambil menunggu pelanggan datang.

Restoran selalu ramai tiap menjelang makan siang. Meskipun belum setahun dibuka, tetapi ia telah memiliki banyak pelanggan yang jatuh cinta dengan makanan Indonesia. Archie sibuk melayani pelanggan, sesekali ia juga diminta menjelaskan kepada pelanggan tentang makanan yang mereka santap.

Di tengah kesibukannya melayani, Archie tertegun memandangi sebuah keluarga yang duduk di dekat dinding bergambar pemandangan sawah di Tampaksiring. Seorang Bapak, Ibu dan anak perempuan kira-kira berumur 5 tahun yang sibuk dengan sendoknya. Di sampingnya duduk seorang perempuan berjilbab yang terlihat canggung dengan pasangan orang Jerman yang duduk berhadapan dengannya. Sesekali ia menyuapi gadis kecil yang menggemaskan itu dan menyeka mulutnya yang belepotan sambal kacang gado-gado.

Secara tidak sengaja, mata mereka saling bertatapan dan sebuah senyum melengkung manis di bibir keduanya.

Bersambung

Giani dan ArchieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang